![]() |
INE MBU ( IBU PADI ) |
Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis kesana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri.
Tibalah masa kemarau yang amat
panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam
kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada
Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau
panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat
pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang
berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang
berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan
Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum
(incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan
hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah
Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun
entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi.
Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung.
Pengkajian atas fenomena ritual
perladangan dalam komunitas Etnik Lio-Ende tidak dapat dipisahkan dari mitos
tentang keberadaan padi ladang sebagai tanaman utama masyarakat setempat.
Mitologi padi tergolong cerita tua dan sastra suci yang menjadi kebanggaan
masyarakat Lio-Ende. Kendati tidak banyak lagi yang mampu mengisahkannya
kembali secara literer, karena tidak ditulis dan direkam, mitologi padi menjadi
objek kajian yang menarik. Dikatakan demikian karena budaya padi ladang dalam
masyarakat setempat, seperti kerap disinggung sebelumnya, berbeda dengan budaya
padi sawah. Budaya dan teknik padi sawah hadir di daerah Lio setelah
diperkenalkan oleh Raja Pius Rasi Wangge pada tahun 1920-an (lihat Sunaryo et.
al. 2006).
Ada perbedaan sikap dan perilaku
dalam menanam, memelihara, dan menuai padi sawah dibandingkan dengan budidaya
padi ladang. Budidaya padi sawah, selain memang menggunakan sumber daya air,
memanfaatkan varietas padi sawah yang didatangkan dari luar misalnya pare sego
'padi saigon', penanaman, pemeliharaan, dan pemanenannya tanpa ritual tertentu
kendati sebagian warga petani pesawah ada juga melakukannya. Sejumlah ritual
atau upacara dalam kehidupan perladangan dan kehidupan manusia pun hanya beras
yang berasal dari padi ladang saja yang diperkenankan untuk disajikan dan dijadikan
sarana ritual.
Dengan kata lain, nasi dari beras
luar dianggap tidak sah. Mitologi Padi Ladang Lio-Ende Salah satu karya sastra
suci dalam khazanah sastra Lio, khususnya yang menjadi bagian tak terpisahkan
dalam jiwa dan semangat peladang Lio-Ende adalah mitos Ine Pare "Dewi Padi"
yang berjudul Bobi no'o Nombi, "Bobi dan Nombi". Bagi komunitas
peladang Lio-Ende, pelbagai ritual dalam lingkaran hidup perladangan
tradisional bersandar dan bersumber pada kandungan makna pesan, amanat suci,
dan ideologi di balik cerita suci Ine Pare. Betapa dalamnya makna ideologi yang
terkandung di balik mitos itu pula, nama sang "penjelma" dan
"tumbal" padi asli itu kemudian diabadikan menjadi nama gedung
pertemuan Ine Pare di Jalan El Tari Ende. Kesadaran akan kekayaan nilai dan
kepatuhan melaksanakan amanat ideologi yang terkandung di balik mitos itu harus
diakui masih dimiliki oleh sejumlah kecil generasi peladang tua, sedangkan
generasi muda Lio-Ende dewasa ini sudah kurang menyadarinya lagi.
No comments:
Post a Comment