Tenun ikat atau kain ikat adalah
kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan atau
benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna
alami.
Tenun
merupakan salah satu jenis seni kriya Nusantara yaitu kriya tekstil. Tenun
merupakan salah satu kerajinan seni yang patut dilestarikan. Seperti yang
dikatakan Joseph Fisher (dalam Suwati Kartiwa, 1986: 1) Indonesia adalah salah
satu Negara yang menghasilkan seni tenun yang terbesar terutama dalam hal
keanekaragaman hiasannya. Dalam tenun ikat terdapat beberapa aspek yang menjadi
nilai yang terkandung di dalam proses maupun hasil dari selembar tenun ikat. Aspek-aspek
ini dapat diuraikan antara lain;
1
Aspek Sosial : Dalam aspek sosial kain
tenun banyak digunakan untuk upacara-upacara adat seperti kelahiran,
perkawinan, ataupun kematian. Bahkan lambang dan warnanya pun telah disesuaikan.
2
Aspek Ekonomi : Kain tenun dalam aspek
ekonomi dipakai sebagai alat pertukaran. Pertukaran dalam arti barang yang
dipertukarkan dengan barang lainnya.
3
Aspek Religi : Pada aspek religi terlihat
bahwa ragam hias yang diterapkan mengandung unsur perlambangan yang berhubungan
dengan kepercayaan atau agama tertentu. Dalam upacara keagamaan kain tenun
khusus digunakan oleh pemuka agama atau dukun.
4
Aspek Estetika : Aspek estetika terlihat
pada keterampilan, ketekunan didalam menciptakan suatu karya. Baik dari segi
garis, motif dan warnanya dan menghasilkan suatu nilai estetika.
Tenun
ikat atau kain tenun merupakan kriya tenun berupa kain yang ditenun dari
helaian benang pakan dan lungsi yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam
pewarna. Istilah ikat didalam menenun ini menurut Loeber dan Haddon (1936)
diperkenalkan di Eropa oleh Prof.A.R Hein pada tahun 1880 dan menjadi istilah
dalam bahasa Belanda yang disebut ikatten dan dalam bahasa Inggris
kata ikat berarti hasil selesai dari kain dengan tehnik ikat dan to
ikat untuk arti proses dari tehniknya (dalam Suwati Kartiwa, 1989: 5).
Sedangkan
motif yang dibuat pada jaman itu terdapat penggambaran yang berasal dari jaman
Neolitikum yang diterapkan pada kain pakaian tersebut sebagai corak. Corak
tersebut diantaranya seperti; nenek moyang, pohon, perahu, arwah dan sebagainya
(dalam Suwati Kartiwa, 1989: 7-8).
Dalam
tenunan Ende dan Lio biasanya berwarna dasar merah tua kecoklatan, ditenun dua
kali dan dijahit dengan memisahkan bagian tengah (one) dan bagian kaki (ai).
Bagian tengah mempunyai ikatan sebagai pola khusus, sedangkan bagian kaki
senantiasa diperkecil sehingga setiap jalur itu mempunyai nama masing-masing
sampai jalur yang paling kecil.
Pada
kain tenunan untuk pria Ende dan Lio biasanya berwarna dasar hitam atau biru
kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang lungsin yang sejalan
dengan jalurnya mendatar yang biasa disebut Ragi/Luka. Untuk tenunan wanita
Ende dan Lio adalah motif Flora dan Fauna. Seperti kuda, daun, burung, lalat
atau sayap lalat yang disebut lawo/zawo. Sedangkan untuk motif kain dan
selendang didominasi oleh motif bunga yang diselingi garis hitam kecil diantara
motif-motifnya dengan rumbai-rumbai pada bagian ujung.
Adapun beberapa jenis hasil tenun
ikat dapat dipaparkan antara lain;
1. Semba
(kabupaten Ende)
Jenis motif : selendang laki-laki
Jumlah motif : vertikal 2×4 motif, horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar : 2 (dua) singi, setiap Singi telah disatukan dengan bagian Onenya
Ukuran : 200 cm x 100 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka Lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Kelurahan Onelako dan Desa Manulondo, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende
Semba adalah selendang kebesaran para Mosalaki dan Ria bewa yang dipakai pada upacara adat yang sangat ritual. Cara pembuatannya pun cukup rumit karena banyak persyaratannya. Semba terdiri dari 2 (dua) lembar yang dijahit menjadi satu lembar selendang semba, dengan posisi motifnya saling berhubungan. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
2. Lawo
Jara Nggaja
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 10 motif
Horisontal 2×7 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) singi, 1 (satu) one
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo, Kelurahan Onelako Kecamatan Ndona
Nama
Lawo Jara Nggaja diberikan sesuai dengan namanya atau nama dari motif Lawo
tersebut yaitu “Jara Nggaja”. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini
adalah pakaian kebesaran bagi istri para tua adat (Mosa Laki) disekitar lokasi
pembuatan dan dipakai pada saat upacara adat. Yang perlu diperhatikan adalah
cara memakai sarung ini yaitu harus searah dengan motif Jara Nggaja yang
berdiri, jangan sampai terbalik motif kaki dari Jara Nggaja arahnya keatas.
Arti dari Jara NGGAJA yaitu KUDA dan GAJAH.
3. Lawo
Pundi
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 6 motif, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) singi, 1 (satu) one
Ukuran : 200 cm x 100 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka Lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Desa Nggela, Kec. Wolojita, Kab. Ende
Pada
dasarnya motif Lawo Pundi adalah bermotif serangga dan binatang melata. Motif
ini jarang ditemui di Kota Ende. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif
Lawo Pundi dibuat berdasarkan hasil tiruan dari manik-manik pada pundi-pundi di
jaman dahulu sehingga Lawo Pundi bermotif persegi empat seperti pundi dengan
butu seke. Lawo pundi selain dipakai oleh istri-istri Mosa Laki dan tua-tua
adat di Nggela, juga dikenakan oleh para gadis keturunan Mosa Laki untuk menari
tarian Mure.
4. Lawo
Soke
Jenis motif : sarung perempuan
Jenis Lawo Soke : Soke mata ria atau mata karara dan Soke Bele Kale
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) Singi, 1 (satu) One
Ukuran : 200 cm x 100 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
Motif
Soke dibuat berdasarkan meniru daun sukun atau wunu tere yang berdiri dan
menempel pada lawo dan kata soke yang artinya menancap, sehingga dari cara
menirunya yaitu pada daun sukun yang berdiri, orang menamakan jenis lawo ini
yaitu lawo soke. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Adapun motif pada lawo
ini diantaranya disisipkan dengan motif tambahan yaitu mata gami lima dan gami
telu yang bentuknya seperti sayap lalat, jenis orang menamakan soke bele kale.
Jenis sarung soke dan soke bele kale biasanya dijadikan sarung atau lawo
pengantin perempuan disekitar lokasi pembuatannya.
a. Lawo
Soke Mata Ria
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 lembar terdiri dari 2 Singi dan 1 One
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
Motif Lawo Soke Mata Ria dibuat berdasarkan meniru daun sukun yang berdiri tempel pada lawo dan kata Soke artinya menancap dan Ria artinya besar. Jadi Lawo Soke Mata Ria artinya motif daun sukun yang besar yang dimunculkan pada sarung/lawo. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara adat baik yang resmi maupun tidak resmi.
b. Lawo
Soke Mata Lo’o
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 lembar terdiri dari 2 Singi dan 1 One
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
Motif Lawo Soke
Mata Loo dibuat berdasarkan meniru daun sukun yang berdiri tempel pada lawo dan
kata Soke artinya menancap dan Loo artinya kecil. Jadi Lawo Soke Mata Loo
artinya motif daun sukun yang kecil yang dimunculkan pada sarung/lawo. Sarung
ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara lainnya adat baik yang resmi
maupun tidak resmi.
5. Lawo Nepa Mite
Jenis lawo : Nepa mite dan Nepa Te’a
Jumlah motif : vertikal 1 motif utama, 4 motif ½ motif utama, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, motif utama terletak di bagian Singi atau dibagian kaki bila dipakai
Ukuran : 200 cm x 150 cm
Lokasi pembuatan : di pesisir pantai selatan dari daerah Lio Kab. Ende
Pada
jaman dahulu sudah terjadi pertukaran budaya antara kerajaan-kerajaan di dunia
dengan para petinggi Flores khususnya di Ende Lio. Tidak heran bila Ende Lio
memiliki motif Nepal. Dinamakan lawo Nepa Mite karena motifnya berasal dari
Nepal dan warna motifnya hitam putih atau hitam nilam (nggili).
Lawo
Nepa Mite dengan Lambu Mite Mina biasa dipakai oleh ibu-ibu Mosalaki saat
upacara adat dan ritual lainnya. Dan sarung jenis ini jarang dipakai oleh para
gadis, kecuali Lawo Nepa Te’a atau motif utamanya diberi warna warna kembo atau
bahan benang kuning.
6. Lawo
Nepa Te’a
Jenis motif : sarung perempuan
Jenis lawo : Nepa Te’a dan Nepa mite
Jumlah motif : vertikal 1 motif utama, 4 motif ½ motif utama, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, motif utama terletak di bagian Singi
atau dibagian kaki bila dipakai
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : di pesisir pantai selatan desa Wolo Topo Kec. Ndona hingga Watu Neso Kecamatan Lio Timor Kabupaten Ende
Lawo Nepa Te’a merupakan pengembangan dari Lawo Nepa Mite karena seluruh motif semuanya sama. Perbedaannya hanya pada motif utama yang diberi warna kembo atau bahan dasarnya benang berwarna kuning.
Lawo
Nepa Te’a artinya lawo nepa berwarna kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh kaum
perempuan baik ibu-ibu maupun gadis-gadis pada acara apa saja.
7. Senai
Jenis motif : selendang laki-laki (untuk menari)
Jumlah motif : vertikal 2 mata kopo dan 1 mata one, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar : 1 (satu) lembar, terdiri dari Singi dan One
Ukuran : 200 cm x 50 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
di pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda Hingga kecamatan Lio Timur Kabupaten Ende.
Hampir
semua ibu-ibu pengrajin dapat membuat selendang Luka atau Senai, tetapi
motifnya berbeda-beda sesuai daerah masing-masing. Gambar dibawah ini merupakan
contoh Senai atau Luka Mata Kopo dari desa Nggela Kec. Wolojita.
Daerah kecamatan Nangapanda – kecamatan Ndona – kota Ende dan sekitarnya menamakan Senai karena terdiri dari satu lembar. Sedangkan di daerah Lio menyebutnya Luka karena dipakai oleh kaum pria. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
Selendang ini biasa dipakai saat Wanda Pa’u (tarian massa) dan tarian khas daerah Ende Lio pada acara-acara resmi. Sarung Luka bagi di daerah kota dan sekitarnya adalah sarung laki-laki atau Luka Mite. Sedangkan Luka Mite bagi daerah Lio adalah Ragi Mite.
Daerah kecamatan Nangapanda – kecamatan Ndona – kota Ende dan sekitarnya menamakan Senai karena terdiri dari satu lembar. Sedangkan di daerah Lio menyebutnya Luka karena dipakai oleh kaum pria. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
Selendang ini biasa dipakai saat Wanda Pa’u (tarian massa) dan tarian khas daerah Ende Lio pada acara-acara resmi. Sarung Luka bagi di daerah kota dan sekitarnya adalah sarung laki-laki atau Luka Mite. Sedangkan Luka Mite bagi daerah Lio adalah Ragi Mite.
8. Lawo
manu
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk Lawo Soke : Soke mata ria atau mata karara Soke bele kele
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar : 3 lembar terdiri dari 1 one dan 2 singi
Lokasi pembuatan : desa Nggela dan Wolojita, Kecamatan Wolo jita
Motif Lawo Manu dibuat berdasarkan meniru seekor binatang Ayam. Yang berdiri tempel pada Lawo dan kata Manu yang artinya Ayam.
Adapun motif ini diantara motifnya disisipkan dengan motif tambahan yaitu mata gami lima dan gami telu, yang bentuknya seperti sayap ayam, jenis ini orang menamakan Lawo Manu. Sarung ini biasanya dijadikan sarung atau Lawo pengantin perempuan disekitar lokasi pembuatannya.
9. Mata
rote
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 1 motif utama dan 4 motif ½ utama, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 lembar, motif utama terletak dibagian singi atau dibagian kaki bila dipakai Lokasi pembuatan : pesisir pantai selatan dari desa Wolotopo, Kec. Ndona Hingga kota Ende dan sekitarnya.
Lawo
Mata Rote merupakan pengembangan dari Gami Tere Esa karena seluruh motif
semuanya sama. Perkembangan hanya pada motif utama karena diberi dengan warna
kembo atau bahan dasarnya benang berwarna kuning. Lawo Mata Rote artinya motif
yang kecil berwarna putih kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh semua kalangan
baik para ibu maupun para gadis untuk acara adat dan acara lainnya.
10. Lawo
Mberhe Arhe/Bele kale
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 2 mata pada singi dan 1 mata pada one
Jumlah lembar : 1 lembar, terdiri dari singi dan one
Lokasi pembuatan : pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda, Ende dan Ende selatan.
Jumlah motif : vertikal 2 mata pada singi dan 1 mata pada one
Jumlah lembar : 1 lembar, terdiri dari singi dan one
Lokasi pembuatan : pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda, Ende dan Ende selatan.
Bele
Kale artinya sayap lalat. Sarung ini hampir dapat dibuat oleh semua pengrajin
tenun ikat, hanya motifnya berbeda-beda sesuai dengan daerah masing-masing.
Sarung ini dipakai pada saat upacara adat atau acara keagamaan baik resmi
maupun tidak resmi.
11. Lawo Mata Anggo
Jenis
motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 3 motif, Horisontal 5 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar yaitu dari 1 One dan 2 Singi
Ukuran : 200 cm x 140 cm
Motif utama : motif mata anggo
Jumlah motif : vertikal 3 motif, Horisontal 5 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar yaitu dari 1 One dan 2 Singi
Ukuran : 200 cm x 140 cm
Motif utama : motif mata anggo
Lokasi pembuatan : desa Jopu – Kec.Wolowaru – kota
Ende dan sekitarnya
Motif
lawo Mata Anggo sebenarnya diambil atau meniru motif batik dan bagi masyarakat
Ende Lio dinamakan Kae Anggo. Adapula gabungan motif batik dengan motif dasar
tradisional seperti Seke Bele Kale atau Soke Mata Lo’o dengan 5 (lima) gami.
Sarung ini sebenarnya gabungan dari motif batik dan motif tenun ikat
tradisional kabupaten Ende dan masih dianggap baru. Warna dasarnya adalah hitam
dari nila. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara lainnya baik
yang resmi maupun tidak resmi.
12. Lawo One Mesa
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 18 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : desa Manulondo – kec. Ndona –Kab. Ende
Jumlah motif : vertikal 18 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : desa Manulondo – kec. Ndona –Kab. Ende
Lawo One Mesa atau Lawo Mboko Wea atau Lawo Sue, karena yang membuat motif ini pertama kali adalah Ibu Theresia Sue (almr) asal Ndona, yang adalah generasi sebelum Indonesia merdeka. Sarung ini berbentuk Mata Kopo dan bagian tengahnya diisi dengan motif Mboko Wea atau motif sesuai dengan posisi motifnya saling berhubungan dengan setiap lembar. Dikatakan Lawo One Mesa karena ketiga lembar dengan motif yang sama dan jenis sarung ini memang agak rumit dibuat. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini biasa digunakan sebagai sarung pengantin perempuan. Sarung ini tergolong langka karena yang membuatnya masih bersifat turun temurun. Jenis lawo ini sekarang berkembang menjadi bermacam jenis motif tetapi polanya tetap sama dengan aslinya dan kini telah menjadi motif dasar lembaran.
13. Lawo
Pea Kanga
Jenis
motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 18 motif,
Horisontal 2×13 motif Jumlah lembar :
3 (tiga) terdiri dari 1 (satu) One dan 2 (dua) Singi – Ukuran
: 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Kecamatan Nangapenda – Kecamatan Ndona,Kota Ende dan sekitarnya – Kabupaten Ende
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Kecamatan Nangapenda – Kecamatan Ndona,Kota Ende dan sekitarnya – Kabupaten Ende
Lawo
Pea terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Pea biasa dan Pea Kanga (seperti terlihat
pada gambar) karena terdapat penambahan motif kanga atau jari pada bagian
tengah motif. Ada yang mengatakan bahwa nama sarung ini diambil dari nama si
pembuat pertama motif sarung ini yaitu Ine Pea. Ada pula yang mengatakan Pea
adalah Pi’a atau dipotong pada motif Lawo Pea sehingga arti dari nama sarung
tersebut adalah dipotong. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini
dipakai pada saat acara keluarga atau acara keagamaan dan juga untuk Wai Laki
atau memberikan kepada saudara pada acara adat.
Yang sangat diperhatikan adalah sarung ini tidak boleh dipakai oleh para gadis karena dipercaya gadis-gadis sulit mendapatkan jodoh. Hal ini karena sesuai dengan arti sarung yaitu jodohnya selalu dipotong oleh orang lain.
Yang sangat diperhatikan adalah sarung ini tidak boleh dipakai oleh para gadis karena dipercaya gadis-gadis sulit mendapatkan jodoh. Hal ini karena sesuai dengan arti sarung yaitu jodohnya selalu dipotong oleh orang lain.
14. Lawo
Jara
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : motif Jara (kuda) dan mata Saliwu
Jumlah motif : vertikal 18 motif, Horisontal 2×13 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) terdiri dari 1 (satu) One dan 2 (dua) Singi
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : desa Manu Londo – Kel. Onelako – Kota Ende dan sekitarnya – Kab. Ende Ende
Nama sarung ini sesuai dengan dengan bentuk motifnya yaitu jara atau kuda dan untuk menambah motif diantara kuda yaitu ditambahkan motif mata saliwu. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif jara sebenarnya bagian dari motif lawo jara nggaja hanya jumlah gaminya agak berbeda. Sarung ini digunakan oleh kaum wanita pada saat acara keluarga dan acara keagamaan dan cara memakainya harus sesuai dengan motif kuda berdiri sehingga tidak terbalik.
15. Lawo
gami tera esa
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 18 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Desa Wolopau – Nggela – Kecamatan Wolojita Tenda – Jopu – Kecamatan Wolowaru
Nama sarung ini disesuaikan dengan pembuatannya yaitu setiap motif mempunyai 9 (sembilan) gami atau sembilan ikatan benang, sehingga orang menamakannya Lawo Gami Tera Esa. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Dari setiap jenis lawo, sarung inilah yang sangat sederhana cara membuatnya dan tidak serumit sarung jenis lainnya.
Sebenarnya
motif sarung ini diambil dari bagian motif lawo kelimara dan sarung ini sangat
digemari oleh para gadi kabupaten Ende dan sekitarnya. Sarung ini dipakai pada
saat mana saja terutama para gadis menggunakan sarung ini sebagai pakaian
tarian massa, karena mudah diperoleh bila dibutuhkan.
16. Lawo
Mata sinde
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : motif mata sinde dan lawo Kelimara
Jumlah motif : vertikal 4 motif mata sinde, 1 motif kelimara dan 5 motif lainnya,
Horisontal 2×6 motif + bharaka
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar
Lokasi pembuatan : desa Ngaluroga Kec. Ndona dan Kecamatan Wolojita
Motif
sarung ini sebenarnya meniru motif dari salah satu jenis selendang sinde
ukurannya paling kecil untuk digunakan sebagai ikat pinggang atau kepala
laki-laki. Jenis selendang sinde sekarang ini hampir punah karena jarang sekali
orang membuatnya. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif mata sinde
terdapat pada bagian lembaran one atau tengah sedangkan pada bagian bawah kaki
bila dipakai motifnya hampir sama dengan motif dari lawo kelimara. Untuk
mendampingi motif mata sinde, ada 2(dua) motif dari lawo nepa te’a metu serta
motif lainnya dari bagian sarung.
Jenis sarung ini biasanya digunakan oleh ibu-ibu maupun para gadis pada upacara adat maupun upacara agama.
Jenis sarung ini biasanya digunakan oleh ibu-ibu maupun para gadis pada upacara adat maupun upacara agama.
17. Lawo Keli Mara
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : Gunung, Teo Timbu, Gami tera es
Jumlah motif : vertikal 2 motif utama an Teo timbu dan 12 motif gami tera esa
Horisontal 2x motif utama
Jumlah lembar : 3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Nggela – Wolo pau – Wolo jita – Tenda – Jopu – Mbuli – Jopu Kecamatan Wolojita dan Kecamatan Wolowaru
Bentuk motif : Gunung, Teo Timbu, Gami tera es
Jumlah motif : vertikal 2 motif utama an Teo timbu dan 12 motif gami tera esa
Horisontal 2x motif utama
Jumlah lembar : 3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Nggela – Wolo pau – Wolo jita – Tenda – Jopu – Mbuli – Jopu Kecamatan Wolojita dan Kecamatan Wolowaru
Kelimara
adalah lawo/sarung yang bermotif gunung, yang memberi kehidupan kepada umat
manusia atas cinta kasih yang Maha Penyayang. Warna dasarnya adalah hitam dari
nila. Nama sarung ini disesuaikan dengan bentuk motifnya yang terdapat pada
sarung tersebut. Keunikan dari sarung ini yaitu motif utamanya terletak pada
sisi sarung atau lembaran luar dari bagian sarung atau pada bagian kaki bila
dipakai. Sedangkan pada bagian lembaran yang lain motifnya berbentuk Gami tera
esa bila bagian atas tidak dipakai motif utama.
Sarung
ini digunakan sebagai sarung pengantin perempuan dan juga digunakan oleh
ibu-ibu mosalaki pada saat upacara adat. Lawo Kelimara terdiri atas 2 jenis
motif yaitu : Motif berbentuk gunung yang menjulang tinggi. Ada juga
berbentuk gunung kecil bagian tengah motif dan bagian atasnya berbentuk seperti
rumah adat. Lawo Kelimara dengan motif utama terdapat pada kedua sisi lawo
dengan 9 (sembilan) motif Gami tera esa serta 2 (dua) motif Teo timbu.
18. Lawo
mangga
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : Mata Bhuja dan Mata Ndala
Jumlah motif : vertikal 12 motif, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo – desa Lokoboko – kel. Onelako, Kec. Ndona, di pesisir kec. Nangapanda, Ende dan Kota Ende sekitarnya
Warna
dasarnya adalah hitam dari nila. Disebut lawo Mangga atau Maga karena bentuk
motifnya seperti bambu palang pada pagar. Lawo mangga atau maga yang artinya
bambu palang pagar. Sedangkan bentuk motifnya adalah jala ikan (Mata Ndala) dan
Bhuja (bagian sirip ekor ikan). Sarung ini biasa dipakai sebagai pakaian
sehari-hari oleh ibu-ibu dan para gadis.
19. LUKA/RAGI
Berwarna
dasar hitam atau biru kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang
lungsin yang sejalan dengan jalurnya mendatar dan merupakan kain tenun untuk
kaum pria.
No comments:
Post a Comment