Thursday, December 22, 2016

Bung Karno di Ende part 5 (2 Jejak Pancasila)


            Taman Pancasila: Patung Soekarno yang sedang duduk merenung di bawah pohon sukun, di Taman Pancasila atau Taman Rendo di Ende
Dari diskusi-diskusi Soekarno dengan para misionaris di Ende, muncul ide-ide yang kelak menghablur dalam Pancasila.       

            Dalam buku-buku resmi di mana Soekarno memberikan catatan tentang kehidupannya di Ende dalam masa pengasingan, interneering, hampir tidak ada satu kata pun tentang diskusi-diskusi dengan para pastor di Ende.   

            Namun, seperti sudah ditulis (lihat Soekarno, Ende, dan Kisah Persahabatan), Soekarno hanya bisa bergaul secara intelektual dengan para pastor di Biara St Josef.        

Para sahabat di Biara Santo Josef 

            Sangat bisa diduga bahwa pemahaman Soekarno tentang banyak hal termasuk agama-agama mondial seperti agama Kristen, Katolik, semakin dipertajam di Ende.          

            Tentang agama Protestan, Soekarno sering bertukar pikiran dengan Pendeta Georgette Manafe, orang Rote yang bersuamikan seorang Batak. Tentang agama Katolik, Soekarno memperoleh pengetahuan berlimpah-ruah dari para misionaris di Biara St Josef.       

            Selain penghuni Biara St Josef, seorang yang sering datang adalah Pater Johannes van der Hijden yang berperawakan tinggi besar yang selalu membawa buku-buku mutakhir untuk Soekarno.     

            Di sana juga ada pater yang masih muda belia Dr Van Stiphout yang baru saja datang dari Roma dan membawa cerita tentang Mussolini yang sangat dikagumi Soekarno. Mussolini dianggapnya sebagai reinkarnasi Garibaldi, nasionalis pendasar kesatuan Italia abad 19. Dari Pater van Stiphout, Soekarno mendengar pertama kali tentang ucapan khas Mussolini “Vivero pericoloso”, hidup berkalang bahaya, yang kelak dipakai kembali pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1960-an, TAVIP, Tahun Vivere Pericoloso.    

            Dengan demikian, di tengah kekosongan kaum cendekiawan Flores, Soekarno menemukan teman diskusi di kalangan para pastor itu, yang tentu saja berlangsung dalam bahasa Belanda.         

Biara St Josef dan Sila Keempat    

            Sebagian besar peneliti sejarah mengemukakan bahwa banyak ide yang kelak menghablur dalam Pancasila diperoleh Soekarno di dalam diskusi-diskusi ini. Untuk keperluan itu, penulis menemukan sekurang-kurangnya dua jejak yang bisa ditelusuri, yang berarti sumbangan dua sila dari Pancasila.  

            Pertama, dalam pergaulan itulah, Soekarno mengenal sosialisme Katolik yang dideklarasikan pada abad 19 dengan “manifesto ekonomi-politik” yang dikeluarkan Paus Leo XIII pada 1891 dalam ensiklik Rerum Novarum, masalah modern. Pandangan Rerum Novarum sangat sesuai dengan pemikiran ekonomi-politik Soekarno. Sikap yang ditunjukkan Rerum Novarum seperti menguliti kapitalisme dari sisi kelemahannya, malah penyakit kapitalisme modern yang harus dipangkas. Dalam tulisan-tulisan di Jawa, sebelum ke Ende, Soekarno menulis justru hal yang serupa itu.       

            Ketika Soekarno berada di Ende tahun 1934, hanya tiga tahun sebelumnya, 1931, keluar ensiklik baru Pius X, Quadragessimo Anno, untuk memperingati 40 tahun Rerum Novarum. Quadragessimo Anno merupakan suatu penegasan dan advokasi dari apa yang sudah dikatakan di sana. Kesamaan itu diduga berlangsung dalam paham keadilan sosial. Semuanya, menurut Rerum Novarum, berpangkal pada, dan dimulai dari, konsep tentang hak milik, ius proprietatis.           

            Rerum Novarum mengatakan, “Orang tidak boleh menganggap milik material sebagai miliknya sendiri, akan tetapi sesuatu yang bersama-sama bagi semua, sehingga membaginya tanpa ragu-ragu bilamana orang lain membutuhkannya.”

            Namun, menawarkan milik kolektif, paham komunisme Uni Soviet, adalah obat yang jauh lebih berbahaya dari penyakitnya. Dengan demikian, ada aspek sosial yang harus dipertimbangkan di samping aspek personal dan individual, ius dominii privati hominibus tributum. Semua paham ini menjadi dasar keadilan sosial baik yang dipahami ensiklik maupun paham Soekarno sendiri. 

            Ketika berpidato pada 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan tentang sila keempat: “... marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini ...” Ucapan ini menarik karena hampir dalam semua sila, satu sampai tiga dan lima, ajakan Soekarno dibuat dalam bahasa Indonesia, kecuali sila keempat yang langsung dalam bahasa Belanda. Dari sini sebetulnya bisa dilacak bahasa yang sangat mirip dengan bahasa Quadragessimo Anno, yaitu iustitia socialis.           

Biara Santo Josef dan Sila Kelima 

            Yang kedua adalah diskusi-diskusi masalah agama karena Soekarno tidak menolak agama di dalam negara yang dirancangnya. Dalam salah satu diskusi tersebut, muncul pertanyaan dari para pastor itu yang kira-kira sebagai berikut: “Di dalam negara yang Tuan rancang itu di mana tempat mamamu, yang beragama Hindu? Di mana tempat Flores, yang beragama Katolik?”       

            Pertanyaan sederhana itu sangat mendasar, dan dilontarkan di luar dugaan Soekarno. Semuanya dijawab Soekarno bahwa tidak ada perbedaan; semua diberi kesempatan tanpa ada diskriminasi satu terhadap yang lain. 

            Apa yang dikatakannya pada 1 Juni 1945: “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini ...menyatakan bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”

            Inilah rumusan asli yang berasal dari Soekarno dengan “ketuhanan” menjadi sila kelima. Pada tahap-tahap berikutnya terjadi kompromi ketika “ketuhanan” dibuat menjadi sila pertama. Di sana hanya dikatakan “ketuhanan yang mahaesa”, sesuatu yang sama sekali tidak disebut Soekarno. Apalagi semua ucapan tambahan Soekarno dihilangkan.   

            Dalam rumusan asli Soekarno, dengan jelas dilihat toleransi agama Soekarno yang tiada tara.       

            Dengan demikian, sumbangan Ende dan para misionaris itu sangat besar. Soekarno pasti tidak akan mengemukakannya di depan umum, apalagi di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tentang soal ini karena hanya akan menghasilkan serang balik yang tidak perlu.       

            Di pihak lain, kesan tentang Soekarno hidup mendalam di hati para misionaris itu. Sampai akhir hayatnya, Pater Bouma “tidak mau” mendengarkan “sesuatu yang buruk” tentang Soekarno. Pater van Stiphout selalu menganggap bahwa Soekarno adalah animalrationalissimum, binatang paling cerdas, yang pernah dijumpainya.




No comments: