Thursday, March 5, 2015

MENGENANG GEMPA 12-12-1992 (ENDE)

Tugu Gempa Ende KM 0 - Flores - NTT

Entahlah ada yang sudah lupa atau masih mengingatnya tentang apa yang terjadi 19 tahun yang lalu. Persis hari itu adalah Sabtu, 12 Desember 1992, pukul 13.00 WIT terjadi sebuah gempa tektonik yang meluluhlantakan Flores. Goncangan berkekuatan 7,5 skala Richter ini mengakibatkan lumpuhnya denyut nadi Flores. Pusat gempa berlokasi di Laut Flores dengan kedalaman 15 km di bawah permukaan laut, dan 50 km sebelah Barat Laut kota Maumere, kabupaten Sikka.
            Badan Geometerologi dan Fisika mencatat, antara tanggal 12 sampai 22 Desember 1992 terjadi 239 kali gempa susulan dengan kekuatan 3,0 hingga 6,0 skala Richter. Goncangan susulan ini hanya berlangsung beberapa menit saja. Gesekan bumi ini lalu menyisakan duka dan tangis. Nyawa manusia terkapar 1.951 jiwa. Sekitar 2.126 jiwa mengalami luka parah, patah tulang, luka pada kepala dan dada. Ada 25.000 bangunan rumah, 600 bangunan sekolah dan 135 prasarana umum termasuk fasilitas kesehatan dan tempat ibadat ter-rata-tanah-kan. Ia menyebabkan arus gelombang naik (tsunami) setinggi empat meter di Pulau Babi dan tiga meter di Perkampungan Wuring - Maumere, Kabupaten Sikka.
Mitos Gempa Bumi menurut Orang Ende - Lio
            Waktu saya kecil, orangtua pernah menceriterakan sebuah dongeng. Alkisah, suatu ketika seekor kumbang besar (banga) yang baru saja kembali dari perjalanan menelusuri lorong - lorong di setiap pelosok bumi, menyampaikan kabar kepada sang empunya bumi. Ia berkata, selama ia menjelajahi bumi ia tak pernah bertemu atau berjumpa dengan manusia. Mendengar kabar itu, sang pemilik bumi merasa kesal dan marah - marah. Dengan lantang kumbang besar mengatakan bahwa satu orang pun manusia sudah tidak ada lagi. Sontak dengan berang, pemilik bumi menggoncang bumi beberapa kali.
            Merasakan adanya goncangan hebat itu, manusia pun berhamburan keluar rumah. Mereka berteriak, “epu weo, epu weo, kami zatu…kami zatu, banga sodho tipu, banga tipu” (artinya: gempa bumi, gempa bumi, kami ada…kami ada, kumbang besar tipu, dia tipu).
            Pada prinsipnya sebuah mitos hanyalah sebuah simbol yang dipakai manusia untuk mengungkapkan wawasannya mengenai diri sendiri dan alam sekitarnya. Mitos adalah buah ketakutan - ketakutan dan harapan - harapan, sesuatu yang sangat dirindukan dalam hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Mitos merupakan bukti ketidakmampuan analisis logis manusia dalam mengungkapkan kehidupan dan kematiannya. Mitos adalah fakta yang terungkap namun masih sangat samar. Namun dibalik cerita mitos tersimpan pesan moral dan etika yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya.
            Mitos gempa bumi pun demikian. Sekiranya, ada tiga makna yang bisa dipetik dari cerita di atas.Yang pertama, pemakaian simbol binatang (kumbang besar) mengungkapkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya harus harmonis. Keharmonisan hanya bisa dibentuk dengan saling memberi dan menerima. Keberadaan kumbang besar (banga) oleh masyarakat Ende sungguh dianggap penting. Sebab kumbang besar berperan mengolah kotoran manusia menjadi tanah. Tanah yang dihasilkan pun sangat subur. Dengan demikian sangat bermanfaat bagi pertanian. Orang Ende percaya bahwa apabila kumbang besar tidak mendapat suplai kotoran manusia yang cukup, maka ia akan marah. Artinya, hubungan simbiosis - mutualistis manusia dengan binatang (alam) harus dijaga.
            Yang kedua, sebelum munculnya ilmu pengetahuan, manusia punya cara tersendiri untuk menjawab fenomena alam. Gempa bumi sudah muncul sejak manusia ada. Mitos gempa bumi di atas adalah cara manusia mengatasi rasa takut, derita dan kesedihannya akibat gempa. Selain itu manusia memanjatkan doa bahwa dibalik peristiwa gempa yang meluluhlantakkan itu, ada harapan hidup yang lebih baik. Teriakan “kami zatu” (artinya : kami ada) sebenarnya mengungkapkan eksistensi manusia sebagai makluk yang ada. Ia tidak akan mati. Ia senantiasa ada. Derita dan kesedihan sebenarnya tidak ada dalam hidup manusia. Ia hanya salah tahap dalam proses mencari kebahagiaan. Derita dan nestapa tidak kekal. Yang kekal hanyalah kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.
            Yang ketiga, pesan moral yang terkandung dalam mitos gempa bumi di atas adalah kerjasama yang baik antara manusia dengan sesamanya. Tidak ada sikap saling curiga dan saling menjatuhkan. Ungkapan “Banga sodho tipu…banga tipu” adalah sikap saling menjatuhkan di antara manusia.
“Kami Zatu” (Kami ada)
            Seorang pakar psikologi, Abraham Maslow (1908 - 1970) pernah menulis bahwa seseorang yang tidak aman, memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas secara berlebihan, serta berusaha keras menghindari hal - hal yang bersifat asing dan yang tidak diharapkan hadir, yang dipandang dapat mengganggu kemapanannya - baik berupa ancaman fisik maupun mental. Setelah kebutuhan dasar (physiological needs) terpenuhi manusia mencari - cari kebutuhan level kedua yakni kebutuhan akan rasa aman dan tentram (safety needs). Pada tahap kebutuhan ini manusia berusaha mencari perlindungan, tempat yang aman agar ia mampu bertahan. Ancaman - ancaman eksternal yang sewaktu - waktu dapat saja membahayakan dirinya. Sebab itu, manusia membangun privacy dan membenteng diri terhadap bencana, termasuk bencana alam.
            Sekiranya teriakan “kami zatu” (Ende: kami ada) ketika gempa bumi terjadi merupakan usaha manusia untuk membentengi diri. “Kami ada” adalah cara manusia melindungi diri dari kegeraman alam. Dengan demikian, berbagai cara telah dilakukan sebagai aplikatif teriakan “kami zatu” (Ende:kami ada). Ketika manusia berteriak “kami zatu” (Ende: kami ada), sebenarnya ia telah mendorong perubahan sosial. Sebab reaksi perubahan bermasa depan bisa muncul dari sistem sosial yang darurat. Penanggulangan massal adalah upaya awal yang harus digalangkan. Atas dasar rasa keprihatinan bersama terbentuklah kelompok - kelompok informal para korban. Perasaan senasiblah yang menggerakkan manusia untuk sadar akan makna kolektivitasnya sebagai makluk sosial. Dalam hal ini, gempa yang meluluhlantakan tanah Flores 19 tahun yang lalu telah menyemaikan benih solidaritas dan kesetiakawanan.
Membangun kembali sebagai tabungan hidup
            Akibat terjadinya gempa tektonik, denyut kehidupan pulau bunga seakan layu bak tanaman di musim panas. Kehidupan ekonomi warga merosot dan berada pada titik yang memprihatinkan. Tingkat harga umum meningkat, inflasi lokal meningkat. Dampaknya daya konsumsi masyarakat turun secara drastis. Bersamaan dengan itu hasrat menabung (propensity to save) meredup. Hal ini menyebabkan terbatasnya dana yang tersedia untuk investasi. Di sisi lain, pengangguran semakin meluas. Banyak orang kehilangan pendapatan. Timbul perasaan sebagai “orang tak berguna” yang menyebabkan depresi dan tekanan emosional.
            Dalam pandangan ekonom, beberapa hari setelah gempa, Frans Seda pernah berujar, “mereka memang tidak punya apa - apa lagi sebagai tabungan hidup. Kecuali satu, yakni mereka mempunyai semangat untuk membangun kembali”. Kesadaran akan membangun kembali seperti inilah yang menginspirasi terbentuknya sejumlah kelompok informal masyarakat. Sebut saja, misalnya, koperasi kredit SERVIAM di Ende. Kopdit ini dibentuk dari rasa keprihatinan terhadap masalah ekonomi pasca gempa 1992. Kini kopdit Serviam sudah memiliki lebih dari 2000 anggota. Bukan jumlah anggota yang diperhitungkan dalam gerakan ini tetapi kualitas pengembangannya yang menjangkau kebutuhan masyarakat, mulai dari usaha simpan pinjam, pendidikan, pengembangan usaha mikro, usaha kecil dan menengah serta kelompok kategorial menulis.
            Sampai pada titik ini, benar kata filsuf Martin Buber, manusia sadar bahwa hidupnya ditentukan oleh keadaan sekitar yang tak terelakan. Ia timbul dalam waktu dan lenyap. Keterbatasan ini menimbulkan rasa ketergantungan manusia dengan sesuatu yang lain. Pada saat itu pula alam hadir sebagai tanda rahasia yang tak terselami. Alam membawa pesan tersirat tentang Allah Yang Maha Kuasa. Alam menghadirkan pesan eskatologis. Fenomena alam membawa harapan akan sebuah kebangkitan kembali. Gempa bumi menyadarkan orang dari ketamakan dan korupsi. Pada saat itu kita tahu bahwa dengan caranya sendiri Tuhan menghukum kita.
            Akhirnya, sekarang dan di sini, apakah kita harus menunggu gempa tektonik 12 Desember 1992 terulang kembali baru kita bangkit menata kehidupan ekonomi?, bangkit menuju kebijakan politik yang berpihak pada rakyat?, bangkit dan segera menjauhi praktek korupsi? Atau kita masih tertidur lelap sambil menunggu dikucurkannya dana dari pusat?
            Sekiranya,”bumi Flores tak akan menangis ketika kita terantuk dan jatuh, namun ia akan meneteskan airmata ketika kita tak mau bangun lagi”. Maka marilah kita berteriak “kami zatu/latu”(Ende - Lio), “ami noran”(Sikka), “ami manga”(Manggarai) untuk membangun Nusa Bunga tercinta.


sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/11/mengenang-12-12-1992-sebuah-refleksi-pribadi-417859.html

No comments: