Thursday, December 29, 2016

Bung Karno di Ende part 6 (Tempat Kesukaan Sang Proklamator)


            Akrab: Bung Karno sedang berbincang dengan Pater G. Huijtink SVD (berjenggot) dan Pater A. Tiyssen SVD   
            Selama masa pengasingannya di Pulau Bunga, Soekarno telah merajut beragam pengalaman bersama masyarakat Ende. Kenangan-kenangan ini tetap menjadi kebanggaan masyarakat Ende sampai sekarang.

Sungai Wolowona    

            Sungai ini merupakan tempat kesukaan Soekarno. Selain sebagai tempat bersenang-senang dengan sahabat-sahabatnya, Soekarno juga sering mandi di sungai ini. Tempat itu disebut Rende Wae, sekitar sepuluh kilometer dari tempat tinggal Soekarno. Apabila berada di tepi sungai, Soekarno menjauh beberapa puluh meter dari para pengikutnya untuk mencari kolam yang aman di balik batu besar.

            Salah seorang pengikutnya, Hamid Dhepi, yang di kemudian hari menjadi Kepala Desa Rewarangga, menuturkan bahwa seekor burung rajawali besar dengan suara melengking terbang dari hulu, lalu bertengger di atas batu di dekat Soekarno mandi. Para pengikut Soekarno tahu, jika rajawali itu terbang kembali ke udara lalu menghilang; itu pertanda Soekarno sudah selesai mandi. Lalu, mereka bersiap-siap kembali ke Ende.       

Perpustakaan Para Pastor  

            Di Ende, Soekarno dikenal sebagai pribadi yang luwes dan terbuka. Sikap inilah yang menjadi kekuatannya dalam membangun relasi dengan masyarakat Ende, termasuk dengan para pastor. Soekarno bisa menggunakan perpustakaan para pastor kapan saja. Di perpustakaan inilah, Soekarno mengakses banyak pengetahuan.

Bengkel Santo Yosef

            Bengkel kayu ini milik Serikat Sabda Allah (SVD) yang dikelola oleh Bruder Lambert dan Bruder Cherubim. Di bengkel ini, Soekarno menyiapkan segala perlengkapan sandiwara. Hampir setiap hari, Soekarno mendatangi tempat ini.

Pohon Sukun

            Di Ende, Soekarno kerap merenung di bawah pohon sukun di pinggir laut. Sementara duduk-duduk di bawah pohon sukun, gagasan Soekarno tentang dasar-dasar kemerdekaan Indonesia memperoleh bentuknya, yang kemudian dipakainya sebagai falsafah Negara Indonesia pada 1945. Menurut keterangan Soekarno sendiri, di bawah pohon sukun itulah, konsepsi Pancasila selesai dirumuskan.



Thursday, December 22, 2016

Bung Karno di Ende part 5 (2 Jejak Pancasila)


            Taman Pancasila: Patung Soekarno yang sedang duduk merenung di bawah pohon sukun, di Taman Pancasila atau Taman Rendo di Ende
Dari diskusi-diskusi Soekarno dengan para misionaris di Ende, muncul ide-ide yang kelak menghablur dalam Pancasila.       

            Dalam buku-buku resmi di mana Soekarno memberikan catatan tentang kehidupannya di Ende dalam masa pengasingan, interneering, hampir tidak ada satu kata pun tentang diskusi-diskusi dengan para pastor di Ende.   

            Namun, seperti sudah ditulis (lihat Soekarno, Ende, dan Kisah Persahabatan), Soekarno hanya bisa bergaul secara intelektual dengan para pastor di Biara St Josef.        

Para sahabat di Biara Santo Josef 

            Sangat bisa diduga bahwa pemahaman Soekarno tentang banyak hal termasuk agama-agama mondial seperti agama Kristen, Katolik, semakin dipertajam di Ende.          

            Tentang agama Protestan, Soekarno sering bertukar pikiran dengan Pendeta Georgette Manafe, orang Rote yang bersuamikan seorang Batak. Tentang agama Katolik, Soekarno memperoleh pengetahuan berlimpah-ruah dari para misionaris di Biara St Josef.       

            Selain penghuni Biara St Josef, seorang yang sering datang adalah Pater Johannes van der Hijden yang berperawakan tinggi besar yang selalu membawa buku-buku mutakhir untuk Soekarno.     

            Di sana juga ada pater yang masih muda belia Dr Van Stiphout yang baru saja datang dari Roma dan membawa cerita tentang Mussolini yang sangat dikagumi Soekarno. Mussolini dianggapnya sebagai reinkarnasi Garibaldi, nasionalis pendasar kesatuan Italia abad 19. Dari Pater van Stiphout, Soekarno mendengar pertama kali tentang ucapan khas Mussolini “Vivero pericoloso”, hidup berkalang bahaya, yang kelak dipakai kembali pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1960-an, TAVIP, Tahun Vivere Pericoloso.    

            Dengan demikian, di tengah kekosongan kaum cendekiawan Flores, Soekarno menemukan teman diskusi di kalangan para pastor itu, yang tentu saja berlangsung dalam bahasa Belanda.         

Biara St Josef dan Sila Keempat    

            Sebagian besar peneliti sejarah mengemukakan bahwa banyak ide yang kelak menghablur dalam Pancasila diperoleh Soekarno di dalam diskusi-diskusi ini. Untuk keperluan itu, penulis menemukan sekurang-kurangnya dua jejak yang bisa ditelusuri, yang berarti sumbangan dua sila dari Pancasila.  

            Pertama, dalam pergaulan itulah, Soekarno mengenal sosialisme Katolik yang dideklarasikan pada abad 19 dengan “manifesto ekonomi-politik” yang dikeluarkan Paus Leo XIII pada 1891 dalam ensiklik Rerum Novarum, masalah modern. Pandangan Rerum Novarum sangat sesuai dengan pemikiran ekonomi-politik Soekarno. Sikap yang ditunjukkan Rerum Novarum seperti menguliti kapitalisme dari sisi kelemahannya, malah penyakit kapitalisme modern yang harus dipangkas. Dalam tulisan-tulisan di Jawa, sebelum ke Ende, Soekarno menulis justru hal yang serupa itu.       

            Ketika Soekarno berada di Ende tahun 1934, hanya tiga tahun sebelumnya, 1931, keluar ensiklik baru Pius X, Quadragessimo Anno, untuk memperingati 40 tahun Rerum Novarum. Quadragessimo Anno merupakan suatu penegasan dan advokasi dari apa yang sudah dikatakan di sana. Kesamaan itu diduga berlangsung dalam paham keadilan sosial. Semuanya, menurut Rerum Novarum, berpangkal pada, dan dimulai dari, konsep tentang hak milik, ius proprietatis.           

            Rerum Novarum mengatakan, “Orang tidak boleh menganggap milik material sebagai miliknya sendiri, akan tetapi sesuatu yang bersama-sama bagi semua, sehingga membaginya tanpa ragu-ragu bilamana orang lain membutuhkannya.”

            Namun, menawarkan milik kolektif, paham komunisme Uni Soviet, adalah obat yang jauh lebih berbahaya dari penyakitnya. Dengan demikian, ada aspek sosial yang harus dipertimbangkan di samping aspek personal dan individual, ius dominii privati hominibus tributum. Semua paham ini menjadi dasar keadilan sosial baik yang dipahami ensiklik maupun paham Soekarno sendiri. 

            Ketika berpidato pada 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan tentang sila keempat: “... marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini ...” Ucapan ini menarik karena hampir dalam semua sila, satu sampai tiga dan lima, ajakan Soekarno dibuat dalam bahasa Indonesia, kecuali sila keempat yang langsung dalam bahasa Belanda. Dari sini sebetulnya bisa dilacak bahasa yang sangat mirip dengan bahasa Quadragessimo Anno, yaitu iustitia socialis.           

Biara Santo Josef dan Sila Kelima 

            Yang kedua adalah diskusi-diskusi masalah agama karena Soekarno tidak menolak agama di dalam negara yang dirancangnya. Dalam salah satu diskusi tersebut, muncul pertanyaan dari para pastor itu yang kira-kira sebagai berikut: “Di dalam negara yang Tuan rancang itu di mana tempat mamamu, yang beragama Hindu? Di mana tempat Flores, yang beragama Katolik?”       

            Pertanyaan sederhana itu sangat mendasar, dan dilontarkan di luar dugaan Soekarno. Semuanya dijawab Soekarno bahwa tidak ada perbedaan; semua diberi kesempatan tanpa ada diskriminasi satu terhadap yang lain. 

            Apa yang dikatakannya pada 1 Juni 1945: “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini ...menyatakan bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”

            Inilah rumusan asli yang berasal dari Soekarno dengan “ketuhanan” menjadi sila kelima. Pada tahap-tahap berikutnya terjadi kompromi ketika “ketuhanan” dibuat menjadi sila pertama. Di sana hanya dikatakan “ketuhanan yang mahaesa”, sesuatu yang sama sekali tidak disebut Soekarno. Apalagi semua ucapan tambahan Soekarno dihilangkan.   

            Dalam rumusan asli Soekarno, dengan jelas dilihat toleransi agama Soekarno yang tiada tara.       

            Dengan demikian, sumbangan Ende dan para misionaris itu sangat besar. Soekarno pasti tidak akan mengemukakannya di depan umum, apalagi di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tentang soal ini karena hanya akan menghasilkan serang balik yang tidak perlu.       

            Di pihak lain, kesan tentang Soekarno hidup mendalam di hati para misionaris itu. Sampai akhir hayatnya, Pater Bouma “tidak mau” mendengarkan “sesuatu yang buruk” tentang Soekarno. Pater van Stiphout selalu menganggap bahwa Soekarno adalah animalrationalissimum, binatang paling cerdas, yang pernah dijumpainya.




Thursday, December 15, 2016

Bung Karno di Ende part 4 (Soekarno dan Sahabat-sahabatnya)


Huijtink, Bouma, dan Bung Karno

            Di Ende, Soekarno bukan hanya memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama Katolik tetapi juga berkarib dengan para pastor. Dalam buku Sejarah Gereja Indonesia, Pater Muskens menulis, “Selama pengasingan di Flores, dari tahun 1934-1938, pastor Ende-lah yang menaruh perhatian besar terhadap Soekarno. Para pastor itu memang merupakan orang-orang terkemuka di kalangan masyarakat di sana.”
            Pada waktu itu, orang yang tingkat pendidikannya sama dan sering bergaul dengan Soekarno, hanyalah pastor Paroki Ende dan pemimpin regional para pastor Flores, yang berdiam di Ende. Soekarno leluasa datang di ruang bacaan dan istirahat di pastoran.
            Di Biara Santo Yosef Ende, Soekarno bersahabat erat dengan para pastor dan bruder. Secara khusus, Soekarno menjalin persahabatan dengan dua pastor di sana. Pertama, dengan Pater P.G. Huijtink SVD, yang waktu itu menjadi pastor Paroki Katedral. Misionaris asal Belanda inilah yang memberikan kesempatan kepada Soekarno dan kelompok sandiwaranya untuk mengunakan gedung Immaculata sebagai tempat pementasan.
            Pater Huijtink pernah meramalkan Soekarno akan menjadi pemimpin besar. Suatu waktu, Pater Huijtink memutuskan untuk berjalan di samping kiri Soekarno. Soekarno langsung protes, “Pater harus di kanan.” Pater Huijtink menjawab dengan nada agak meramal, “Tidak, Soekarno, Presiden Indonesia, di kanan.” Seperti dilansir kompasiana com (30/11/2012), sahabat Bung Karno yang lain ialah Pater Dr Bouma SVD, yang waktu itu pemimpin para pastor Serikat Sabda Allah (SVD) se-Regio Flores. Soekarno dan Pater Bouma sering terlibat dalam pembicaraan panjang. Akan tetapi, hingga akhir hayatnya, pastor yang menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Indonesia ini, tidak pernah membuka satu kata pun dari isi pembicaraannya dengan Soekarno. Keadaan waktu itu memang tidak memungkinkan. Maklum, ‘mata-mata’ dan ‘telinga-telinga’ Belanda ada di mana-mana. Selain kedua pastor itu, Soekarno juga bersahabat dengan seorang pastor muda yang kala itu sedang menekuni bahasa Indonesia, Pater Adriaan Moomersteeg. Misionaris ini sempat bertemu Soekarno beberapa kali pada tahun 1937. Pertemuan keduanya tidak pernah direncanakan, tetapi karena kebetulan saja. Pater Mom, begitu panggilan akrabnya, begitu terkesan dengan kepribadian Soekarno yang hangat dan komunikatif. Menurut Pater Mom, Soekarno menjadi tamu tetap dan teman akrab Pater Huijtink dan Pater Bouma. Selain itu, Soekarno juga sering berkunjung ke Bruder Lambert dan Bruder Cherubim di sebuah bengkel kayu, baik sekadar untuk bertukar pikiran maupun untuk memesan keperluan pertunjukan sandiwara.



Thursday, December 8, 2016

Bung Karno di Ende part 3 (Kisah Persahabatan)



Bung Karno dan Ibu Inggit (kiri) serta Kelimoetoe Toneel Club (kanan) 


            Awalnya, Pater P.G. Huijtink SVD menawarkan sebuah gedung di Biara St Josef Ende untuk digunakan Soekarno. Selanjutnya, Soekarno bergaul akrab dengan para misionaris setempat.
            Dalam pembuangannya di Ende, Soekarno dihindari oleh para pejabat Flores yang baru saja menjadi pegawai negeri; paling-paling baru 17 tahun setelah masuk menjadi tenaga administrasi Hindia Belanda pada tahun 1918, jadi baru satu generasi lebih. Pegawai negeri tertinggi adalah raja, yang menjadi kepala swapraja dengan pegawai- pegawainya yang berpusat di Ende. Di bawah raja, ada distrik yang dikepalai oleh kepala distrik; dan di bawahnya ada kampung-kampung yang dikepalai oleh seorang Kepala Kampung (tidak dikenal istilah “kepala desa”).
            Inilah kelompok pertama orang-orang Flores yang hidup dari gaji pegawai negeri. Inilah kelompok birokrat baru di sana. Dengan begitu karena dipropagandakan di Ende oleh pemerintah kolonial Belanda bahwa ada seorang “pemberontak” yang berhaluan “komunis” yaitu Ir Soekarno, tidak ada satu pun kaum atas pegawai negeri ini yang berani mendekati Soekarno.

            Kelompok bawah, yaitu para petani, pekerja tangan seperti tukang jahit, sopir, nelayan sama sekali tidak memahami apa artinya ada “orang pintar dari Jawa” yang dibuang/diasingkan di Ende. Mungkin sama sekali mereka tidak mengerti apa artinya penjajahan.
            Kelompok lain lagi adalah kelompok kaum misionaris yang terdiri dari imam/pastor Belanda yang berdiam di Biara St Josef dengan seluruh perlengkapan seperti rumah biara, ambachts school, sekolah dan pendidikan pertukangan. Para misionaris ini dikepalai oleh seorang provinsial, yang ketika Soekarno dibuang ke Ende dijabat oleh Pater Bouma SVD.
            Sedangkan Gereja Katolik sudah mulai membenahi diri dalam bentuk administrasi kegerejaan dan sudah mencapai vi­cariatus apostolicus, vikariat apostolik, yang berarti belum mencapai tingkat uskup, episcopus, yaitu uskup
sebenarnya. Pada waktu Soekarno dibuang ke Ende, vicarius apostolicus, yang sehari-hari dipanggil Bapa Uskup adalah Mgr Hendricus Leven SVD.

Kelimoetoe Toneel Club

            Karena semua menjauhinya, Soekarno bertekad membentuk masyarakatnya sendiri, yaitu apa yang dia sebut sebagai Kelimoetoe Toneel Club, kelompok pemain tonil, dan Soekarno sendiri yang menjadi direkturnya. Dalam urusan menghidupkan tonil inilah Soekarno akhirnya berkontak dengan para misionaris di Biara St Josef yang jaraknya tidak jauh dari rumah kontrakan Soekarno, mungkin hanya satu kilo jaraknya.
            Seperti sudah dikatakan di atas, Soekarno bertekad membentuk kelompok tonil karena Soekarno tidak tahan hidup sendirian tanpa pengikut seperti di Jawa. Setelah Kelimoetoe Toneel Club dibentuk dan latihan-latihan menghapal teks mulai dijalankan, barulah timbul kesulitan di mana drama itu dipentaskan.

            Di tengah kesulitan itulah, Soekarno yang mungkin sedang berjalan-jalan di Ende dan selalu bertongkat (komando) bertemu dengan Pater Huijtink SVD. Meski bertongkat komando, wajah Soekarno agak lesu, demikian cerita seorang saksi mata. Pater Huijtink bertanya apa yang menjadi soal. Pater Huijtink langsung menawarkan bahwa di St Josef ada gedung Immaculata yang jarang dipakai. Tawaran ini langsung diterima dan ini menjadi awal dari pergaulan Soekarno yang hampir tidak putus- putusnya dengan para misionaris di Biara St Josef, termasuk menjalankan diskusi-diskusi berat tentang bermacam hal dengan para misionaris itu (“lihat Soekarno, Misionaris, dan Pancasila”).

            Biara St Josef menjadi terbuka untuk Soekarno dan memang menjadi tempat inti bagi kegiatan-kegiatan intelektual Soekarno sebagai seorang seniman panggung. Soekarno sendiri menjadi seniman utuh. Dia sendiri menjadi penulis drama/tonil, menjadi sutradara untuk melatih para pemain yang kebanyakan tidak bersekolah. Kesulitan paling besar adalah bagaimana melatih seorang untuk “mati panggung”; bagaimana menahan napas supaya perut tidak turun naik di atas panggung.

            Selain menjadi sutradara, Soekarno sendiri menjadi pelukis banner iklan. Soekarno memerlukan tiang-tiang dan alat-alat panggung lain lagi yang sangat dibantu oleh Bruder Lambertus. Semuanya ini sangat dibantu oleh Sekolah Pertukangan St Josef. Ketika Soekarno membutuhkan cat selain yang dibeli sendiri, Keuskupan Ndona menyumbang cat berwarna-warni yang diperlukan.

            Huijtink, Pastor Paroki Ende Tokoh Pater Huijtink sangat menarik. Dialah yang pertama memberi bantuan kepada Soekarno, dan menjadi sahabat yang sangat dihormati Soekarno. Namun, persahabatan itu pulalah yang menarik perhatian pemerintah kolonial. Pemerintah memberi tugas kepada Pater Huijtink untuk “mengawasi” naskah-naskah drama Soekarno, dan kalau perlu “mengedit” naskah-naskah itu agar tidak terlalu jauh menyinggung kemerdekaan Indonesia dan lain-lain, yang akan dilaporkan sebagai kegiatan politik Soekarno dan pasti akan mendapat sanksi baru.
            Namun, sejauh penyelidikan penulis ini, hampir tidak ada bukti bahwa Pater Huijtink mengedit naskah-naskah drama Soekarno; semuanya dibiarkan begitu saja sejauh menyangkut kreativitas Bung Karno. Mungkin dari pihaknya, Soekarno sangat berhati-hati untuk tidak mempersulit mereka yang sudah sangat baik hati kepadanya.
            Karena itu, para pejabat pemerintah kolonial yang menjadi pelanggan tetap untuk nonton drama Soekarno selalu keluar Immaculata kalau ada adegan yang terlalu menyinggung pemerintah kolonial, dan masuk lagi kalau adegan berganti.

            Ketika dipindahkan dari Ende dan diberangkatkan ke Bengkulu, Maret 1938, menurut cerita, Pater Huijtink berkata kepada Soekarno: “Nanti kalau kita bertemu lagi, saya akan menjumpai Toean sebagai Presiden.”

            Kalau dengan studi kritis terhadap Islam, Soekarno merebut kembali posisi intelektual; dengan drama yang dipentaskannya Soekarno merebut kembali posisi sebagai aktivis; dan dalam diskusi-diskusi dengan para patres, digabung dengan renungannya sendiri di bawah pohon sukun yang terkenal itu, Soekarno menjadi ideolog negara, state ideologist, kalau bukan yang pertama, salah satu yang paling utama.

Balas Jasa Presiden

            Ketika pada tahun 1951 Presiden Soekarno mengunjungi Ende lagi yang mendarat dengan kapal amphibi Angkatan Laut, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia berpidato di lapangan Ende. Dari atas podium di tengah pidatonya, Soekarno berkata, “Ketika saya berada di Ende tahun 1934 saya berkenalan dengan seorang pater yang bernama Huijtink. Adakah pater tersebut di antara saudara-saudara?” Pater Huijtink mengangkat tangannya, dan langsung dipanggil Soekarno ke podium. Soekarno berkata di depan umum, “Dulu, aku datang ke Ende sebagai tahanan dan orang buangan dan Pater Huijtink banyak sekali membantuku. Sekarang, aku kembali ke Ende sebagai presiden. Apa yang Pater Huijtink minta dari presiden?”
            Pater Huijtink menjawab tanpa ragu-ragu, “Tuan Presiden, saya tidak meminta apa pun yang lain. Saya hanya punya satu keinginan: menjadi warga negara Indonesia.” Soekarno langsung berkata, “Sejak saat ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk memberikan kewarganegaraan kepada Pater Huijtink. Hal-hal yang menyangkut urusan administratif akan diatur di kemudian hari.”
            Pater Huijtink memang menjadi warga negara Indonesia dan mengabdikan hidupnya sebagai pastor di Ende, Flores, sampai ajal menjemputnya, dan dikuburkan di Flores.



Saturday, December 3, 2016

TOS

Terms of Service for ENDE FLORES

If you require any more information or have any questions about our Terms of Service, please feel free to contact us by email at Contact Us.

Introduction

These terms and conditions govern your use of this website; by using this website, you accept these terms and conditions in full and without reservation. If you disagree with these terms and conditions or any part of these terms and conditions, you must not use this website.
You must be at least 18 [eighteen] years of age to use this website. By using this website and by agreeing to these terms and conditions, you warrant and represent that you are at least 18 years of age.

License to use website

Unless otherwise stated, rizkypein.blogspot.com and/or its licensors own the intellectual property rights published on this website and materials used on rizkypein.blogspot.com. Subject to the license below, all these intellectual property rights are reserved.
You may view, download for caching purposes only, and print pages, files or other content from the website for your own personal use, subject to the restrictions set out below and elsewhere in these terms and conditions.
You must not:
  • republish material from this website in neither print nor digital media or documents (including republication on another website);
  • sell, rent or sub-license material from the website;
  • show any material from the website in public;
  • reproduce, duplicate, copy or otherwise exploit material on this website for a commercial purpose;
  • edit or otherwise modify any material on the website;
  • redistribute material from this website - except for content specifically and expressly made available for redistribution; or
  • republish or reproduce any part of this website through the use of iframes or screenscrapers.
Where content is specifically made available for redistribution, it may only be redistributed within your organisation.

Acceptable use

You must not use this website in any way that causes, or may cause, damage to the website or impairment of the availability or accessibility of rizkypein.blogspot.com or in any way which is unlawful, illegal, fraudulent or harmful, or in connection with any unlawful, illegal, fraudulent or harmful purpose or activity.
You must not use this website to copy, store, host, transmit, send, use, publish or distribute any material which consists of (or is linked to) any spyware, computer virus, Trojan horse, worm, keystroke logger, rootkit or other malicious computer software.
You must not conduct any systematic or automated data collection activities on or in relation to this website without rizkypein.blogspot.com's express written consent.
This includes:
  • scraping
  • data mining
  • data extraction
  • data harvesting
  • 'framing' (iframes)
  • Article 'Spinning'

You must not use this website or any part of it to transmit or send unsolicited commercial communications.
You must not use this website for any purposes related to marketing without the express written consent of rizkypein.blogspot.com.

Restricted access

Access to certain areas of this website is restricted. rizkypein.blogspot.com reserves the right to restrict access to certain areas of this website, or at our discretion, this entire website. rizkypein.blogspot.com may change or modify this policy without notice.
If rizkypein.blogspot.com provides you with a user ID and password to enable you to access restricted areas of this website or other content or services, you must ensure that the user ID and password are kept confidential. You alone are responsible for your password and user ID security..
rizkypein.blogspot.com may disable your user ID and password at rizkypein.blogspot.com's sole discretion without notice or explanation.

User content

In these terms and conditions, “your user content” means material (including without limitation text, images, audio material, video material and audio-visual material) that you submit to this website, for whatever purpose.
You grant to rizkypein.blogspot.com a worldwide, irrevocable, non-exclusive, royalty-free license to use, reproduce, adapt, publish, translate and distribute your user content in any existing or future media. You also grant to rizkypein.blogspot.com the right to sub-license these rights, and the right to bring an action for infringement of these rights.
Your user content must not be illegal or unlawful, must not infringe any third party's legal rights, and must not be capable of giving rise to legal action whether against you or rizkypein.blogspot.com or a third party (in each case under any applicable law).
You must not submit any user content to the website that is or has ever been the subject of any threatened or actual legal proceedings or other similar complaint.
rizkypein.blogspot.com reserves the right to edit or remove any material submitted to this website, or stored on the servers of rizkypein.blogspot.com, or hosted or published upon this website.
rizkypein.blogspot.com's rights under these terms and conditions in relation to user content, rizkypein.blogspot.com does not undertake to monitor the submission of such content to, or the publication of such content on, this website.

No warranties

This website is provided “as is” without any representations or warranties, express or implied. rizkypein.blogspot.com makes no representations or warranties in relation to this website or the information and materials provided on this website.
Without prejudice to the generality of the foregoing paragraph, rizkypein.blogspot.com does not warrant that:
  • this website will be constantly available, or available at all; or
  • the information on this website is complete, true, accurate or non-misleading.
Nothing on this website constitutes, or is meant to constitute, advice of any kind. If you require advice in relation to any legal, financial or medical matter you should consult an appropriate professional.

Limitations of liability

rizkypein.blogspot.com will not be liable to you (whether under the law of contact, the law of torts or otherwise) in relation to the contents of, or use of, or otherwise in connection with, this website:
  • to the extent that the website is provided free-of-charge, for any direct loss;
  • for any indirect, special or consequential loss; or
  • for any business losses, loss of revenue, income, profits or anticipated savings, loss of contracts or business relationships, loss of reputation or goodwill, or loss or corruption of information or data.
These limitations of liability apply even if rizkypein.blogspot.com has been expressly advised of the potential loss.

Exceptions

Nothing in this website disclaimer will exclude or limit any warranty implied by law that it would be unlawful to exclude or limit; and nothing in this website disclaimer will exclude or limit the liability of ENDE FLORES in respect of any:
  • death or personal injury caused by the negligence of rizkypein.blogspot.com or its agents, employees or shareholders/owners;
  • fraud or fraudulent misrepresentation on the part of rizkypein.blogspot.com; or
  • matter which it would be illegal or unlawful for rizkypein.blogspot.com to exclude or limit, or to attempt or purport to exclude or limit, its liability.

Reasonableness

By using this website, you agree that the exclusions and limitations of liability set out in this website disclaimer are reasonable.
If you do not think they are reasonable, you must not use this website.

Other parties

You accept that, as a limited liability entity, rizkypein.blogspot.com has an interest in limiting the personal liability of its officers and employees. You agree that you will not bring any claim personally against rizkypein.blogspot.com's officers or employees in respect of any losses you suffer in connection with the website.
Without prejudice to the foregoing paragraph, you agree that the limitations of warranties and liability set out in this website disclaimer will protect rizkypein.blogspot.com's officers, employees, agents, subsidiaries, successors, assigns and sub-contractors as well as rizkypein.blogspot.com.

Unenforceable provisions

If any provision of this website disclaimer is, or is found to be, unenforceable under applicable law, that will not affect the enforceability of the other provisions of this website disclaimer.

Indemnity

You hereby indemnify rizkypein.blogspot.com and undertake to keep rizkypein.blogspot.com indemnified against any losses, damages, costs, liabilities and expenses (including without limitation legal expenses and any amounts paid by rizkypein.blogspot.com to a third party in settlement of a claim or dispute on the advice of rizkypein.blogspot.com's legal advisers) incurred or suffered by rizkypein.blogspot.com arising out of any breach by you of any provision of these terms and conditions, or arising out of any claim that you have breached any provision of these terms and conditions.

Breaches of these terms and conditions

Without prejudice to rizkypein.blogspot.com's other rights under these terms and conditions, if you breach these terms and conditions in any way, rizkypein.blogspot.com may take such action as rizkypein.blogspot.com deems appropriate to deal with the breach, including suspending your access to the website, prohibiting you from accessing the website, blocking computers using your IP address from accessing the website, contacting your internet service provider to request that they block your access to the website and/or bringing court proceedings against you.

Variation

rizkypein.blogspot.com may revise these terms and conditions from time-to-time. Revised terms and conditions will apply to the use of this website from the date of the publication of the revised terms and conditions on this website. Please check this page regularly to ensure you are familiar with the current version.

Assignment

rizkypein.blogspot.com may transfer, sub-contract or otherwise deal with rizkypein.blogspot.com's rights and/or obligations under these terms and conditions without notifying you or obtaining your consent.
You may not transfer, sub-contract or otherwise deal with your rights and/or obligations under these terms and conditions.

Severability

If a provision of these terms and conditions is determined by any court or other competent authority to be unlawful and/or unenforceable, the other provisions will continue in effect. If any unlawful and/or unenforceable provision would be lawful or enforceable if part of it were deleted, that part will be deemed to be deleted, and the rest of the provision will continue in effect.

Entire agreement

These terms and conditions, together with rizkypein.blogspot.com's Privacy Policy constitute the entire agreement between you and rizkypein.blogspot.com in relation to your use of this website, and supersede all previous agreements in respect of your use of this website.

Law and jurisdiction

These terms and conditions will be governed by and construed in accordance with the laws of NEVADA, USA, and any disputes relating to these terms and conditions will be subject to the exclusive jurisdiction of the courts of NEVADA, USA.

About these website Terms of Service

We created these website terms and conditions using the TOS/T&C generator available from Privacy Policy Online.

rizkypein.blogspot.com's details

The full name of rizkypein.blogspot.com is ENDE FLORES.
Privacy Policy Online Approved Site You can contact rizkypein.blogspot.com by email at our email address link at the top of this Terms of Service document.

Privacy Policy

Privacy Policy for ENDE FLORES

If you require any more information or have any questions about our privacy policy, please feel free to contact us by email at Privacy.
At rizkypein.blogspot.com we consider the privacy of our visitors to be extremely important. This privacy policy document describes in detail the types of personal information is collected and recorded by rizkypein.blogspot.com and how we use it.
Log Files
Like many other Web sites, rizkypein.blogspot.com makes use of log files. These files merely logs visitors to the site - usually a standard procedure for hosting companies and a part of hosting services's analytics. The information inside the log files includes internet protocol (IP) addresses, browser type, Internet Service Provider (ISP), date/time stamp, referring/exit pages, and possibly the number of clicks. This information is used to analyze trends, administer the site, track user's movement around the site, and gather demographic information. IP addresses, and other such information are not linked to any information that is personally identifiable.
Cookies and Web Beacons
rizkypein.blogspot.com uses cookies to store information about visitors' preferences, to record user-specific information on which pages the site visitor accesses or visits, and to personalize or customize our web page content based upon visitors' browser type or other information that the visitor sends via their browser.
DoubleClick DART Cookie
→ Google, as a third party vendor, uses cookies to serve ads on rizkypein.blogspot.com.
→ Google's use of the DART cookie enables it to serve ads to our site's visitors based upon their visit to rizkypein.blogspot.com and other sites on the Internet.
→ Users may opt out of the use of the DART cookie by visiting the Google ad and content network privacy policy at the following URL - http://www.google.com/privacy_ads.html
Our Advertising Partners
Some of our advertising partners may use cookies and web beacons on our site. Our advertising partners include .......

  • Google
While each of these advertising partners has their own Privacy Policy for their site, an updated and hyperlinked resource is maintained here: Privacy Policies.
You may consult this listing to find the privacy policy for each of the advertising partners of rizkypein.blogspot.com.

These third-party ad servers or ad networks use technology in their respective advertisements and links that appear on rizkypein.blogspot.com and which are sent directly to your browser. They automatically receive your IP address when this occurs. Other technologies (such as cookies, JavaScript, or Web Beacons) may also be used by our site's third-party ad networks to measure the effectiveness of their advertising campaigns and/or to personalize the advertising content that you see on the site.
rizkypein.blogspot.com has no access to or control over these cookies that are used by third-party advertisers.

Third Party Privacy Policies
You should consult the respective privacy policies of these third-party ad servers for more detailed information on their practices as well as for instructions about how to opt-out of certain practices. rizkypein.blogspot.com's privacy policy does not apply to, and we cannot control the activities of, such other advertisers or web sites. You may find a comprehensive listing of these privacy policies and their links here: Privacy Policy Links.
If you wish to disable cookies, you may do so through your individual browser options. More detailed information about cookie management with specific web browsers can be found at the browsers' respective websites. What Are Cookies?
Children's Information
We believe it is important to provide added protection for children online. We encourage parents and guardians to spend time online with their children to observe, participate in and/or monitor and guide their online activity. rizkypein.blogspot.com does not knowingly collect any personally identifiable information from children under the age of 13. If a parent or guardian believes that rizkypein.blogspot.com has in its database the personally-identifiable information of a child under the age of 13, please contact us immediately (using the contact in the first paragraph) and we will use our best efforts to promptly remove such information from our records.
Online Privacy Policy Only
This privacy policy applies only to our online activities and is valid for visitors to our website and regarding information shared and/or collected there. This policy does not apply to any information collected offline or via channels other than this website.
Consent
By using our website, you hereby consent to our privacy policy and agree to its terms.


Update
This Privacy Policy was last updated on: Friday, December 2nd, 2016. Privacy Policy Online Approved Site
Should we update, amend or make any changes to our privacy policy, those changes will be posted here.

Friday, December 2, 2016

Bung Karno di Ende part 2 (Soekarno, Ende, dan Kontemplasi)





            Lewat tulisan Daniel Dhakidae di Kompas (29 Mei 2013), jurnal Prisma (edisi khusus 2013), dan tulisan Witdarmono di Majalah HIDUP beberapa tahun lalu, kita mendapat informasi menarik. Informasi itu terkait bapak bangsa kita, Soekarno, yang merumuskan beberapa bagian dari Pancasila, yang menjadi landasan negara Republik Indonesia, pada saat ia mengalami pembuangan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

            Awal Juni 2013, sebuah monumen diresmikan di Ende untuk mengenangkan peristiwa tersebut. Pendirian monumen Soekarno secara tidak langsung memberi pengakuan bahwa kota kecil di ujung timur Indonesia ini berkontribusi sebagai tempat kontemplasinya untuk menghasilkan ide cerdas yang merangkai isi landasan negara kita.

            Saat itu, bagi pemerintah kolonial Belanda, Soekarno berstatus sebagai buangan, setelah ia dan sejumlah bapak bangsa lain, seperti Hatta, Sjahrir berupaya untuk membangkitkan kesadaran nasional para pemuda Indonesia. Dari buku John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934 (1983), kita akan memahami detil perjuangan Soekarno.

            Pemberontakan kelompok muda komunis 1926 membuat pemerintah kolonial makin waspada akan upaya perlawanan mereka. Salah satu upaya untuk penyingkiran adalah dengan membuang para tokoh ini ke ujung wilayah Hindia Belanda. Soekarno dibuang ke Ende, sementara Hatta dan Sjahrir dibuang ke Bandaneira, Maluku.

            Pembuangan memang satu hal, namun pikiran tak pernah terpenjara. Itulah yang terjadi dalam diri Soekarno. Lewat keseharian bersama penduduk setempat, serta para pastor dari kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) yang berkarya di wilayah ini, Soekarno mendialogkan pikirannya kepada mereka yang jauh dari pusat kekuasaan.

            Banyak penulis dunia menghasilkan karya terbaik justru ketika secara fisik tengah terpenjara Sebutlah, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, atau sejumlah intelektual dunia lain seperti Antonio Gramsci, Vaclav Havel, dan lain-lain.

            Satu kata kunci yang penting adalah kontemplasi. Kontemplasi selalu dibutuhkan sebelum menghasilkan satu gagasan yang kemudian hidup, bahkan lebih lama dari usia si penggagasnya. Dengan kontemplasi, pada masa pembuangan itulah, Soekarno dapat melihat suatu masalah dengan jernih, menemukan hal-hal mendasar dalam kehidupan berbangsa.

            Kontemplasi artinya melambatkan diri dari ritme hidup dan melakukan pelacakan ke belakang atas sesuatu yang sudah berjalan, sembari memeriksa apakah arah yang sedang disasar masih merupakan kesinambungan dari yang telah dijalani. Manusia memerlukan waktu untuk duduk diam, dan berkontemplasi sebelum ia melangkah lebih jauh ke depan.

            Gereja Katolik pernah melakukan kontemplasi lebih dari 50 tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, kontemplasi dilakukan selama tiga tahun. Kontemplasi itulah yang mewujud dalam bentuk Konsili Vatikan II (1962-1965) yang kemudian mengubah wajah Gereja. Sama seperti Soekarno melakukan kontemplasi untuk menemukan dasar bernegara, maka Konsili Vatikan II juga berkontemplasi untuk mencari terus relevansi Gereja yang hadir di dunia dan menjawab aneka tantangan zaman.
            Namun, hidup tak berhenti pada kontemplasi. Perlu ada mekanisme lain yang juga memastikan bahwa hasil kontemplasi dilakukan secara berkesinambungan.

            Apa yang dirumuskan Soekarno di Ende hampir delapan dekade lalu itu pun masih harus diperiksa, seberapa Indonesia telah berjalan dalam rel yang dicita-citakan Soekarno?
            Demikian pula pertanyaan yang sama perlu diajukan pada Gereja Katolik Indonesia: sudahkah semangat Konsili Vatikan II itu mewujud untuk menjawab aneka tantangan zaman? Apakah perlu dilakukan Konsili berikutnya untuk menjawab tantangan yang makin tak mudah ini?

            Kontemplasi adalah satu hal, namun hidup konsekuen dengan apa yang dikontemplasikan dalam dunia senyatanya adalah tantangan yang tak mudah. Dan untuk itulah kita memenuhi panggilan kita sebagai umat di dunia ini.




Thursday, December 1, 2016

Bung Karno di Ende part 1 (Masa Pengasingan di Ende)






            Kota Ende, di pulau Flores, adalah tem­­pat Soekarno dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda selama empat tahun. Soekarno tiba di Ende pada Februari 1934 dengan kapal Jan van Riebeeck dan meninggalkan kota ini pada Februari 1938 dengan kapal De Klerk milik KPM menuju Surabaya. Soekarno dan Ende akhirnya mempunyai hubungan yang patut ditelusuri kembali.

            Flores sendiri merupakan pulau kecil pada periferi Soenda Kecil, yang baru menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda pada awal dasawarsa kedua abad 20. Dengan demikian Ende dimaksudkan sebagai tempat yang dapat
mengisolasi Soekarno, menjauhkan dia dari kegiatan politiknya, dan dari rekan-rekan seperjuangannya di Pulau Jawa. Kehadirannya di kota kecil ini dan pergaulannya dengan para misionaris Katolik sampai tingkat tertentu telah membawa sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia menjadi bagian sejarah gereja katolik di pulau ini. Sebaliknya, kehadiran seorang tokoh nasional dengan reputasi tak tertandingi pada masa itu telah membawa Ende, Flores, dan sejarah Gereja di pulau ini menjadi bab kecil atau catatan kaki dalam sejarah nasional Indonesia.

            Menurut cerita Soekarno kepada wartawati Amerika, Cindy Adams, yang menulis otobiografi­nya, Ende pada pertengahan 1930-an mempunyai penduduk tidak lebih dari 5.000 orang. Tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan umum, tidak ada pusat hiburan apa pun, dan terbanyak penduduk masih buta huruf.

            Gereja Katolik memang sudah masuk ke Nusantara pada pertengahan pertama abad ke-16, dengan pusat-pusat pertama di Maluku, Flores, Solor dan Timor. Ketika Fransiskus Xaverius berkarya di Maluku (1546-1547), diperkirakan dari antara 150.000 penduduk kepulauan itu, sudah ada 30.000 umat Katolik. Di Flores, Solor dan Timor misi dijalankan oleh para biarawan Dominikan, yang datang bersama armada dagang Portugis. Namun demikian, ketika VOC mulai berkuasa di Hindia Belanda, dikeluarkan larangan untuk masuknya imam-imam Katolik, karena yang boleh menjalankan kegiatan penyebaran agama di sana hanyalah Gereja Reformasi. Larangan itu berlaku dari tahun 1602 sampai 1799. Baru kemudian karena pengaruh Revolusi Prancis 1789, larangan ini dihapus pada 1796, dan pada tahun 1808 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menerima kedatangan imam-imam Katolik.

            Ketika Soekarno tiba di Ende pada 1934, Flores dan Timor sudah menjadi wilayah misi biarawan SVD (Serikat Sabda Allah), setelah terjadi peralihan misi dari para biarawan Jesuit ke tangan SVD. Pada tanggal 1 Maret 1913 di Lahurus, Timor, pulau Timor diserahkan kepada SVD yang diwakili oleh P. Piet Noyen SVD. Peralihan ini mendapat persetujuan Mgr Luypen di Batavia.

            Setahun berikutnya, pada 1914 Flores juga diserahkan oleh Serikat Jesus kepada para biarawan SVD, setelah menarik kembali 12 imam dan 9 bruder Jesuit. Serah-terima ini membutuhkan waktu. Dua imam Yesuit, P. Hoeberechts SJ dan P. van de Loo SJ, baru meninggalkan Larantuka di Flores Timur pada 1917, sedangkan empat imam Jesuit dan dua bruder Jesuit meninggalkan Sika-Maumere dan kembali ke Jawa pada bulan Desember 1919 dan Februari 1920.

            Para biarawan SVD kemudian melanjutkan pembangunan Gereja Katolik di Ende. Paroki pertama di Ende terbentuk pada 1927, dan seorang pastor paroki pertama di sini adalah P. G. Huijtink SVD yang menjadi teman akrab Soekarno. Persahabatan ini awalnya karena Asisten Residen di Ende meminta P. Huijtink membaca naskah-naskah sandiwara yang dikarang oleh Soekarno dan dipentaskan di Ende, dan bila perlu melakukan sensor atas naskah-naskah itu agar tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah Belanda. Sensor itu tidak pernah dilakukan, tetapi hubungan Soekarno dan Huijtink menjadi dekat. Pada akhir pekan, kalau Pater Huijtink keluar kota untuk mengunjungi stasi-stasi, kunci kamarnya di Biara Santo Yosef diserahkan kepada Soekarno, yang boleh memanfaatkan perpustakaannya selagi dia bepergian.

            Kalau orang berjalan kaki dari rumah Soekarno maka Biara St Yosef ini dapat dicapai dalam waktu kurang dari 10 menit. Di biara ini Soekarno bersahabat dengan Bruder Lambertus, kepala bengkel kayu, yang sering membantu Soekarno membuat dekor bagi pertunjukan sandiwara. Dengan para pater, Soekarno berkesempatan mengadakan pertukaran pikiran sampai tingkat intelektual tertentu. Pater Jan Bouma SVD, seorang tokoh penting dalam misi SVD di Flores, menjadi lawan debatnya yang paling fasih. Pater Bouma adalah Superior Regional SVD untuk lima periode (1932-1947), menjadi fundator atau pendiri Seminari Tinggi Santo Paulus di Ledalero pada 1937, menjadi rektor Seminari Tinggi ini 1948-1954, setelah tiga tahun (1942-1945) menjadi tawanan Jepang.

            Pada tahun 1936, tiba di Ende seorang misionaris muda yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di Roma dalam bidang sejarah gereja. Dr M. van Stiphout SVD belajar di Roma pada saat Mussolini menjadi penguasa Italia. Dia mengalami apa artinya hidup dalam fasisme. Dengan dia, Soekarno banyak mendiskusikan kecenderungan meluasnya fasisme pada maa itu.

            Lingkungan Ende tidak memungkinkan Soekarno melakukan kegiatan politik dan diskusi politik secara mendalam. Ada dua kegiatan alternatif yang dilakukannya. Dengan kaum terpelajar dia mengadakan diskusi-diskusi keagamaan, dan dengan rakyat biasa yang banyak buta huruf dia mengadakan pertunjukan sandiwara. Tercatat 12 sandiwara yang dikarang oleh Soekarno dan dipentaskan di Ende.
            Dalam diskusi dan studi agama perhatian utama terpusat pada Islam dan diskusi itu berlangsung lewat surat-menyurat dengan seorang ulama yang terkenal, tokoh Persatuan Islam di Bandung yaitu T.A. Hasan. Surat-menyurat ini kemudian dikenal sebagai “Surat-Surat Islam dari Endeh”.

            Dengan demikian pertobatan yang disebut oleh Prof Bernard Dahm, rupanya mempunyai lingkup lebih luas. Dari seorang politikus yang sibuk dengan PNI sebagai partai yang didirikannya, Soekarno seakan bermetamorfose menjadi
seorang negarawan yang memikirkan masa depan bangsanya. Dari seorang aktivis politik menjadi seorang pemikir tentang dasar negara yang akan merdeka, dari hidupnya pada pusat kolonial di Jawa ke pengalaman tentang “Timur Jauh” dari Hindia Belanda, dan dari seorang yang sejak muda terobsesi dengan trilogi “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” ke Pancasila sebagai filsafat negara yang lebih universal, yang konon lahir di bawah naungan sebatang pohon sukun di Ende.



Tuesday, November 29, 2016

Asal Nama Kota Ende






            Kota Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia yang dikenal saat ini memiliki rekam jejak dan sejarah yang panjang. Dalam buku sejarah Kota Ende yang ditulis F.X Soenaryo, dkk di halaman 29 menyebutkan bahwa kataEnde diperkirakan berasal dari kata cindai. Dalam kamus disebutkan cindai adalah nama kain sutera yang berbunga-bunga. Pendapat lain mengatakan kemungkinan Ende berasal dari kata Cinde, yaitu nama sejenis ular sawa. Sawa adalah ular yang agak besar (pyton) di antaranya Sawa Rendem, Sawa Batu dan Sawa Cindai. Jadi ular Sawa Cindai ialah ular yang kulitnya berbunga bunga seperti warna cindai.
            Menurut cerita yang ada di daerah Kota Jogo, Kinde dan Wewa Ria yaitu wilayah Mautenda di sana banyak ular sawa yang disebut Sawa Lero atau Python reticulatus. Ular ini disamakan dengan Sawa Cindai. Jadi pada awalnya penduduk setempat hanya mengenal Sawa Lero, kemudian orang-orang Melayu dan pendatang dari Goa, Makassar, Bajo, Bima menyebut Sawa Cindai sesuai dengan nama yang mereka kenal di daerah asalnya.
            Lama kelamaan penduduk juga menyebut Sawo Lero itu Sawa Cindai. Berdasarkan cerita lisan dikatakan bahwa di masa lampau disebutkan ada ular ajaib di Gunung Meja atau Gunung Pui dan di Nusa Cilik yaitu Nusa Songo di Nusa Eru Mbinge. Di sekitar Kaburia, nama tempat, nama Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde seperti : Pulau Ciendeh, Tanjung Ciendeh dan Pelabuhan Ciende (Schetskaart van de Onderafdeeling Endeh,1918)
            Selanjutnya nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk dan Nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga kini belum dapat dipastikan kebenarannya apakah nama Endeh, Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai. Tentu disebabkan adanya banyak perubahan dalam ucapan. Jadi nama nama Cendau, Cindau, Sandau, Ciendeh, Cinde, Kinde, Sinde, Endeh dan Ende adalah nama yang setingkat, dilihat dari nama yang beretimologi sama yaitu dari istilah Cindai atau Sawa Cindai.
            Guna meneliti perkembangan cara penulisan nama Ende, telah dikemukakan dalam beberapa tulisan, Van Suchtelen yang menulis nama nama yang berkualitas dengan Ende sebagai berikut . Teluk dan Nusa cilik dekat Kota Jogo dan Mbotu Nita, ditulis dengan ejakan Ciendeh. Teluknya ditulis sebagai Teluk Ciendeh dan Nusa Cilik itu dikenal menjadi Ciendeh. Tulisan dan nama ini digunakan untuk nama tempat tempat di pantai utara. Sedangkan nama nama di pantai selatan yaitu Tanjung, Teluk, Nusa dan Kota, disebut Endeh. Nama Tanjung menjadi TanjungEndeh, Teluk Endeh, Kota Endeh dan Nusa Eru Mbingu menjadi Nusa Endeh.
            Apabila dibandingkan cara penulisan nama nama tempat di Utara dan di Selatan oleh penulis tersebut, ternyata memiliki perbedaan yang relatif kecil atau sama yaitu Ciendeh dan Endeh, sedangkan latar belakang nama itu sama yaitu cindai dalam pengertian Sawa Cindai. Ini berarti sama sama berlatar belakang ular sakti (Orinbao, 1969 : 160).
            Penulis E.F Kleian seorang Civiel Gezaghebber dari Pulau Solor menulis nama Nusa Eru Mbinge itu menjadi Nusa Endeh, sedangkan nama teluk dekat Kota Jogo ditulis dengan ejakan Cinde (Kleian, 1875: 529 532). Ini berarti huruf h pada kata Ciendeh dan Endeh mulai dihilangkan. Walaupun demikian namaEndeh untuk tulisan Nusa Endeh masih tetap dipertahankan.
            Penulis lainnya, C.C.FM. Leroux, menulis nama Ende dengan ejaan yang bermacam-macam sesuai dengan ejaaan yang ada pada sumber yang digunakan. Beberapa tulisan itu antara lainEndeh, Ende, Ynde,Inde, sehingga agak sulit untuk menghubungkan dengan istilah Sawa Cindai. Dilihat dari istilahEndeh masih dapat dihubungkan dengan istilah Ciendeh, sehingga melalui istilah Ciendeh semua istilah yang disampaikan Lerroux dapat dikembalikan pada etimologi yang sama ialah istilah (Sawa) Cindai yang berkaitan dengan ular raksasa (Orinbao, 1969 : 160).
            Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pua Mochsen yang mengatakan kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata Cindai dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh penduduk dalam upacara upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciendeh, dan dalam perkembangannya menjadi Ende atau Endeh (Mochsen, 1984: 1).
            Dengan adanya hubungan etimologik bagi nama Kota Ende dan Pulau Ende yang disinyalir dari istilah Sawa Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian sebutan. Tulisan dan ucapan nama kota dan Nusa Ende sekarang biasa tanpa huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata Endedalam ejakan latin masih biasa ditulis dengan huruf h menjadiEndeh.
            Sejak masa Portugis penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai kemampuan yang mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende kadang kadang ditulis Ende. Orang orang Portugis memberikan nama juga semaunya. Pigafetta menamai Nusa Gede ini Zolot sedangkan nama Zolot yang sebenarnya adalah Nusa Cilik di sebelah timur, itu telah disebutkan dalam Kakawin Negara Kertagama dari Zaman Kerajaan Majapahit seperti telah diuraikan di atas. Pada masa kekuasaan Portugis Nusa Gede disebut Ilha de Larantuca yang diartikan sebagai Nusa Larantuka. Selanjutnya dari pusat pertahanan Portugis di Nusa Cilik Ende, Nusa Gede dinamaiEndeh Ilha Grande yang artinya Nusa Gede.
            Terlepas dari asal nama Ende yang sampai sekarang belum dapat dipastikan, nama Ende sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dalam majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854, halaman 250 nama Ende sudah disebutkan dengan jelas. Salah satu artikelnya berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus Heurnius yang menceritakan keadaan daerah Ende pada masa awal perkembangan agama Kristen dan tentang keadaan di Bali tahun 1638. Setelah masa penjajahan Belanda Nama Ende yang sering juga ditulis Endeh dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende. Sejak itu nama Endeatau Endeh selalu digunakan dalam buku buku untuk sekolah sekolah Bumi Putera dalam Karesidenan Timor seperti Kitab Pengetahoean dari hal Residen Timoer dan daerah takoeknja karangan Arn. J.H. Van Der Velden yang diterbitkan pada tahun 1914.
            Van Suchtelen dalam bukunya berjudul Endeh yang terbit tahun 1921 juga menulis pada tahun 1560 seorang Pater Dominican dari Portugis yaitu Pater Taveira telah membaptis orang orang di Timor dan Endeh sebanyak 5.000 orang lebih. Pada tahun 1570 disebutkan ada bajak laut dari Jawa yang membajak dan membunuh di Pulau Endeh (Suchtelen, 1921:1). Orang orang Kristen mengungsi dan dikumpulkan Pater Simon Pacheo yang mendirikan benteng Fortolessa de Ende Minor di Pulau Endeuntuk melindungi para misionaris Dominican dari Solor.
            Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama Endeseperti itu di atas dapat disimpulkan nama Ende sekurang kurangnya sudah sejak tahun 1560 dikenal dan digunakan sampai sekarang.




Saturday, November 12, 2016

CERITA RAKYAT ENDE-LIO #5 (HIKAYAT LAWI-LUJA)



Alkisah hiduplah seorang laki-laki tampan bernama Lawi Luja dan telah mempunyai seorang istri yang bernama Ine tai. Meski tampan, namun ia ternyata menderita penyakit kulit dua atau disebut LULA dalam istilah bahasa Lio sehingga kulitnya pun bersisik. Ia adalah sosok lelaki yang sangat rajin dan ulet. Pada masa itu, kehidupan masyarakat masih serba kekurangan dan kondisi topografisnya masih terisolasi sehingga tidak ada sarana transportasi. Tidak ada sarana jalan raya untuk berinteraksi dari kampung yang satu ke kampung lainnya. Yang ada hanya jalan setapak yang menghubungkan kampung-kampung. Pada masa itu, garam merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat Lio. Untuk mendapatkan garam, setiap orang harus mencari sumber garam (disebut 'mbana Mesi' dalam bahasa Lio) dengan melakukan perjalanan dari daerah pegunungan ataupun pesisir yang tidak ada potensi garam- menuju sawah garam untuk melakukan sistem barter dengan bahan makanan atau pakaian hasil tenunan. 

Suatu hari Lawi Luja pun pergi mencari garam (mbana -Mesi) dengan kudanya yang bernama Jara Mosa Mera [kuda Jantan Merah] dengan pembekalan seperlunya. Jara mosa mera miliknya sangat cerdas. Selain memahami jalan juga mengerti apa yang dikehendaki tuannya Lawi-luja. Tak cuma berperangai baik, Lawi-luja juga dikenal sebagai pria yang berparas ganteng namun patuh terhadap adat istadat, juga keramah-tamahannya sebagaimana putra Lio lainnya.

Setelah menempu perjalanan cukup jauh, akhirnya Lawi-Luja pun tiba di tempat pembuatan garam sekaligus menjadi pasar sebagai sarana pertukaran atau barter barang-barang yang dibutuhkan. Ternyata di tempat itu sudah ada tujuh gadis cantik, putri-putri dari Konde -Keli yang juga kebetulan sedang datang mencari garam. Adapun gadis yang paling cantik dari ke tujuh putri konde-Keli tersebut adalah si bungsu yang bernama Ine Mei. Banyak pria-pria terpikat pada Ine Mei karena kemolekannya. Sementara itu, Lawi Luja tidak begitu memperhatikan si bungsu ini karena ia sedang sibuk barter barang-barang kebutuhannya. Namun sesekali ia smengalihkan pandangan pada Ine Mei si cantik nan jelita. Tetapi kodrat pria beristri, ia tak tergoda sedikitpun oleh kemolekan Ine Mei. Tekad kesetiaan pada sang istri kian terpatri dalam benak.

Namun ketampanan Lawi Luja mengundang petaka baginya. Ine Mei, si bungsu yang cantik jelita terpikat pada Lawi Luja. Ine Mei simpati terhadap keramah-tamahannya, sehingga diam-diam ia mengagumi sosok Lawi-luja. Karena itu ia menghadiahkan garam untuk Lawi Luja secara cuma-cuma. Diberikan ramuan pula khusus [semacam lulur terbuat dari tepung beras] untuk menyembuhkan penyakit kulit yang diderita Lawi Luja, sehingga seluruh sisik yang menempel di kulitnyapun menghilang. Jadilah Lawi Luja, sebagai pria yang sempurna, tampan, ramah dan baik hati.

Sejak saat itu, Lawi Luja menaruh hati pada Ine Mei. Namun ia tidak ingin melupakan istri yang dicintainya. Ihkwal kabar bahwa sang putri terpikat pada Lawi Luja pun tersiar ke seantero kampung, hingga sampailah ke telinga istrinya sebelum Lawi-luja tiba di rumah. Ine tai, sang istri telah mendengar kabar melalui orang sekampung yang lebih dahulu pulang, bahwa Lawi-Luja telah berubah menjadi lelaki tampan lantaran bertemu gadis cantik nan jelita yang mengobati penyakit kulitnya. Kabar itu menguatkan bahwa Ine Mei, si gadis cantik dan ayu telah terpikat pada Lawi Luja. Seketika terbakarlah api cemburu dalam hati Ine Tai, sehingga dia langsung masuk rumah dan tidur dibalut sarung nggela (lawo loli kolo-Loli Hai). Begitu cemburunya ia sehingga makan danminum pun tak mau disentuhnya.

Di saat yang bersamaan Lawi Luja sedang dalam perjalanan pulang menuju ke rumah. Tetapi kudanya (jara mosa mera) telah duluan tiba di depan rumah dan memberi isyarat melalui suara ringkikannya untuk segera menurunkan muatan di punggungnya. Namun Ine Tai yang sudah terlanjur terbakar api cemburu itu tak bergeming untuk bangun dan menyambut kuda ataupun sang suami. Akhirnya Lawi-Luja pun tiba dirumah dan berusaha membangunkan Istri tercinta Ine Tai. Tetapi upayanya itu sia-sia belaka karena Ine Tai yang diliputi rasa cemburu malah ngambek kepada Lawi Luja. Lawi-Luja pun tak henti membujuk istrinya hingga tiga hari-tiga malam lamanya. Mendapat perlakuan seperti itu, lelaki tampan ini mulai tampak pasrah dan putus asa. Maka muncullah niat untuk meninggalkan istrinya yang sulit diajak kompromi itu.

Karena Istrinya tak melunakan hatinya, Lawi Luja pun berencana meninggalkan istrinya. Segera ia membuat sebuah sampan/perahu untuk pergi berlayar menyusuri pantai mencari kehidupan baru. Akhirnya jadilah sebuah perahu yang dibuatnya dalam waktu tiga minggu lamanya. Setelah dipersiapkan seluruh perbekalan maka berangkatlah sang Lawi-Luja tersebut menuju ke Timur arah terbitnya matahari. 
  
Tetapi belum jauh dia berlayar tiba-tiba istrinya Ine tai menyusuri pantai dan memanggil-manggil Lawi-Luja dengan syair-syair rayuan: 

ame lawi Eo dhangga dhai...
walo ko menga wola wee...
are eo punga podo welu gha loki loro..
dau nara lawi ka...

Namun dengan lembut Lawi Luja menjawab:

ele mesi are punga podo eo welu gharu loki loro si ka dua kau...
aku gha moo mbana tauku noo kowa sapa da ghta leja geju..

Tapi Ine tai tidak menyerah lalu menyahut:

Ame lawi eo dhangga dhai..
gha keu eo teka geku..
mota eo rego reku dau nara lawi rai ro baru nata..
gha ragi eo tugu dari ine Ame pati si mera mai dau nara lawi bhanggo,
LUKA eo wonga bunga noo sura tungga dau nara lawi nggubhu,
gha welu noo lesu eo mera rere rawi ata tenda-ende dau nara lawi rai ro baru tege

Namun tekad lawi -Luja sudah bulat karena merasa harga dirinya sudah tercabik-cabik, maka diapun menjawab:

ele keu eo teka geku, mota rego reku si nata dua kau,
ele ragi tugu dari ine ame pati si bhanggo dua kau,
ele luka eo wonga bunga ,eo sura tungga si nggubhu dua kau,
ele lesu eo mera rere rawi ata tendaende si tege dua kau..
aku gha moo mbana tau da gheta leja geju moo gae ku INE mei Eo ana Konde Keli..


Meski demikian Ine Tai belum menyerah. Ia pun meminta bantuan Ular Hijau kalau bahasa Lio (Kiku/Kiku) jenis ular yang beracun. Lalu ia melantunkan syair: 

soooo ebe hiku noo wete eo holo/kolo bhenggu 

bhe menga so nggembe gharu mata jala 
we nara Lawi Mae Langga.

Namun lagi-lagi Lawi Luja dengan lembut menjawab:

ele hiku wete eo holo bhenggu 
bhe si mae kai so nggembe 
menga sele da ghawa noo da ghele 
ngai nara lawi moo langga.... 

Lalu Ine Tai pun meminta bantuan Kerbau karena di Lio binatang ini di anggap paling besar dan memiliki kekuatan:

Sooo kamba eo eko gogo taga,
kedo guka-gaka,dui ginga-ganga,
nggela mbenga ela,ngeti fuka-faka 
ngi'i tambi lasa menga po papa gharu mata jala 
we nara lawi mae langga. 

Namun Lawi Lujapun tetap dengan lembut menjawab:

ele kamba eo eko gogo taga,
kedo guka-gaka,dui ginga ganga,
nggela mbenga ela ngii tambi lasa,
ngeti fuka faka si mae kai popapa gharu mata jala 
menga nara lawi moo langga...

Akhirnya dengan berlinang air mata Ine Tai pun dengan bersedih hati dan dengan perasaan yang gundah-gulana serta penuh rasa penyesalan pulang kembali ke rumahnya di barat, dengan menyusuri pantai Nggela seorang diri hanya berteman sepi dan sunyi.

Oleh karena di dorong tekadnya yang sudah bulat maka Lawi Luja pun terus melanjutkan pelayarannya menyusuri Pantai Lio bagian selatan melalui pantai Nggela, pantai Mbuli dan terus ke arah timur pantai Ndori untuk mencari sang pujaan hati Ine Mei. 

Karena perahu Lawi Luja menggunakan layar yang dibuatnya sangat sederhana dan juga akibat gelombang di Pesisir selatan pulau Flores yang ganas, pelayaran Lawi Luja diperairan yang berhubungan langsung dengan samudera Hindia ini serasa penuh tantangan.

Tantangan gelombang itu menyebabkan perjalanan Lawi Luja pun harus bersinggah di tujuh kampung yang berbeda sambil mencari jejak Ine Mei. Dalam perjalananya, ada empat kampung yang baik menyambut Lawi Luja dengan segala keramah tamahan. Lawi Luja pun diajak makan -minum juga -SORO KOTI-RENGGA LEKE [semacam permainan gasing] oleh orang-orang dikampung yang disinggahinya. 

Akan tetapi ada tiga kampung yang masih berkerabat dengan Ine Tai yang tentu saja tidak bisa menerima kehadiran Lawi Luja. Mereka pun menyampaikan suara penolakan sambil melantunkan syair-syair sastra:

Kau sai eo kea ko mbana iwa kee 
gha kami nebu mera soro koti-rengga leke..
kau dau Iu tabo ko( Iu=Hiu) rajo wao ko(rajo=perahu) 
kowa kebhe ko, rajo mele ko...

Mendengar itu,  Lawi Luja pun tetap dengan santun menjawab penolakan tersebut :

Leka masa kau, aku iwa mbana
leka sia kau,aku iwa lita
besu wonga mesu aku iwa te kema, 
bewa laru ere aku iwa kema te, 
ele iu si mae tabo,rajo si mae wao, 
kowa mae kebhe, rajo mae mele.....

Akhirnya sampailah lawi Luja di sebuah pantai yang berpasir putih namun ombaknya sangat keras, tak bersahabat juga berbatu karang. Orang-orang disitu menyebut pantai itu dengan nama pantai tana Ja [Pasir Putih]. Dipantai itulah Lawi Luja menambatkan perahunya. Ia menemukan seorang anak dari kampung watuneso yang berdiri di pantai itu. Lalu ia bertanya kepada anak itu.

sooo ana eo ghele Toko kasa
kai ere tolo nia bene, nosiku saloo le.. 
aku moo gae ine Mei eo ae bere tei..
kai eo ana konde keli...

Lalu anak ini menjawab sambil menunjuk arah ke atas gunung arah Wololele:

ine mei mera ghele geju leja.

Lalu Lawi Luja pun turun dari perahunya dan berangkat menuju ke arah pegunungan melintasi kampung Watuneso, Jita Panda, Ae Malu dan terus mendaki hingga bertemu sang pujaan hati Ine Mei. Melihat kehadiran Lawi Luja, tentu saja Ine Mei kaget bercampur rasa takut sebab ia berada pada lingkungan keluarga bangsawan yang berwibawah.

Maka Ine Mei pun bertanya pada Lawi Luja.

Kau sai eo gare najaku..
aku gha Goraku ro pere mogo goma, 
Kau sai eo keko tameku.. 
fokoku ro ngere ndolo topo

Lalu Lawi Luja pun menjawab:

Aku Lawi Luja ana ratu rua 
kekaku ghale nggela-ghale gheta bewa, 
wua-ku noo ae wea, 
ka-ku iwa sama ka-ku noo mbangga jawa,
Pesa-ku iwa sama pesa ku noo gedo gela 

Saking kayanya Lawi Luja maka ada istilah dalam bahasa Lio "KA ARE WENI WEA-PESA UTA GOBA LONDA".

Namun Ine Mei masih belum menerima Pinangan Lawi Luja, lalu menjawab ;

aku nara wawi rai ola bani rai-
nara wunu sea ola ru ngere uja unu...

Namun Lawi-Luja tetap meyakinkan Ine Mei dan mengatakan begini

Ele nara wawi rai si mae kai bani rai, 
aku baru ruru pati pati noo tenga -tai, 
ele nara wunu sea si mae kai ru ngere uja unu- 
aku baru pati ruru noo ome mbulu... 

Akhirnya Ine Mei pun luluh karena kegigihan Lawi Luja dan dia diterima menjadi suami tersayang tanpa cemburu, tanpa pertengkaran dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya.