Hingga kini, tidak banyak yang
mengetahui asal mula berdirinya kota Ende secara jelas, namun bagian-bagian
pencerahan bertumpu pada serpihan-serpihan sejarah yang tercecer kini perlahan
mulai terkuak, sehingga munculnya artikel ini menjadi 'turning point' untuk
dijadikan pedoman penggalian fondasi sejarah yang utuh. Meski hanya serpihan,
namun artikel yang di himpun dari beberapa sumber ini dapat memberi gambaran
jelas kemisterian peristiwa masa lampau. Karena itu, pada bagian mukadimah
penulis ingin menyampaikan agar setiap pembaca dapat memberikan kontribusi
menyempurnakan isi jika dalam artikel ini terdapat kekurangan.
Penulis memahami, bahwa
munculnya artikel ini dapat saja menuai perbedaan tajam antara sumber lisan
maupun literatur yang dimiliki penulis. Namun demikian, penulis merasa
tertantang untuk menerobos kewenangan sejarah masa lampau yang penuh misteri
demi tersemburnya sebuah fakta otentik. Karena ini, penulis mengajak semua para
pembaca untuk sama-sama melengkapi tulisan ini. Dari sumber yang tercantum
diatas, penulis menemukan beberapa fakta sejarah kota Ende yang konon merupakan
sebuah perkampungan kecil (Nua Endeh) dan kemudian berkembang menjadi sebuah
kerajaan bernama kerajaan Endeh.
Dahulu, Ende merupakan tempat
persinggahan dan bandar pelabuhan perdagangan antar masyarakat nusantara maupun
masyarakat luar. Letaknya yang strategis, berada di tengah-tengah pulau Flores
membuat Ende sangat diminati oleh saudagar-saudagar sehingga kaum gujarat,
unsur Cina, kaum muslim, kerajaan Majapahit, kesultanan Gowa, kesultanan Bima,
Portugis dan Belanda pun kepincut ingin menguasai Ende lewat perdagangan,
penyebaran agama maupun agresi-agresi militer.
Satoshi dalam naskah sejarah
Flores mengemukakan bahwa; "Pendiri kerajaan Endeh adalah seorang pria
dari Jawa. Beliau menikahi puteri tuan tanah di Endeh dari kampung Numba dan
dari kampung Nggela. Sebab itu ia diberi kekuasaan dan hak-hak atas tanah Ende
oleh ayahnya mertuanya. Kemudian ia mendirikan dinasti Endeh (Kerajaan Endeh).
Ia adalah raja pertama bernama Djari Jawa sekitar abad 15. Nama asli Djari
Djawa adalah Raden Husen, seperti nama Islam Jawa". Pada orde ini,
kerajaan Ende berdiri secara tradisional tanpa sentuhan pengaruh Portugis
maupun Belanda. Namun kerajaan ini tidak berkembang karena sistem kerajaan yang
pada waktu itu tidak dimanaging dengan baik, sehingga terjadi stagnasi dalam
waktu yang cukup lama.
Kerajaan Endeh akhirnya dihidupkan
kembali pada masa pemerintahan raja Indra Dewa sekitar tahun 1800 atas dukungan
raja Gowa (Sulawesi). Pada periode ini, sultan Bima yang juga merupakan
keturunan raja Gowa turut berperan membina hubungan kekerabatan dengan raja
Indra Dewa. Jauh sebelum masa pemerintahan raja Indra Dewa, bangsa Portugis
telah melakukan perniagaan di wilayah Endeh karena Ende merupakan penghasil
kayu manis terbesar di dunia. Sehingga untuk mempertahankan mengaruhnya,
Portugis mendirikan benteng Rendo Rate Rua di pulau Ende pada tahun 1659-1661.
Benteng itu akhirnya dibakar oleh para bajak laut. Hal lain yang menyebabkan
terbakarnya benteng Rendo Rate Rua ialah; terjadinya perebutan gadis Rendo
dikalangan bajak laut dengan misonaris Portugis. Hubungan kekerabatan antara
kesultanan Bima dengan kerajaan Ende berlanjut meski kerajaan Gowa telah runtuh
oleh agresi militer Belanda di Sulawesi.
Di era kolonial Hindia
Belanda, terungkap sebuah peristiwa dimana hubungan yang tidak begitu sederhana
antara kerajaan Ende dan Pemerintah Belanda. Hubungan itu telah terbina pada
kisaran tahun 1890, tahun yang menurut salah satu petugas (de Vries),
demarcates periode sebelum 1907.
Pada bulan Juni 1890,
Kupang-menjadi tempat penahanan Bara Nuri seorang mosalaki dan pejuang daerah
Ende dari kampung Wolo Are. Baranuri kemudian berhasil melarikan diri dan
kembali ke Ende. Pemerintah Kolonial Belanda meminta Aroeboesman raja Ende
waktu itu untuk membantu pemerintah menangkap Bara Nuri, namun upaya itu selalu
gagal. Setelah kegagalan berulang-ulang, terutama karena keengganan pemerintah
Belanda untuk membantu bekerja sama dengan raja, namun raja akhirnya berhasil
menangkap Bara Nuri.
Setelah kembali ke Ende, Bara
Nuri meminta bantuan Marilonga salah satu pejuang sekaligus mosalaki di tanah
Lio. Mereka mensiasati dan membangun sebuah benteng pertahanan di desa Manu Nggoo
sehingga raja Ende menyerang desa itu. Kedua pahlawan Ende ini menguasai
masing-masing medan tempur. Bara Nuri di wilayah Ende dan Marilonga di wilayah
Lio. Kedua figur ini saling menopang dalam menghadapi agresi Belanda.
Pada 8 Januari 1891, kapal perang
Jawa muncul di teluk Ipi Ende. Dengan bantuan ini dan sekitar 1.000 orang
berkumpul oleh upaya raja, menyerang benteng Bara Nuri pada tanggal 10 Januari,
dan gagal lagi. Pada bulan Februari, bala bantuan datang dari Kupang atas
komando cruiser van Speijck.
Pada tahun 1896, raja Pua Meno
secara resmi ditunjuk sebagai raja Ende oleh Pemerintah Belanda. Upaya untuk
menangkap Bara Nuri pun dilanjutkan raja Pua Meno yang diangkat Belanda.
Melihat bahwa Bara Nuri tidak
akan menyerah meskipun dihujani serangan bertubi-tubi oleh kekuatan Belanda,
lalu Belanda pun mengirimkan posthouder (Rozet) untuk melakukan perundingan
gencatan senjata. Setelah menyimpulkan perdamaian, Bara Nuri akhirnya
memutuskan untuk keluar hanya untuk ditangkap oleh posthouder. Ini suatu
perbuatan pengkhianatan yang dilakukan oleh posthouder pada waktu itu.
Menurut 'de Vries' pada waktu
itu, tahun 1910 posthouder menggunakan strategi (trap) jebakan bahwa Bara Nuri
akan diangkat jadi raja Endeh sehingga ia harus datang ke Endeh agar dapat
dipilih sebagai Raja (vries-10: 28).
Dalam waktu yang hampir
bersamaan sekitar tahun 1904, perang pecah di beberapa wilayah diantaranya
Nanga Baa, Watu Sipi dan beberapa wilayah Lio lainnya. Sehingga Pemerintah
Belanda cepat mengirim sebuah kapal, HM Mataram, untuk membantu raja.
Dalam rangkuman de Vries,
situasi politik onderafdeeling Endeh sebelum tahun 1907; Pengaruh pemerintahan
Hindia Belanda tidak lebih jauh, melainkan hanya sekitar wilayah kota Ende
sebab mereka selalu dihadang oleh Marilonga di wilayah Lio.
KLAIM KESULTANAN BIMA ATAS ENDE;
Dalam kurun waktu tahun 1800
hingga 1900-an, hubungan kerajaan Bima dan kerajaan Ende sangat erat. Hal ini
dapat terlihat dari bukti naskah otentik berupa surat menyurat antara raja
Bima, Sultan Ismail dan raja Ende, Indra Dewa. Isi surat tersebut
mengisyaratkan bahwa kedua kerajaan ini harus saling menopang antara satu
dengan yang lain. Hubungan kedua kerajaan ini telah terbina sejak klaim hikayat
kekuasaan Bima masa Tureli Nggampo, sang Makapiri Solo.
Sebagaimana yang belum banyak
diketahui, bahwa berdirinya kerajaan Ende tidak terlepas dari pengaruh Bima
sehingga menurut naskah H. Achmad/Held [1995:148, 152-3], proses pengangkatan
raja Ende harus berdasarkan mufakat kerajaan Bima. Hal ini menunjukan karakter
yang khas klaim legendaris Bima versi "Dewa Sang Bima" dan
"Makapiri Solo".
Isi dari surat raja Bima
[Sultan Ismail] di tulis pada 22 Jumadialkhir 1267 H ( 24 April 1851). Bunyi
surat itu sebagai berikut:
:___"Bahwa Paduka Duli
Yang Dipertuan Kita Seri Sultan Bima menaruh tanda serta cap didalam ini kertas
sebab ada AtanggaE anak Raja Endeh yang bernama AtanggaE Itung, AtanggaE Nuh
dan AtanggaE La Bukana, dan AtanggaE Dua dan Jenangoco Sumba bernama Adam yang
dititahkan oleh segala kepala-kepala Endeh yang datang meminta perintah, serta
idzin kepada Duli Yang Dipertuan Kita kedua dengan tanah Bima, serta dipintanya
seorang Kepala Menteri di Bima akan menggelarkan atau mendirikan Rajanya, yang
sebagaimana telah dibiasakan oleh raja-raja yang dahulu-dahulu, karena segala
Kepala-Kepala sampai segala rakyat Endeh telah sudah bersatuan mufakat dan
kesukaan AtanggaE Indra Dewa itulah menjadi Raja yang memerintahkan kepada
antero tanah Endeh dan AtanggaE KarsiA itu menjadi Kepala Bicara yang memegang
istiadat tanah Endeh.
Maka adalah Duli Yang
Dipertuan Kita kedua dengan tanah Bima terlalu suka hati, sebab Kepala-Kepala
Endeh masih juga ingat pekerjaan yang dahulu-dahulu, yang sebagaimana pekerjaan
raja-raja yang dahulu mahrum serta dikuatinya dan diteguhinya kehendak orang
banyak itu, karena tanah Endeh di bawah perintah tanah Bima memang dari dahulu
kala sampai sekarang ini.
Dari pada itulah Paduka Tuan
Kita kedua dengan tanah Bima memberitahukan tuan Petor Bima bernama Tuan
Schietno, maka Paduka Tuan Petor menerima dengan kesukaan hati akan meneguhinya
serta menguatinya yang sebagaimana yang telah dimufakatkan oleh tanah Bima
dengan tanah Endeh yang seperti pekerjaan raja-raja yang dahulu-dahulu sampai
sekarang, Tuan Petor Bima menaruh tanda tangan serta cap di dalam kertas.
Tertulis pada malam Kamis dua likur hari bulan Jumadilakhir 126."_____:
Surat Balasan Dari Raja Indra Dewa,
Dua tahun kemudian, tepatnya 2
Syawal 1269 H (3 Agustus 1853), muncul surat balasan dari raja Indra Dewa untuk
raja Bima. Bunyi surat itu sebagai berikut:
:___" Waba'du kemudian
dari pada itu adalah Paduka Adinda dan sekalian raja-raja bermahlum perihal
Adinda mempersembahkan warakat secarik kecil dengan tiada sepertinya akan
menjadi Rabitulmuhib yang tiada mangkata' lagi adanya Adinda dengan Seri Paduka
serta membikin surat kiriman yang dibawah oleh AtanggaE Itung itu telah
sampailah dengan sejahtera kepada tuju belas hari bulan Julkaidah, maka Adinda
baca daripada awal setera hingga akhirnya.
Maka telah mahfumlah apa yang
disebut didalamnya itu, dan jikalau ada kiranya hendak menanyakan hal ihkwal
tanah Endeh, Alhamdulillah di dalam hairunnasirin, maka adalah sekalian
raja-raja mengkhabarkan Seri Paduka akan Raja sudah mufakat mengangkat Raja
Indra Dewa, maka itulah Raja mengkhabarkan Seri Paduka karena tanah Bima dengan
tanah Endeh tiada boleh bercerai dari dahulu sampai sekarang demikianlah
adanya. Tertulis di dalam negeri Endeh, dua puluh tujuh hari bulan Syawal pada
hari Rebu seribu dua ratus enam puluh sembilan"____:
Dari bunyi naskah surat Sultan
Bima diatas, dapat ditafsirkan bahwa hubungan kekerabatan antara kedua kerajaan
ini telah lama sekali berlangsung dan menunjukan penemuan bukti legitimasi
kerajaan Bima atas Endeh seperti yang tertuang dalam kutipan; "Meminta
perintah serta Idzin". Hal ini dapat diartikan klaim souverenitas hegemoni
Bima yang "Makapiri Solo" bahwa kepala-kepala Endeh masih ingat
pekerjaan yang dahulu-dahulu yang sebagaimana pekerjaan raja-raja dahulu
marhum, karena tanah Endeh dibawah perintah tanah Bima dari dahulu sampai
sekarang ini.
Seperti diketahui bahwa klaim
"Makapiri Solo" sudah terjadi sejak masa Tireli Nggampo pada tahun
1660 di negeri Bima. Itu berarti klaim dan hubungan kerajaan Bima dengan
kerajaan Endeh telah terbangun pada tahun 1660. Kendati demikian, penulis
menangkap bahwa ada frase sejarah yang hilang ditengah hiruk pikuknya
perkembangan Ende masa kini. Penulis mensinyalir klaim ini bukan saja melekat
di pojok-pojok mimpi namun juga terdapat langgam "politik luar negeri"
Kesultanan Bima agar mendapat simpati Belanda. Hanya saja, kurangnya literatur
sejarah Endeh membuat klaim tersebut seolah memperteguh bahwa Endeh pada masa
yang lampau adalah benar berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bima.
Terimakasih, semoga bermanfaat! (Y)
Sumber:https://www.facebook.com/notes/marlin-bato/sejarah-kerajaan-endeh-dan-klaim-bima-atas-endeh/10151631393079532#