Thursday, February 26, 2015

Pulau Ende, Pusat Pemerintahan Portugis yang Islami


Oleh Hieronimus Bokilia

“Allahu Akbar….. Allahu Akbar…. Allahu Akbar ……. Lailahailallah … hu Allah hu Akbar…. Allah hu Akbar Walillahilham”
            Dari corong pengeras suara perahu nelayan, gema takbir akbar membahana memecah kesunyian malam di Pulau Ende, Kamis malam, 9 September 2010. Malam itu, sekitar 25 perahu nelayan didandani lampu hias aneka warna. Kerlip cahanya menambah semarak malam takbiran. Kembang api yang pecah di langit Pulau Ende yang sejak sore diguyur hujan, kian membuat suasana Pulau Ende terang benderang.
            Itulah suasana malam lebaran di Pulau Ende. Pulau ini merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Ende yang penduduknya seratus persen beragama Islam. Di tengah mayoritas masyarakat Flores yang Katolik, gema takbir, apalagi di atas perahu, memang menghadirkan suasana lain. Malam takbiran di atas perahu ini memang baru tiga tahun terakhir ini digelar. Ini bentuk pengungkapan mereka bahwa hidup dan kehidupan mereka selalu di atas laut dan lautlah penopang hidup mereka.
            Bagi penduduk asli Pulau Ende, pulau mereka merupakan pulau keramat yang berbeda dengan pulau-pulau di sekitarnya. Menurut keyakinan mereka, pulau ini merupakan pulau asli yang mempunyai keterikatan dengan “tanah suci” Mekkah. “Air tidak akan naik menenggelamkan Pulau Ende selama air tidak menenggelamkan Mekkah” kata Abu Bakar Haji Yusuf, imam masjid Matinumba. Karena itu, kata Abu Bakar, Islam di Pulau Ende juga tidak akan lenyap selama Islam di Mekkah masih ada.
            Islam di Pulau Ende memang telah memiliki sejarah yang panjang.Sejarah secara khusus tentang masuknya Islam di Pulau Ende dan Ende secara umumnya kurang tercatat secara baik.
            Imam Masjid Metinumba, Abubekar Haji Yusuf mengatakan, konon agama Islam di Pulau Ende dibawa langsung oleh Imam Syafi’i yang katanya diutus langsung Nabi Muhamad SAW ke Pulau Ende. Imam Syafi’i yang tiba di Pulau Ende berhasil menyebarkan agama Islam di sana. Setelah seluruh warga Pulau Ende memeluk agama Islam, Imam Syafi’i kemudian melanjutkan perjalanannya ke daera-daerah lain di Pulau Flores untuk menyebarkan agama Islam. Dia mengatakan, saat Portugis masuk dan menguasai Pulau Ende, orang-orang di Pulau Ende sudah memeluk agama Islam. Karena itu, ketika Portugis meninggalkan Pulau Ende, orang-orang Pulau Ende yang sudah memeluk agama Katolik kembali memeluk agama Islam. Pada akhirnya, agama Katolik yang sudah ada dan dianut orang Pulau Ende berangsur-angsur ditinggalkan dan seluruh warga Pulau Ende memeluk agama Islam dan turun temurun hingga saat ini.
            Masih penuturan Abubekar Haji Yusuf, jauh sebelum Imam Safi’i datang menyebarkan agama Islam di Pulau Ende, ada seorang tokoh besar yakni Jal Jaelani Wal Ikram yang sudah lebih dahulu tiba di Pulau Ende. Keberadaan Jal Jaelani Wal Ikram oleh masyarakat Pulau Ende dikenal dengan nama Embu Rembotu. Embu dalam bahasa daerah Ende-Lio berarti nenek. Konon, kata Abubekar Haji Yusuf, Jal Jaelani Wal Ikram atau Embu Rembotu adalah utusan langsung Nabi Muhamad SAW untuk menemukan Pulau Ende.
            Saat ini, tempat tinggal Embu Rembotu yang berada di atas salah satu puncak bukit yang rata, dikenal keramat oleh warga Pulau Ende. Di tempat ini terdapat sebuah batu ceper yang berbentuk bulat dan dibawahnya terdapat pasir laut berwarna putih. Di tempat ini jika orang duduk melingkarinya, berapa pun jumlahnya bisa mengitari batu tersebut. Jika hanya datang bertiga dan duduk bersila mengitari batu ini akan mencukupi. Demikian juga ketika datang 12 orang atau lebih tetap bisa duduk mengitari batu tersebut. Tempat ini, masihmenurut Abubekar Haji Yusuf, sering dikunjungi Soekarno saat menjalani masa pembuangan di Ende. Bahkan saat ini, tempat itu sering didatangi Guntur yang adalah salah satu putra Bung Karno.
            Penyebaran agama Islam di Pulau Ende tidak terlepas pula dari pengaruh Portugis yang sempat menjadikan pulau Ende sebagai pusat pemerintahan. Hal itu nampak dari keberadaan benteng Portugis yang dibangun di Metinumba Desa Paderape Kecamatan Pulau Ende. Sejarah benteng Portugis di Ende kurang begitu baik tercatat dalam sejarah.
            Jauh sebelum akhir abad XV, para pastor telah membangun hubungan baik dengan Pulau Ende tetapi belum memiliki stasi di sana. Dalam tahun 1594 atau 1595, Pulau Ende diserbu oleh perompak-perompak islam. Mereka menyerang kampung-kampung dan menawan sejumlah orang untuk dijadikan hamba sahaya. Penduduk melarikan diri ke pantai Flores dan tinggal di sana beberapa lamanya sambil menyerahkan nasib pada kebaikan hati penduduk setempat.
            Lalu, datanglah Pater Pacheco dari Solor mengunjungi mereka. Mereka ingin kembali ke pulau mereka tetapi tidak berani, takut akan diserang lagi. Akhirnya pater berhasil membujuk mereka untuk kembali ke tempat asal, dengan janji di sana akan dibangun sebuah benteng yang akan dipimpin seorang panglima Portugis. Penduduk berjanji akan masuk katolik. Pater Pacheco pergi bersama mereka dan memimpin sendiri pekerjaan pembangunan benteng. Bersamaan dengan itu dimulailah karya pertobatan yang berjalan cukup lancar juga. Jumlah orang kristen sebesar 8000 orang di sekitar tahun 1600.
            Di Pulau Ende, terdapat tiga daerah stasi yakni di Numba dengan pelindung Santu Dominikus, stasi Sara Boro dengan pelindung Santa Maria Magdalena dan stasi Curolallas dengan pelindung Santa Katarina dari Siena. Namun Baraai juga merupakan tempat orang-orang katolik berada pada masa itu.
            Raja-raja Makasar rupanya mempunyai hubungan-hubungan rahasia dengan Flores. Di Mari, ada seorang raja namanya Ama Kera yang rupanya berusaha untuk memperoleh hegemoni atas seluruh Flores. Dia meminta raja Makasar untuk menyerang umat katolik. Ada dua permintaannya yakni agar dikirimi sebuah armada guna menaklukan Solor ke bawah kekuasaan raja Goa dan kedua adalah agar diangkat menjadi Raja Muda. Imbalannya, sebagai fassal raja Goa, Ama Kera harus menyerahkan upeti yaitu 100 hamba dan emas dalam jumlah besar kepada raja Goa setiap tahun. Permintaan Ama Kera ini disetujui raja Goa.
            Dengan sebuah armada yang besar, orang-orang Makasar akan menyerang dan merebut benteng Solor dan Pulau Ende dan tempat-tempat lain pun akan menyusul dengan gampang. Seorang kristen yang murtad, namanya D. Joao Djuang diangkat sebagai panglima armada tersebut. Armada ini terdiri dari 37 buah kapal dengan awak sejumlah 3000 orang. Mereka datang dan berlabuh di muka benteng Solor, yang menurut dugaan mereka tidak mempunyai pertahanan yang baik. Tapi tak lama sebelumnya, telah tiba di sana awak sebuah kapal Portugis yang terdampar di Jawa. Awak kapal dengan panglimanya Firnao Pereira berada di Solor.
            Rencana orang Makasar merebut benteng secara mendadak gagal samasekali. Lalu mereka beralih haluan ke pantai selatan daratan Flores. Mereka kemudian ke Sikka dan menuntut supaya penduduk menyerahkan pastor dan orang Portugis di sampig sejumlah besar uang. Tuntutan itu ditolak dan kemudian orang Makasar mencoba mendarat namun mereka menderita kerugian besar. Katanya, sekitar 100 orang dari mereka mati terbunuh.
            Mereka kemudian berlayar ke Paga dan di sana hanya menuntut upeti dan tuntutan dipenuhi. Mereka lalu berlayar ke tempat sahabat mereka raja Ama Kera. Ketika berada di sana, Pater Heronimo Mascarenhas, pastor Lena, naik ke kapal untuk emncari tahu apa maksud sebenarnya orang-orang Makasar itu. D. Joao mengatakan, dia bermaksud memusnahkan agama kristen di Pulau Ende tetapi mereka akan membiarkan orang-orang Portugis selamat. Pater Mascarenhas kemudian mengirimkan kabar ini ke Pulau Ende dan dari sana secepatnya meminta bantuan dari Solor.
            Pater Mascarenhas seolah-olah bertindak sebagai pengantara tetapi terutama untuk mengulur-ulur waktu sampai datangnya bantuan dari Solor. Bantuan yang diharapkan itu datang, tepat pada saat orang Makasar hendak mendarat di Pulau Ende. Sekarang, D. Joao melihat apa sebenarnya maksud Pater Mascarenhas yang saat itu ada di atas kapal yang ditumpangi D. Joao. Dia lalu menyuruh orang-orangnya membunuh imam itu dan seorang pemuda yang menyertainya dengan tombak.
            Datangnya secara mendadak orang Portugis dari Solor, maka timbulah kekacauan yang besar di kalangan pasukan-pasukan pendarat orang Makasar. Dengan banyak kerugian, mereka terpaksa kembali ke kapal mereka. Armada Makasar itu menderita kerugian sekitar 800 orang tewas. Ama Kera dan D. Joao mengancam akan kembali sesudah dua bulan, tetapi ternyata mereka tidak muncul lagi. Raja Makasar tidak mau mencoba lagi untuk kedua kalinya. `
            Sumber Dominikan menyebutkan dari tahun 1614, selama sembilan tahun lamanya orang Ende sudah tidak mempunyai imam dan dari tahun 1617 sudah 11 tahun tidak ada imam di sana. Bulan Nopember 1613, Van der Velde, orang Belanda yang berhasil merebut benteng Solor mengunjungi Pulau Ende. Ia melaporkan, delapan tahun sebelumnya penghuni benteng diusir oleh penduduk pribumi. Van der Velde ingin menciptakan perdamaian antara orang islam dan orang kristen. Dia mau menyuruh orang merusak benteng itu tetapi tidak berhasil. Datang Don Cosmo dari Sika, seorang katolik yang berani dan setia. Dengan bantuan orang kristen, mereka memperbaiki benteng dan mengusir orang islam dari sana.
            Antara tahun 1620 dan 1630, terjadi sesuatu namun sumber tentangnya tidak jelas. Rouffaer berpendapat peristiwa itu bisa direkonstruksikan. Seorang jurubahasa Portugis rupanya telah melakukan ”hubungan gelap” dengan seorang gadis dari Barai. Setelah itu, orang-orang Barai menyerbu gereja induk di dalam benteng dan membunuh semua orang Portugis. Karena takut orang Portugis akan balas dendam maka penduduk kembali lagi melarikan diri ke Flores dan seterusnya menetap di sana.
            Menurut penduduk daerah ini, serangan dan pembunuhan terhadap orang Portugis terjadi karena cerita yang agak lain. Di Pulau Ende pada waktu itu terdapat seorang gadis yang cantik, namanya Rendo, puteri panglima benteng yaitu Luis Parela Kumi Toro (Luis Pareira yang berjanggut merah). Gadis ini jatuh cinta pda seorang letnan yang bernama Djebe dan letnan inipun jatuh cinta pada gadis itu. Tetapi gadis cantik ini juga diincar oleh seorang imam dari benteng. Imam ini membunuh Djebe.
            Rendo melarikan diri ke Flores dan di sana dia meninggal duni karena sedih dan letih. Untuk membalas dendam atas pembunuhan Djebe itu, orang Barai lantas menyerbu benteng dan membunuh orang Portugis di dalamnya. Orang-orang katolik melarikan diri dan untuk sementara masih tetap beragama Katolik juga di tempat tinggal mereka yang baru. Baru dalam tahun 1772 pastor terakhir meninggalkan Numba. Penduduk Pulau Ende yang masih tinggal lambat laun menjadi islam semuanya.
            Dalam bulan Desember 1637, diberitakan dari Betawi bahwa Van Tombergen sudah berada di Pulau Ende dan menyuruh ribuan orang mengangkat sumpah setiap kepada kompeni. Mereka diminta mengibarkan bendera Belanda di kampung-kampung dan daerah Pulau Ende menjadi daerah kompeni (Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 1974).
            Pada bulan Juni 1614, komandan Adrian van der Velde datang lagi ke Pulau Ende. Di sana semua stasi tidak ada imam. Ada tiga orang bapa keluarga yang bertindak menjadi pemimpin mereka. Ketiga orang ini yang saat pembatisan mendapatkan nama Portugis sesuai kebiasaan pater-pater Portugis dengan nama masing-masing Salvador Carvalhaes, bekas siswa semniari koleses Dominikan di Solor. Waktu itu dia berumur 28 tahun dan sudah berkeluarga, rupanya dia seorang guru agama. Kedua adalah Pedro carvalhaes juga seorang bapa berumur 40 tahun. Ia adalah pemimpin umat. Pedro dan Salvador berasal dari Numba dengan gerejanya Santu Dominikus. Yang ketiga adalah Manuel da Lima, berusia 40 tahun, ia dari Stasi Saraboro. Manuel adalah seorang yang saleh yang selalu mengajak umat agar selalu berkunjung dalam doa menghadapi percobaan demi Tuhan dan Agama.
            Ketiga bapak penduduk asli Pulau Ende ini kemudian diculik dan dibawa ke kapal dan berlayar menuju Volowona (Wolowona saat ini). di sana orang-orang islam memaksa ketiganya agar membuang agama mereka dan masuik agama Islam. ketiganya tetap menolak dan diancam dengan kekerasan. Karena tetap bertahan dengan agamanya, ketiganya diserahkan kepada algojo yang menyiksa mereka dengan kejam. Tiga hari mereka bertiga diikat pada tiang di pantai, dipukul dan ditusuk-tusuk benda tajam sehingga tubuhnya penuh luka dalam. Selanjutnya mereka dijemur dan dipenggal kepalanya (Sejarah Kota Ende, FX Soenaryo dan kawan-kawan, 2006).
Pengaruh Islam Sulawesi
            Keberhasilan Portugis merebut Malaka pada tahun 1511 berpengaruh pada wilayah-wilayah Nusantara bagian timur, termasuk NTT. Meski tidak diketahui kapan persisnya agama Katolik mulai berkembang, tetapi ketika tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor, Pater Antonio Tavera OP telah membaptis 5.000 orang di Timor, juga di Ende, Larantuka, dan Lewonama di Flores.
            Pengaruh Portugis dalam penyebaran agama Katolik mulai terlihat ketika misi Katolik mulai diatur dengan kehadiran Uskup Pertama Jorge de Santa Luzia OP di Malaka tahun 1561. Portugis mengirimkan tiga orang misionaris Dominikan pertama ke Solor. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Dari Solor dan Larantuka inilah kemudian agama Katolik berkembang di Flores dan Timor. Di akhir abad ke-16, agama Katolik telah meluas dan mempunyai sekitar 25.000 penganut. Terbesar berada di Solor, Adonara, Flores, dan (Pulau) Ende (Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 1974).
            Sementara itu, perkembangan agama Protestan secara luas baru terjadi setelah Belanda berhasil menggeser kedudukan Portugis di Kupang. Pada tahun 1701, untuk pertama kali di Kupang didirikan sekolah dasar dan persatuan jemaat Kristen oleh pendeta keliling. Pusat agama Kristen mula-mula di Bau-bau kemudian pindah ke Kupang. Sejak itu wilayah NTT di bagian selatan banyak dikuasai oleh Zending gereja Protestan. Terlebih, kemudian Belanda dengan cerdik mengikat raja-raja di wilayah ini dengan kontrak.
            Di samping dua kekuatan agama tersebut, Islam telah pula hadir. Ketika Portugis datang ke NTT, Solor, Alor, Pulau Ende dan Manggarai telah dikuasai orang-orang Islam. Di Alor, pada abad ke-15, telah terdapat perintis Islam yang belajar dari Ngampel, Surabaya. Selain pengaruh Jawa, ada tiga kerajaan Islam yang memberikan warna pada persebaran Islam di NTT, yaitu Bima, Bugis, dan Ternate. Kesultanan Bima mempunyai hubungan erat dengan wilayah bagian barat Pulau Flores, yaitu Manggarai. Menurut JL Gordon (1972), mulai tahun 1600 Manggarai memberikan upeti kepada Sultan Bima.
            Kesultanan Bima bersaing dengan Kerajaan Gowa Makassar dalam memperebutkan pengaruh dan penguasaan ekonomi. Bagi Bugis/Makassar, kepentingan perdagangan menjadi alasan utama penguasaan wilayah ini. Sementara itu, bagi Kesultanan Ternate, NTT merupakan wilayah penting untuk menunjukkan kedaulatannya.
            Penyebar agama Islam pada awal masuknya Islam pertama di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah para pedagang dan ulama yang telah dimulai pada abad ke-15 di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur.
            Peneliti dan penulis buku tentang sejarah Islam di NTT, Munandjar Widiyatmika mengatakan, penyebaran agama Islam ini pertama dilakukan seorang ulama pedagang dari Pelembang yang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. Dari sumber-sumber sejarah yang berhasil dia himpun, agama Islam masuk pertama kali di pulau Solor di Menanga pada abat ke-15 kemudian ke Pulau Ende dan Alor. Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT karena letaknya strategis dengan bandar-bandar penting di Pamakayo, Lohayong, Menanga dan Labala, sangat penting bagi kapal yang menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku, demikian pula di Pulau Ende dan Alor.
            Masuknya agama Islam ini dibawa oleh pedagang sehingga sangat wajar kalau penyebarannya dilakukan mulai di sekitar bandar-bandar startegis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam dari luar, dan Solor adalah daerah peristirahatan sebelum ke pusat penghasil cendana di Pulau Timor.
            Mengenai pola pendekatan, perintis penyebar agama Islam di NTT asal Palembang ini menggunakan pendekatan kekeluargaan dan memegang tokoh-tokoh kunci daerah setempat. Di Solor misalnya, penyebar agama ini kawin dengan seorang puteri raja Sangaji Dasi dan menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam di NTT dan kemudian diikuti anggota keluarganya.
            Artinya, berkat pengaruh Sangaji Dasi, keluarga dan pengikutnya dengan mudah diajak menjadi pemeluk agama Islam. Bahkan untuk kepentingan pengembangan agama Islam di Solor, Sultan Menanga kemudian ditempatkan di perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong dan berhasil membangun kampung muslim pertama di Menanga.
            Agama Islam kemudian tersebar ke daerah lain seperti Alor, dan seluruh Flores, Timor dan Sumba. Sejak masuknya agama Islam di NTT sampai abat ke-16, para perintis belum tergerak mewujudkan lembaga sosial keagamaan Islam dan lembaga pendidikan Islam sebagai penunjang penyebaran agama Islam. Hal ini berbeda dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa yang tidak saja ditunjang para wali dan ulama tetapi juga sistem pendidikan di Pondok Pesantren.
            Sejak orang-orang dari Numba menyerang dan membunuh orang-orang Portugis di benteng dan orang-orang Portugis lari ke Flores, orang-orang katolik di Pulau Ende lambat laun menganut agama Islam. Orang-orang (Pulau) Ende yang telah menganut agama Islam kemudian menjadi penyebar agama Islam ke Sumba. Ketika itu Sumba yang masih menganut sistem swapraja, banyak pedagang Islam dari Ende-Flores kawin dengan putri dan putra seorang kepala suku atau raja seperti Umbu Kamballu dari Kabizu Laimuru di desa Patawang yang beristerikan seorang putri asal Ende-Flores juga seorang putri Sumba, Rambu Hana Ndapanjalu yang menikah dengan seorang putera Ende bernama Pua Ali termasuk Rambu Ndanga Leu adik dari Rambu Hana Ndapanjalu yang menikah dengan Da,e Saruni dari kampung Roja di Ende (Menyisir Sejarah Islam di Sumba Timur, Djunaidi Garib, Waingapu).
            Ketua Majelis Ulama (MUI) Kabupaten Ende, Abdurahman Aroeboesman yang adalah keturunan Raja Ende mengatakan, pada masa penjajahan Portugis, seluruh warga di Pulau Ende menganut agama Katolik. Namun pada abat ke-13, para bajak laut dari Jawa dan Sulawesi (Makasar) melakukan penyerbuan ke Pulau Ende. Penyerbuan dan pembakaran yang dilakukan itu menyebabkan orang-orang Katolik lari ke Solor dan pulau Flores. Orang-orang Barai yang takut terhadap bajak laut dari Jawa dan Sulawesi ini kemudian lari ke Barai yang ada di Pulau Flores. Mulai saat itu, Pulau Ende dikuasai para pedagang dan bajak laut dari Jawan dan Sulawesi dan mulai menyebarkan agama Islam di sana. Para penyebar agama Islam di Pulau Ende semula berasal dari Mesir dan ada yang dari Jawa juga Makasar.
            Waktu itu, kata Abdurahman Aroeboesman, sekitar akhir abat ke-16, datanglah Karaeng Aru Sambayang ke Pulau Ende. Namun saat dia tiba, warga sudah memeluk agama Islam. Kemudian raja Ende juga memeluk agama Islam dan mulai menyebar ke penduduk. Orang pertama yang diyakini menyebarkan agama Islam pertama di Pulau Ende adalah Batullah yang berasal dari Mesir. Orang Pulau Ende yang pertama memeluk agama Islam terdapat di Kemo di dekat Kerimando namun tidak diketahui secara pasti siapa yang saat itu memeluk agama Islam pertama di Pulau Ende. Sedangkan orang yang menjadi pemilik tanah pertama adalah Embu Tipo dari Rodja yang masuk pertama di Metinumba.
            Menurutnya, orang pertama yang tempati Pulau Ende adalah Redodori dan Ndoriwoi. Ndoriwoi adalah perempuan jelmaan sedangkan Redodori adalah laki-laki nelayan di Pulau Ende. Setiap hari di bekerja membuat perahu dan saat kembali ke rumah makanan sudah disiapkan. Dia sangat kaget dan berupaya mencari tahu siapa yang telah menyiapkan makanan untuknya. Maka dicarinya siasat untuk menemukan orang yang telah menyiapkan makanan untuknya. Dipanggilnya warga desa dan dikumpulkan. Dia meminta seluruh warga memakan sirih pinang dan airnya dikumpulkan. Warna merah dari sirih pinang itu disiram keliling perahu dan kepada warga diminta untuk menyiarkan khabar bahwa Redodori telah meninggal. Mendengar khabar itu, Ndoriwoi yang sudah terlanjur jatuh cinta pada Redodori datang dan menangis mengelilingi perahu milik Redodori yang berlumuran darah sirih pinang. Melihat kehadiran Ndoriwoi dalam wujud manusia yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya, Redodori bersama warga langsung menangkapnya. Ndoriwoi kemudian kawin dengan Redodori dan anak keturunan mereka kemudian menjadi penghuni Pulau Ende hingga saat ini.Namun, lanjutnya, selain didiami penduduk asli, Pulau Ende juga didiami oleh penduduk yang berasal dari Luwuk, Bone, Sulawesi.
            Abdurahman Aroeboesman mengakui, sejarah masuknya agama Islam di Pulau Ende memang belum dicatat secara baik sehingga saat ini sumber-sumber tentang penyebaran agama Islam di Pulau Ende bahkan Ende secara umum sulit ditemukan. Namun, lanjutnya, Pulau Ende yang pada masa penguasaan Portugis penduduk seluruhnya beragama Katolik, saat ini semuanya menganut agama Islam.
            Pulau Ende masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Ende danmerupakan salah satu kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Ende. Letak Pulau Ende tepat berada di depan Kota Ende yang adalah Ibukota Kabupaten Ende. Pulau dengan luas keseluruhan 63,03 kilometer persegi ini, saat ini didiami lebih kurang 8.621penduduk. Pulau Ende memiliki tujuh desa yakni Desa Redodori, Aejeti, Rorurangga, Puutara, Paderape, Rendoraterua, Ndoriwoi dan Redodori. Pulau Ende berada tepat persis di depan Kota Ende. Jarak tempuh dari Ende ke Pulau Ende hanya memakan waktu 45 menit sampai satu jam. Jaraknya diperkirakan sepanjang 65 kilometer atau sebanding dengan jarak Ende ke Kecamatan Nangapanda jika melalui jalan darat.
TABEL LUAS WILAYAH, JUMLAH PENDUDUK DIPERINCI PER DESA DI KECAMATAN PULAU ENDE

D E S A
Luas Wilayah (KM)
Penduduk
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Ndoriwoy
Rendoraterua
Paderape
Aejeti
Puutara
Rorurangga
Redodori
9,53
6,50
4,69
9,73
14,29
14,29
4,00
624
508
538
737
821
500
581
570
572
527
841
816
541
505
1 194
1 020
1 065
1 578
1 637
1 041
1 086
J u m l a h
63,03
4 309
4 312

8 621

            Pulau Ende dengan luas yang hanya 63,03 kilometer persegi sangat tidak bisa menunjang kehidupan masyarakat dari hasil pertanian. Lahan yang sempit tidak dapat ditanami tanaman pertanian dalam jumlah yang besar. Penduduk hanya menanam jagung, ubi dan kelapa. Hasilnya pun tidak seberapa sehingga hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang terkadang tidak mencukupi itu. Tanaman lain yang masih dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat adalah jambu mete dan mangga. Namun, tanaman ini juga tidak seberapa sehingga mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan hidup dari hasil-hasil pertanian. Padahal dari tingkat kesuburan, masyarakat mengakui tanah di Pulau Ende tergolong subur. “Tanam apa saja tumbuh dan bisa menghasilkan dengan baik,” Kata Abdul Madjid Pua Ngepa, warga Pulau Ende.
            Haji Muhamad Yasin, pensiunan guru warga Desa Rorurangga mengatakan, masyarakat Pulau Ende merupakan masyarakat mayoritas pelaut yang kehidupannya sepenuhnya bergantung pada hasil-hasil laut. Hasil dari berkebun tidak seberapa dan hanya untuk mencukupi kebutuhan harian. Selain karena lahan yang sempit, ada warga juga tidak punya lahan untuk berkebun. Kalaupun mau berkebun, warga yang tidak punya lahan harus menyewanya kepada pemilik lahan. Satu-satunya sumber penghidupan masyarakat yang tidak akan pernah habis-habisnya hanyalah dari hasil laut. Selain mengharapkan hasil laut, warga Pulau Ende juga menggantungkan hidup dari laut lewat menjalankan usaha taxi laut, perahu penumpang yang oleh warga Pulau Ende lebih dikenal dengan taxi.
            Walau hanya menggantungkan hidup dari hasil laut, kata Haji Muhamad Yasin, namun kebutuhan masyarakat tercukupi. Dia mengakui, Pulau Ende memang memiliki keunggulan tersendiri. Hasil laut tidak pernah habis-habisnya walau diambil setiap hari. Bahkan, setiap tahun Pulau Ende selalu menjadi daerah penyumbang jamaah calon haji terbanyak. “Tiap tahun pasti ada calon haji dari Pulau Ende. Hanya satu sekalipun, tetap ada calon haji dari sini,” katanya bangga.
            Kehidupan masyarakat yang hanya bergantung dari hasil laut namun terkadang masih disalahgunakan. Memang tidak dapat dipungkiri. Masyarakat nelayan Pulau Ende selalu diidentikan dengan nelayan tukang bom ikan. Di NTT sudah sering warga nelayan Pulau Ende ditangkap aparat dan diproses hukum gara-gara membom ikan. Namun, kebiasaan itu saat ini sudah mulai berkurang dan hanya tersisa di satu dua desa nelayan. Menurut pengakuan Kepala Desa Rorurangga, Juanidi P.S, hampir setiap hari selalu terdengar dentuman bom ikan di perairan laut Pulau Ende. Hanya saja mereka tidak tahu nelayan dari desa mana yang masih menangkap ikan menggunakan bom di perairan laut Pulau Ende.
            Omong soal bom ikan, Abdul Madjid Pua Ngepa (50), nelayan dariDusun Ekoreko Desa Rorurangga bilang, di dalam keluarganya sejak nenek moyangnya dulu, sangat anti terhadap penggunaan bom ikan. Orangtua dulu selalu berpesan agar tidak menangkap ikan menggunakan bom. Kalau menggunakan bom, pesan orangtuanya, kalian tidak bisa bersahabat dengan semua orang. Kalau melihat ada orang berseragam langsung takut karena dikira petugas yang akan menangkap. Menggunakan bom juga membuat rusak lingkungan laut dan itu sama saja dengan membuat susah sesama karena kalau laut rusak hasil tangkapan akan berkurang. Apalagi, nelayan di Pulau Ende rata-rata masih menggunakan alat tangkap sederhana dan tradisional. Sehingga, para nelayan masih menangkap ikan di seputar perairan Pulau Ende. Karena itu, Abdul Madjid Pua Ngepa katakan, orangtuanya selalu berpesan agar tidak boleh menggunakan bom untuk dapatkan ikan.
            Kehidupan masyarakat Pulau Ende memang terbilang sederhana. Selama tiga hari tinggal bersama Bapak Abdul Madjid Pua Ngepa, saya begitu merasakan kesederhanaan itu. Kendati memasuki hari raya Idul Fitri, persiapan tidak begitu mentereng. Ada tetangga yang sudah mulai mengecat aneka warna rumah mereka namun keluarga bapak Pua Ngepa memilih merayakannya dengan persiapan yang biasa saja. Ibu Arfah hanya membuat beberapa kue kering untuk disajikan kepada tamu. Dodol yang menjadi penganan khas Pulau Ende tidak dibuatnya.
            Keramahtamahan warga Pulau Ende juga sangat terasa. Mereka sangat menghormati tamu. Bahkan kehadiran saya pada saat hari puasa diterima begitu familiar. Semula saya mau tidur di rumah bapak Imam Masjid Nurul Iman, Jaidun Mandar. Namun kemudian pindah lagi ke rumah bapak Pua Ngepa. Saat tiba di Pulau Ende, saya sudah disambut bapak Jaidun Mandar di tepi pantai pelabuhan rakyat.
            Walau sudah menolak dibuatkan minum demi menghargai yang sedang berpuasa, toh tetap dibuatkan juga. Memang sudah menjadi adat, setiap tamu harus disuguhkan minum. Saya tetap disuguhkan kopi susu dan dodol khas Pulau Ende. Seorang kerabat bapak Jaidun Mandar yang katanya sudah berbuka lebih dahulu menemani minum sore itu. Sebelumnya, mereka sudah tahu bahwa saya bukan Muslim. Secara pribadi, saya merasa begitu dihargai karena walau sedang berpuasa, toh mereka masih menyiapkan minuman untuk saya bahkan ada kerabat yang sudah berbuka dan menemani saya minum.
            Pada titik ini, toleransi masyarakat Pulau Ende sangat tinggi. Walau berada di Pulau yang seratus persen Islam, toh mereka masih menunjukan toleransi bagi sesama saudara yang beragama lain yang datang di Pulau Ende.
            Pulau Ende memang unik. Pertama unik karena seratus persen penduduknya beragama Islam. mereka mayoritas di tengah minoritas mengingat NTT dikenal mayoritas beragama Kristen. Kedua, di Pulau Edne tidak ada air tawar. Sumur yang ada di sana airnya berasa payau. Namun sekarang mereka sedikit terbantu dengan hadirnya program penampung air hujan (PAH) dari UNICEF sehingga saat ini semua rumah di Pulau Ende sudah memiliki bak penampung air hujan. Keunikan yang ketiga adalah di pulau ini tidak ada mobil penumpang sehingga satu-satunya alat transportasi adalah sepeda motor ojek. Warga pulau ini dulunya juga terkenal dengan kebiasaan buruk buang air besar (BAB) di pinggir pantai. Tapi, kebiasaan ini kata Kepala Desa Rorurangga, Junaidi P.S kian berkurang. Hal itu karena saat ini semua rumah sudah memiliki jamban yang juga merupakan bantuan dari UNICEF. Tapi kebiasaan itu tidak bisa dihilangkan secara total. Kebiasaan yang sudah lama ada itu butuh waktu untuk menghilangkannya.
            Masyarakat Pulau Ende yang seratus persen penduduknya beragama Islam tidak menutup diri terhadap kehadiran orang luar. Ada juga warga dari luar yang beragama lain diterima dengan baik di sana. Ada pegawai pemerintah yang beragama Katolik dan Hindu pernah juga ditempatkan di sana. Mereka juga diterima dengan baik dan bertugas di sana hingga masa tugas berakhir. Hanya saja mereka terkadang mengalami kesulitan. Terutama tempat ibadah karena memang di Pulau Ende tidak ada rumah ibadah dari agama lain. Di sana hanya ada masjid dan langgar. Jumlah masjid yang ada di tujuh desa itu sebanyak 13 dan langgar sebanyak tiga buah.
            Menariknya lagi, masjid dan langgar itu dibangun dari swadaya masyarakat walau mereka sadari mengalami keterbatasan ekonomi.
            Sebagaimana diakui Imam Masjid Nurul Iman Ekoreko, Jaidun Mandar, masjid Nurul Iman yang direhab merupakan swadaya murni masyarakat. Mereka tidak pernah meminta bantuan dari pihak luar. Bahkan, penduduk di desa tetangga pun tidak pernah dimintai bantuan saat membangun masjid dimaksud.
            Penduduk Pulau Ende terbilang sangat menjaga ketentaraman dan hubungan baik dengan masyarakat Kota Ende yang mayoritas bergama Katolik. Penduduk tidak pernah mau mengambil sikap ketika terjadi persoalan yang terkait dengan masyarakat di Kota Ende. Kendati beberapa kali di Kota Ende terjadi perkelahian antar kampung yang menjurus ke persoalan agama, toh penduduk Pulau Ende tidak mengambil urus persoalan seperti itu.
            Kehidupan masyarakat Pulau Ende demikian tentram dan damai. Damai menjelang hari raya Idul Fitri. Hujan makin membesar di luar rumah. Waktu telah beranjak memasuki pukul 22.45 saat terdengar alunan irama dangdut menghentak di tengah laut Pulau Ende. Malam takbiran di atas perahu yang sebelumnya sekira pukul 19.00 bergerak dari Dermaga Pulau Ende mengumandangkan takbir shalawat Allah hu Akbar, kini telah berganti dengan irama dangdut yang menghentak membuat suasana malam takbiran dalam perjalanan pulang itu kian semarak.



Sunday, February 22, 2015

Pantai Cincin Pesisir Selatan Ende

          

            “Batu Cincin” buka sebuah batu alam yang digunakan untuk menghiasi cincin tapi sebuah istilah yang mulai populer bagi masyarakat kota Ende untuk menamai sebuah pantai berpasir abu-abu. Letaknya sekitar kampung Numba, ke arah barat dari kota Ende. Kurang lebih 20 menit jika kita menggunakan kendaraan roda dua. Bagi masayakat setempat pantai itu lebih dikenal dengan nama “Tewe” atau “Tewi Mbi’a”. Ketika banyak warga kota yang penasaran melihat tempat ini, mereka pun menamakannya dengan “batu Cincin”. Akses menuju lokasi ini tergolong menantang. Hal ini disebabkan kendaraan tidak bisa menjangkau langsung ke lokasi. Dari pinggir jalan, Orang yang ingin ke pantai harus melewati jalan menurun, kemudian berjalan kaki menyusuri kebun milik warga sekitar 600 m sebelum akhirnya tiba di pinggir pantai. Dari pinggir pantai, perjalanan masih harus diteruskan untuk sampai ke batu cincin tersebut. Sekedar info jika ingin mendapat pemandangan yang bagus dan menakjubkan sebaiknya kunjungan dilakukan pada waktu pagi hari atau pada saat bulan purnama, so’alnya pada saat itu terjadi pasang surut sehingga pemandangan dan akses ke batu cincin lebih mudah dan terlihat lebih indah.....
Berikut adalah foto-fotonya.....







 http://catatan-sangpemimpi.blogspot.com/2013/09/pesona-batu-cincin.html

Wednesday, February 18, 2015

TARIAN GAWI

5000 orang penari melakukan tarian gawi untuk memperingati hari lahirnya pancasila
            Pada perhelatan akbar ritual adat, masyarakat Lio mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara pada kata bertandak yang berarti Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan pikiran.
            Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI sebagai TANDAK dari daerah Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam tarian gawi pun kita yang terlibat dalam ritual tersebut berkewajiban saling bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki serta mempuyai pikiran yang sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh melepaskan tangan sampai upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat melepaskan tangan kita pada saat kita hendak beristirahat.
            Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar - benar menguasai alur - alur bahasa adat ketika di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan kemenangan.
            Secara harafia jika didefinisikan Arti kata “Gawi” sebagai berikut; “Ga” Segan/sungkan. Sedangkan “Wi” artinya menarik, dalam arti menyatukan diri. Tarian ini adalah simbol faktual entitas yang merupakan daya pemersatu kalangan antara bangsawan dan kaum jelata etnik Ende Lio di masa lampau. Filosofi tarian ini adalah merayakan ritual kehidupan, baik merayakan kelahiran, masa panen atau momen lainnya dalam kehidupan etnik Ende Lio. Salah satu tujuan dari upacara adat ini adalah ungkapan syukur atas segala nikmat dari Yang Kuasa. Dari semua tarian adat Lio, Gawi merupakan sebuah tarian yang mempunyai banyak makna filosofis sebagai berikut:
a.       Makna religius : Syair lagu gawi, "Du’a Lulu Wula,Ngga’e Wena Tana". Mempunyai makna pemujaan melalui kidung-kidung agung untuk menghormatan terhadap wujud Tuhan yang Maha Tinggi.
b.      Makna Persatuan : Koreografi gawi, dalam bentuk lingkaran bulat (berpengangan tangan). Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Lio sangat tergambar jelas melalui ritual gawi ini. Sehingga setiap orang yang terlibat dalam ritual ini harus menyadari betul inti kebersamaan "To'o Lei Po'o, Mbana Lei Meja".
c.       Makna Kesetaraan jender : Peserta gawi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jika Indonesia mengenal kata emansipasi wanita, sesungguhnya orang Lio sudah mengenal kesetaraan jender melalui ritual gawi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti bahwa disetiap ritual-ritual adat orang Lio, kaum wanita mendapat tempat dengan tugas tersendiri tanpa campur tangan kaum lekaki. Misalnya: Mengatur perbekalan, mengatur hasil-hasil panen, dan juga semua persoalan yang berkaitan dengan rumah adat, karena rumah adat sebagai simbol kelahiran yang datang dari wanita.
d.      Makna Tanggung jawab : Komponen peserta gawi terdiri dari ulu eko, (Pemimpin), tuke ulu eko (Pembantu pemimpin), naku ae (Pendukung/pelaksana). Disini dimaksudkan dalam setiap perkampungan adat Lio, semua para pemimpin adat maupun masyarakat jelata harus tahu tugas dan tanggung jawabnya terhadap "Du'a Gheta Lulu Wula" serta aturan-aturan adat yang berlaku di dalam adat mereka sendiri.
e.       Makna Tatakrama : Sopan santun, saling menghargai, saling menerima. Inilah yang disebut kepemimpinan adat Lio kolektif kolegial. Artinya semua sesepuh maupun fai walu ana kalo harus saling menghargai, tahu tatakrama, dan saling menerima antara satu dengan yang lainnya.
            Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah ritual ibadat, dalam agama asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah suku dan ajaran - ajaran moral, yang sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan Lio, pada saat ritual adat GAWI, ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu). Hal ini sudah terjadi secara turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli, bahwa 'pendeta' agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang Lio mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau beberapa agama asli di NTT. Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang paling murni dari masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga paling layak mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa.
            Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan kepercayaan setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung sebagai sumber kehidupan. Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat yang paling dilindungi. Ular diwilayah Lio, diyakini sebaga pelindung dewi padi (Ine Mbu). Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak selalu berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita.
            Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang lalu memberinya makan berupa telur ayam sebagai wujud penghormatan. Berikut ini sebuah petikan syair penghormatan orang Lio terhadap ular:
Nusa Nipa - Pulau Ular:
Bu'u suru Lepembusu, - Dimenangkan di Lepembusu
Kanga ria tenda bewa, - Pelataran mega, bale agung
Ulu endo mbawe, - Hulu menjurus ke utara
eko tola ndale - Hilir menjurus ke Selatan
Ulu gheta kowe jawa - Kepala menjurus ke Timur
Kami pa'a miu no'o ka - Kami memberimu sesajen
Eko ghale bajo bima - Ekor ke Bajo Bima
Kami rewu miu no'o ru'e - Bagimu kami serakan santapan
Ulu leja geju, - Kepala ditempat terbitnya Matahari
Eko leja mele - Ekor di tempat terbenam
Ulu ata ma'e gete - Kepala jangan dipancung
Eko ata ma'e sete - Ekor jangan dipenggal
Ata eo kolu mbou ulu - Kepada pengacau (Perampas)
Soke kolo kai, - Penggalkan kepalanya
Ata eo rai ramba eko - Kepada perampok
Gete lima kai - Potong tangannya
Pusu kai tu leka tubu - Sajikan jantungnya di batu pemujaan
Lema kai Tu leka fi'i kanga - Lidahnya dikurbankan dipelataran
Ta'u leka nipa ria - Takut kepada ular
Ga leka bhara bani - Segan kepada Bhara buas
Nipa ria mbale lamu, - Ular besar menjelma lumut
Lamu mbale tana - Lumut menjelma tanah
Kita mera leka tana - Kita bermukim ditanah
Ina mera leka longgo - Berarti bemukin di punggung (ular)
            Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak. Banyak agama asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya adalah JingiTiu di Sabu (padhoa), Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong), bahkan, orang Yahudi ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos.
            Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair.
            Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, Moni, Tenda atau Watuneso dalam cakupan luas (lise nggonde ria). Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores sendiri tidak bisa mempertahankan nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?