Tuesday, November 29, 2016

Asal Nama Kota Ende






            Kota Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia yang dikenal saat ini memiliki rekam jejak dan sejarah yang panjang. Dalam buku sejarah Kota Ende yang ditulis F.X Soenaryo, dkk di halaman 29 menyebutkan bahwa kataEnde diperkirakan berasal dari kata cindai. Dalam kamus disebutkan cindai adalah nama kain sutera yang berbunga-bunga. Pendapat lain mengatakan kemungkinan Ende berasal dari kata Cinde, yaitu nama sejenis ular sawa. Sawa adalah ular yang agak besar (pyton) di antaranya Sawa Rendem, Sawa Batu dan Sawa Cindai. Jadi ular Sawa Cindai ialah ular yang kulitnya berbunga bunga seperti warna cindai.
            Menurut cerita yang ada di daerah Kota Jogo, Kinde dan Wewa Ria yaitu wilayah Mautenda di sana banyak ular sawa yang disebut Sawa Lero atau Python reticulatus. Ular ini disamakan dengan Sawa Cindai. Jadi pada awalnya penduduk setempat hanya mengenal Sawa Lero, kemudian orang-orang Melayu dan pendatang dari Goa, Makassar, Bajo, Bima menyebut Sawa Cindai sesuai dengan nama yang mereka kenal di daerah asalnya.
            Lama kelamaan penduduk juga menyebut Sawo Lero itu Sawa Cindai. Berdasarkan cerita lisan dikatakan bahwa di masa lampau disebutkan ada ular ajaib di Gunung Meja atau Gunung Pui dan di Nusa Cilik yaitu Nusa Songo di Nusa Eru Mbinge. Di sekitar Kaburia, nama tempat, nama Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde seperti : Pulau Ciendeh, Tanjung Ciendeh dan Pelabuhan Ciende (Schetskaart van de Onderafdeeling Endeh,1918)
            Selanjutnya nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk dan Nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga kini belum dapat dipastikan kebenarannya apakah nama Endeh, Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai. Tentu disebabkan adanya banyak perubahan dalam ucapan. Jadi nama nama Cendau, Cindau, Sandau, Ciendeh, Cinde, Kinde, Sinde, Endeh dan Ende adalah nama yang setingkat, dilihat dari nama yang beretimologi sama yaitu dari istilah Cindai atau Sawa Cindai.
            Guna meneliti perkembangan cara penulisan nama Ende, telah dikemukakan dalam beberapa tulisan, Van Suchtelen yang menulis nama nama yang berkualitas dengan Ende sebagai berikut . Teluk dan Nusa cilik dekat Kota Jogo dan Mbotu Nita, ditulis dengan ejakan Ciendeh. Teluknya ditulis sebagai Teluk Ciendeh dan Nusa Cilik itu dikenal menjadi Ciendeh. Tulisan dan nama ini digunakan untuk nama tempat tempat di pantai utara. Sedangkan nama nama di pantai selatan yaitu Tanjung, Teluk, Nusa dan Kota, disebut Endeh. Nama Tanjung menjadi TanjungEndeh, Teluk Endeh, Kota Endeh dan Nusa Eru Mbingu menjadi Nusa Endeh.
            Apabila dibandingkan cara penulisan nama nama tempat di Utara dan di Selatan oleh penulis tersebut, ternyata memiliki perbedaan yang relatif kecil atau sama yaitu Ciendeh dan Endeh, sedangkan latar belakang nama itu sama yaitu cindai dalam pengertian Sawa Cindai. Ini berarti sama sama berlatar belakang ular sakti (Orinbao, 1969 : 160).
            Penulis E.F Kleian seorang Civiel Gezaghebber dari Pulau Solor menulis nama Nusa Eru Mbinge itu menjadi Nusa Endeh, sedangkan nama teluk dekat Kota Jogo ditulis dengan ejakan Cinde (Kleian, 1875: 529 532). Ini berarti huruf h pada kata Ciendeh dan Endeh mulai dihilangkan. Walaupun demikian namaEndeh untuk tulisan Nusa Endeh masih tetap dipertahankan.
            Penulis lainnya, C.C.FM. Leroux, menulis nama Ende dengan ejaan yang bermacam-macam sesuai dengan ejaaan yang ada pada sumber yang digunakan. Beberapa tulisan itu antara lainEndeh, Ende, Ynde,Inde, sehingga agak sulit untuk menghubungkan dengan istilah Sawa Cindai. Dilihat dari istilahEndeh masih dapat dihubungkan dengan istilah Ciendeh, sehingga melalui istilah Ciendeh semua istilah yang disampaikan Lerroux dapat dikembalikan pada etimologi yang sama ialah istilah (Sawa) Cindai yang berkaitan dengan ular raksasa (Orinbao, 1969 : 160).
            Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pua Mochsen yang mengatakan kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata Cindai dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh penduduk dalam upacara upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciendeh, dan dalam perkembangannya menjadi Ende atau Endeh (Mochsen, 1984: 1).
            Dengan adanya hubungan etimologik bagi nama Kota Ende dan Pulau Ende yang disinyalir dari istilah Sawa Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian sebutan. Tulisan dan ucapan nama kota dan Nusa Ende sekarang biasa tanpa huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata Endedalam ejakan latin masih biasa ditulis dengan huruf h menjadiEndeh.
            Sejak masa Portugis penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai kemampuan yang mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende kadang kadang ditulis Ende. Orang orang Portugis memberikan nama juga semaunya. Pigafetta menamai Nusa Gede ini Zolot sedangkan nama Zolot yang sebenarnya adalah Nusa Cilik di sebelah timur, itu telah disebutkan dalam Kakawin Negara Kertagama dari Zaman Kerajaan Majapahit seperti telah diuraikan di atas. Pada masa kekuasaan Portugis Nusa Gede disebut Ilha de Larantuca yang diartikan sebagai Nusa Larantuka. Selanjutnya dari pusat pertahanan Portugis di Nusa Cilik Ende, Nusa Gede dinamaiEndeh Ilha Grande yang artinya Nusa Gede.
            Terlepas dari asal nama Ende yang sampai sekarang belum dapat dipastikan, nama Ende sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dalam majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854, halaman 250 nama Ende sudah disebutkan dengan jelas. Salah satu artikelnya berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus Heurnius yang menceritakan keadaan daerah Ende pada masa awal perkembangan agama Kristen dan tentang keadaan di Bali tahun 1638. Setelah masa penjajahan Belanda Nama Ende yang sering juga ditulis Endeh dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende. Sejak itu nama Endeatau Endeh selalu digunakan dalam buku buku untuk sekolah sekolah Bumi Putera dalam Karesidenan Timor seperti Kitab Pengetahoean dari hal Residen Timoer dan daerah takoeknja karangan Arn. J.H. Van Der Velden yang diterbitkan pada tahun 1914.
            Van Suchtelen dalam bukunya berjudul Endeh yang terbit tahun 1921 juga menulis pada tahun 1560 seorang Pater Dominican dari Portugis yaitu Pater Taveira telah membaptis orang orang di Timor dan Endeh sebanyak 5.000 orang lebih. Pada tahun 1570 disebutkan ada bajak laut dari Jawa yang membajak dan membunuh di Pulau Endeh (Suchtelen, 1921:1). Orang orang Kristen mengungsi dan dikumpulkan Pater Simon Pacheo yang mendirikan benteng Fortolessa de Ende Minor di Pulau Endeuntuk melindungi para misionaris Dominican dari Solor.
            Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama Endeseperti itu di atas dapat disimpulkan nama Ende sekurang kurangnya sudah sejak tahun 1560 dikenal dan digunakan sampai sekarang.




Saturday, November 12, 2016

CERITA RAKYAT ENDE-LIO #5 (HIKAYAT LAWI-LUJA)



Alkisah hiduplah seorang laki-laki tampan bernama Lawi Luja dan telah mempunyai seorang istri yang bernama Ine tai. Meski tampan, namun ia ternyata menderita penyakit kulit dua atau disebut LULA dalam istilah bahasa Lio sehingga kulitnya pun bersisik. Ia adalah sosok lelaki yang sangat rajin dan ulet. Pada masa itu, kehidupan masyarakat masih serba kekurangan dan kondisi topografisnya masih terisolasi sehingga tidak ada sarana transportasi. Tidak ada sarana jalan raya untuk berinteraksi dari kampung yang satu ke kampung lainnya. Yang ada hanya jalan setapak yang menghubungkan kampung-kampung. Pada masa itu, garam merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat Lio. Untuk mendapatkan garam, setiap orang harus mencari sumber garam (disebut 'mbana Mesi' dalam bahasa Lio) dengan melakukan perjalanan dari daerah pegunungan ataupun pesisir yang tidak ada potensi garam- menuju sawah garam untuk melakukan sistem barter dengan bahan makanan atau pakaian hasil tenunan. 

Suatu hari Lawi Luja pun pergi mencari garam (mbana -Mesi) dengan kudanya yang bernama Jara Mosa Mera [kuda Jantan Merah] dengan pembekalan seperlunya. Jara mosa mera miliknya sangat cerdas. Selain memahami jalan juga mengerti apa yang dikehendaki tuannya Lawi-luja. Tak cuma berperangai baik, Lawi-luja juga dikenal sebagai pria yang berparas ganteng namun patuh terhadap adat istadat, juga keramah-tamahannya sebagaimana putra Lio lainnya.

Setelah menempu perjalanan cukup jauh, akhirnya Lawi-Luja pun tiba di tempat pembuatan garam sekaligus menjadi pasar sebagai sarana pertukaran atau barter barang-barang yang dibutuhkan. Ternyata di tempat itu sudah ada tujuh gadis cantik, putri-putri dari Konde -Keli yang juga kebetulan sedang datang mencari garam. Adapun gadis yang paling cantik dari ke tujuh putri konde-Keli tersebut adalah si bungsu yang bernama Ine Mei. Banyak pria-pria terpikat pada Ine Mei karena kemolekannya. Sementara itu, Lawi Luja tidak begitu memperhatikan si bungsu ini karena ia sedang sibuk barter barang-barang kebutuhannya. Namun sesekali ia smengalihkan pandangan pada Ine Mei si cantik nan jelita. Tetapi kodrat pria beristri, ia tak tergoda sedikitpun oleh kemolekan Ine Mei. Tekad kesetiaan pada sang istri kian terpatri dalam benak.

Namun ketampanan Lawi Luja mengundang petaka baginya. Ine Mei, si bungsu yang cantik jelita terpikat pada Lawi Luja. Ine Mei simpati terhadap keramah-tamahannya, sehingga diam-diam ia mengagumi sosok Lawi-luja. Karena itu ia menghadiahkan garam untuk Lawi Luja secara cuma-cuma. Diberikan ramuan pula khusus [semacam lulur terbuat dari tepung beras] untuk menyembuhkan penyakit kulit yang diderita Lawi Luja, sehingga seluruh sisik yang menempel di kulitnyapun menghilang. Jadilah Lawi Luja, sebagai pria yang sempurna, tampan, ramah dan baik hati.

Sejak saat itu, Lawi Luja menaruh hati pada Ine Mei. Namun ia tidak ingin melupakan istri yang dicintainya. Ihkwal kabar bahwa sang putri terpikat pada Lawi Luja pun tersiar ke seantero kampung, hingga sampailah ke telinga istrinya sebelum Lawi-luja tiba di rumah. Ine tai, sang istri telah mendengar kabar melalui orang sekampung yang lebih dahulu pulang, bahwa Lawi-Luja telah berubah menjadi lelaki tampan lantaran bertemu gadis cantik nan jelita yang mengobati penyakit kulitnya. Kabar itu menguatkan bahwa Ine Mei, si gadis cantik dan ayu telah terpikat pada Lawi Luja. Seketika terbakarlah api cemburu dalam hati Ine Tai, sehingga dia langsung masuk rumah dan tidur dibalut sarung nggela (lawo loli kolo-Loli Hai). Begitu cemburunya ia sehingga makan danminum pun tak mau disentuhnya.

Di saat yang bersamaan Lawi Luja sedang dalam perjalanan pulang menuju ke rumah. Tetapi kudanya (jara mosa mera) telah duluan tiba di depan rumah dan memberi isyarat melalui suara ringkikannya untuk segera menurunkan muatan di punggungnya. Namun Ine Tai yang sudah terlanjur terbakar api cemburu itu tak bergeming untuk bangun dan menyambut kuda ataupun sang suami. Akhirnya Lawi-Luja pun tiba dirumah dan berusaha membangunkan Istri tercinta Ine Tai. Tetapi upayanya itu sia-sia belaka karena Ine Tai yang diliputi rasa cemburu malah ngambek kepada Lawi Luja. Lawi-Luja pun tak henti membujuk istrinya hingga tiga hari-tiga malam lamanya. Mendapat perlakuan seperti itu, lelaki tampan ini mulai tampak pasrah dan putus asa. Maka muncullah niat untuk meninggalkan istrinya yang sulit diajak kompromi itu.

Karena Istrinya tak melunakan hatinya, Lawi Luja pun berencana meninggalkan istrinya. Segera ia membuat sebuah sampan/perahu untuk pergi berlayar menyusuri pantai mencari kehidupan baru. Akhirnya jadilah sebuah perahu yang dibuatnya dalam waktu tiga minggu lamanya. Setelah dipersiapkan seluruh perbekalan maka berangkatlah sang Lawi-Luja tersebut menuju ke Timur arah terbitnya matahari. 
  
Tetapi belum jauh dia berlayar tiba-tiba istrinya Ine tai menyusuri pantai dan memanggil-manggil Lawi-Luja dengan syair-syair rayuan: 

ame lawi Eo dhangga dhai...
walo ko menga wola wee...
are eo punga podo welu gha loki loro..
dau nara lawi ka...

Namun dengan lembut Lawi Luja menjawab:

ele mesi are punga podo eo welu gharu loki loro si ka dua kau...
aku gha moo mbana tauku noo kowa sapa da ghta leja geju..

Tapi Ine tai tidak menyerah lalu menyahut:

Ame lawi eo dhangga dhai..
gha keu eo teka geku..
mota eo rego reku dau nara lawi rai ro baru nata..
gha ragi eo tugu dari ine Ame pati si mera mai dau nara lawi bhanggo,
LUKA eo wonga bunga noo sura tungga dau nara lawi nggubhu,
gha welu noo lesu eo mera rere rawi ata tenda-ende dau nara lawi rai ro baru tege

Namun tekad lawi -Luja sudah bulat karena merasa harga dirinya sudah tercabik-cabik, maka diapun menjawab:

ele keu eo teka geku, mota rego reku si nata dua kau,
ele ragi tugu dari ine ame pati si bhanggo dua kau,
ele luka eo wonga bunga ,eo sura tungga si nggubhu dua kau,
ele lesu eo mera rere rawi ata tendaende si tege dua kau..
aku gha moo mbana tau da gheta leja geju moo gae ku INE mei Eo ana Konde Keli..


Meski demikian Ine Tai belum menyerah. Ia pun meminta bantuan Ular Hijau kalau bahasa Lio (Kiku/Kiku) jenis ular yang beracun. Lalu ia melantunkan syair: 

soooo ebe hiku noo wete eo holo/kolo bhenggu 

bhe menga so nggembe gharu mata jala 
we nara Lawi Mae Langga.

Namun lagi-lagi Lawi Luja dengan lembut menjawab:

ele hiku wete eo holo bhenggu 
bhe si mae kai so nggembe 
menga sele da ghawa noo da ghele 
ngai nara lawi moo langga.... 

Lalu Ine Tai pun meminta bantuan Kerbau karena di Lio binatang ini di anggap paling besar dan memiliki kekuatan:

Sooo kamba eo eko gogo taga,
kedo guka-gaka,dui ginga-ganga,
nggela mbenga ela,ngeti fuka-faka 
ngi'i tambi lasa menga po papa gharu mata jala 
we nara lawi mae langga. 

Namun Lawi Lujapun tetap dengan lembut menjawab:

ele kamba eo eko gogo taga,
kedo guka-gaka,dui ginga ganga,
nggela mbenga ela ngii tambi lasa,
ngeti fuka faka si mae kai popapa gharu mata jala 
menga nara lawi moo langga...

Akhirnya dengan berlinang air mata Ine Tai pun dengan bersedih hati dan dengan perasaan yang gundah-gulana serta penuh rasa penyesalan pulang kembali ke rumahnya di barat, dengan menyusuri pantai Nggela seorang diri hanya berteman sepi dan sunyi.

Oleh karena di dorong tekadnya yang sudah bulat maka Lawi Luja pun terus melanjutkan pelayarannya menyusuri Pantai Lio bagian selatan melalui pantai Nggela, pantai Mbuli dan terus ke arah timur pantai Ndori untuk mencari sang pujaan hati Ine Mei. 

Karena perahu Lawi Luja menggunakan layar yang dibuatnya sangat sederhana dan juga akibat gelombang di Pesisir selatan pulau Flores yang ganas, pelayaran Lawi Luja diperairan yang berhubungan langsung dengan samudera Hindia ini serasa penuh tantangan.

Tantangan gelombang itu menyebabkan perjalanan Lawi Luja pun harus bersinggah di tujuh kampung yang berbeda sambil mencari jejak Ine Mei. Dalam perjalananya, ada empat kampung yang baik menyambut Lawi Luja dengan segala keramah tamahan. Lawi Luja pun diajak makan -minum juga -SORO KOTI-RENGGA LEKE [semacam permainan gasing] oleh orang-orang dikampung yang disinggahinya. 

Akan tetapi ada tiga kampung yang masih berkerabat dengan Ine Tai yang tentu saja tidak bisa menerima kehadiran Lawi Luja. Mereka pun menyampaikan suara penolakan sambil melantunkan syair-syair sastra:

Kau sai eo kea ko mbana iwa kee 
gha kami nebu mera soro koti-rengga leke..
kau dau Iu tabo ko( Iu=Hiu) rajo wao ko(rajo=perahu) 
kowa kebhe ko, rajo mele ko...

Mendengar itu,  Lawi Luja pun tetap dengan santun menjawab penolakan tersebut :

Leka masa kau, aku iwa mbana
leka sia kau,aku iwa lita
besu wonga mesu aku iwa te kema, 
bewa laru ere aku iwa kema te, 
ele iu si mae tabo,rajo si mae wao, 
kowa mae kebhe, rajo mae mele.....

Akhirnya sampailah lawi Luja di sebuah pantai yang berpasir putih namun ombaknya sangat keras, tak bersahabat juga berbatu karang. Orang-orang disitu menyebut pantai itu dengan nama pantai tana Ja [Pasir Putih]. Dipantai itulah Lawi Luja menambatkan perahunya. Ia menemukan seorang anak dari kampung watuneso yang berdiri di pantai itu. Lalu ia bertanya kepada anak itu.

sooo ana eo ghele Toko kasa
kai ere tolo nia bene, nosiku saloo le.. 
aku moo gae ine Mei eo ae bere tei..
kai eo ana konde keli...

Lalu anak ini menjawab sambil menunjuk arah ke atas gunung arah Wololele:

ine mei mera ghele geju leja.

Lalu Lawi Luja pun turun dari perahunya dan berangkat menuju ke arah pegunungan melintasi kampung Watuneso, Jita Panda, Ae Malu dan terus mendaki hingga bertemu sang pujaan hati Ine Mei. Melihat kehadiran Lawi Luja, tentu saja Ine Mei kaget bercampur rasa takut sebab ia berada pada lingkungan keluarga bangsawan yang berwibawah.

Maka Ine Mei pun bertanya pada Lawi Luja.

Kau sai eo gare najaku..
aku gha Goraku ro pere mogo goma, 
Kau sai eo keko tameku.. 
fokoku ro ngere ndolo topo

Lalu Lawi Luja pun menjawab:

Aku Lawi Luja ana ratu rua 
kekaku ghale nggela-ghale gheta bewa, 
wua-ku noo ae wea, 
ka-ku iwa sama ka-ku noo mbangga jawa,
Pesa-ku iwa sama pesa ku noo gedo gela 

Saking kayanya Lawi Luja maka ada istilah dalam bahasa Lio "KA ARE WENI WEA-PESA UTA GOBA LONDA".

Namun Ine Mei masih belum menerima Pinangan Lawi Luja, lalu menjawab ;

aku nara wawi rai ola bani rai-
nara wunu sea ola ru ngere uja unu...

Namun Lawi-Luja tetap meyakinkan Ine Mei dan mengatakan begini

Ele nara wawi rai si mae kai bani rai, 
aku baru ruru pati pati noo tenga -tai, 
ele nara wunu sea si mae kai ru ngere uja unu- 
aku baru pati ruru noo ome mbulu... 

Akhirnya Ine Mei pun luluh karena kegigihan Lawi Luja dan dia diterima menjadi suami tersayang tanpa cemburu, tanpa pertengkaran dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya.