Tugu Gempa Ende KM 0 - Flores - NTT |
Entahlah
ada yang sudah lupa atau masih mengingatnya tentang apa yang terjadi 19 tahun
yang lalu. Persis hari itu adalah Sabtu, 12 Desember 1992, pukul 13.00 WIT
terjadi sebuah gempa tektonik yang meluluhlantakan Flores. Goncangan
berkekuatan 7,5 skala Richter ini mengakibatkan lumpuhnya denyut nadi Flores.
Pusat gempa berlokasi di Laut Flores dengan kedalaman 15 km di bawah permukaan
laut, dan 50 km sebelah Barat Laut kota Maumere, kabupaten Sikka.
Badan Geometerologi dan Fisika
mencatat, antara tanggal 12 sampai 22 Desember 1992 terjadi 239 kali gempa
susulan dengan kekuatan 3,0 hingga 6,0 skala Richter. Goncangan susulan ini
hanya berlangsung beberapa menit saja. Gesekan bumi ini lalu menyisakan duka
dan tangis. Nyawa manusia terkapar 1.951 jiwa. Sekitar 2.126 jiwa mengalami
luka parah, patah tulang, luka pada kepala dan dada. Ada 25.000 bangunan rumah,
600 bangunan sekolah dan 135 prasarana umum termasuk fasilitas kesehatan dan
tempat ibadat ter-rata-tanah-kan. Ia menyebabkan arus gelombang naik (tsunami)
setinggi empat meter di Pulau Babi dan tiga meter di Perkampungan Wuring -
Maumere, Kabupaten Sikka.
Mitos
Gempa Bumi menurut Orang Ende - Lio
Waktu saya kecil, orangtua pernah
menceriterakan sebuah dongeng. Alkisah, suatu ketika seekor kumbang besar
(banga) yang baru saja kembali dari perjalanan menelusuri lorong - lorong di
setiap pelosok bumi, menyampaikan kabar kepada sang empunya bumi. Ia berkata,
selama ia menjelajahi bumi ia tak pernah bertemu atau berjumpa dengan manusia.
Mendengar kabar itu, sang pemilik bumi merasa kesal dan marah - marah. Dengan
lantang kumbang besar mengatakan bahwa satu orang pun manusia sudah tidak ada
lagi. Sontak dengan berang, pemilik bumi menggoncang bumi beberapa kali.
Merasakan adanya goncangan hebat
itu, manusia pun berhamburan keluar rumah. Mereka berteriak, “epu weo, epu weo,
kami zatu…kami zatu, banga sodho tipu, banga tipu” (artinya: gempa bumi, gempa
bumi, kami ada…kami ada, kumbang besar tipu, dia tipu).
Pada prinsipnya sebuah mitos
hanyalah sebuah simbol yang dipakai manusia untuk mengungkapkan wawasannya
mengenai diri sendiri dan alam sekitarnya. Mitos adalah buah ketakutan -
ketakutan dan harapan - harapan, sesuatu yang sangat dirindukan dalam hubungan
manusia dengan alam dan Tuhan. Mitos merupakan bukti ketidakmampuan analisis
logis manusia dalam mengungkapkan kehidupan dan kematiannya. Mitos adalah
fakta yang terungkap namun masih sangat samar. Namun dibalik cerita mitos
tersimpan pesan moral dan etika yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya.
Mitos gempa bumi pun demikian.
Sekiranya, ada tiga makna yang bisa dipetik dari cerita di atas.Yang pertama,
pemakaian simbol binatang (kumbang besar) mengungkapkan hubungan manusia dengan
alam sekitarnya harus harmonis. Keharmonisan hanya bisa dibentuk dengan saling
memberi dan menerima. Keberadaan kumbang besar (banga) oleh masyarakat Ende
sungguh dianggap penting. Sebab kumbang besar berperan mengolah kotoran manusia
menjadi tanah. Tanah yang dihasilkan pun sangat subur. Dengan demikian sangat
bermanfaat bagi pertanian. Orang Ende percaya bahwa apabila kumbang besar tidak
mendapat suplai kotoran manusia yang cukup, maka ia akan marah. Artinya,
hubungan simbiosis - mutualistis manusia dengan binatang (alam) harus dijaga.
Yang kedua, sebelum munculnya ilmu
pengetahuan, manusia punya cara tersendiri untuk menjawab fenomena alam. Gempa
bumi sudah muncul sejak manusia ada. Mitos gempa bumi di atas adalah cara
manusia mengatasi rasa takut, derita dan kesedihannya akibat gempa. Selain itu
manusia memanjatkan doa bahwa dibalik peristiwa gempa yang meluluhlantakkan
itu, ada harapan hidup yang lebih baik. Teriakan “kami zatu” (artinya : kami
ada) sebenarnya mengungkapkan eksistensi manusia sebagai makluk yang ada. Ia
tidak akan mati. Ia senantiasa ada. Derita dan kesedihan sebenarnya tidak ada
dalam hidup manusia. Ia hanya salah tahap dalam proses mencari kebahagiaan.
Derita dan nestapa tidak kekal. Yang kekal hanyalah kebahagiaan hidup manusia
itu sendiri.
Yang ketiga, pesan moral yang
terkandung dalam mitos gempa bumi di atas adalah kerjasama yang baik antara
manusia dengan sesamanya. Tidak ada sikap saling curiga dan saling menjatuhkan.
Ungkapan “Banga sodho tipu…banga tipu” adalah sikap saling menjatuhkan di
antara manusia.
“Kami
Zatu” (Kami ada)
Seorang pakar psikologi, Abraham
Maslow (1908 - 1970) pernah menulis bahwa seseorang yang tidak aman, memiliki
kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas secara berlebihan, serta berusaha
keras menghindari hal - hal yang bersifat asing dan yang tidak diharapkan
hadir, yang dipandang dapat mengganggu kemapanannya - baik berupa ancaman fisik
maupun mental. Setelah kebutuhan dasar (physiological needs) terpenuhi manusia
mencari - cari kebutuhan level kedua yakni kebutuhan akan rasa aman dan tentram
(safety needs). Pada tahap kebutuhan ini manusia berusaha mencari perlindungan,
tempat yang aman agar ia mampu bertahan. Ancaman - ancaman eksternal yang
sewaktu - waktu dapat saja membahayakan dirinya. Sebab itu, manusia membangun
privacy dan membenteng diri terhadap bencana, termasuk bencana alam.
Sekiranya teriakan “kami zatu”
(Ende: kami ada) ketika gempa bumi terjadi merupakan usaha manusia untuk
membentengi diri. “Kami ada” adalah cara manusia melindungi diri dari kegeraman
alam. Dengan demikian, berbagai cara telah dilakukan sebagai aplikatif teriakan
“kami zatu” (Ende:kami ada). Ketika manusia berteriak “kami zatu” (Ende: kami
ada), sebenarnya ia telah mendorong perubahan sosial. Sebab reaksi perubahan
bermasa depan bisa muncul dari sistem sosial yang darurat. Penanggulangan
massal adalah upaya awal yang harus digalangkan. Atas dasar rasa keprihatinan
bersama terbentuklah kelompok - kelompok informal para korban. Perasaan
senasiblah yang menggerakkan manusia untuk sadar akan makna kolektivitasnya
sebagai makluk sosial. Dalam hal ini, gempa yang meluluhlantakan tanah Flores
19 tahun yang lalu telah menyemaikan benih solidaritas dan kesetiakawanan.
Membangun
kembali sebagai tabungan hidup
Akibat terjadinya gempa tektonik,
denyut kehidupan pulau bunga seakan layu bak tanaman di musim panas. Kehidupan
ekonomi warga merosot dan berada pada titik yang memprihatinkan. Tingkat harga
umum meningkat, inflasi lokal meningkat. Dampaknya daya konsumsi masyarakat
turun secara drastis. Bersamaan dengan itu hasrat menabung (propensity to save)
meredup. Hal ini menyebabkan terbatasnya dana yang tersedia untuk investasi. Di
sisi lain, pengangguran semakin meluas. Banyak orang kehilangan pendapatan.
Timbul perasaan sebagai “orang tak berguna” yang menyebabkan depresi dan
tekanan emosional.
Dalam pandangan ekonom, beberapa
hari setelah gempa, Frans Seda pernah berujar, “mereka memang tidak punya apa -
apa lagi sebagai tabungan hidup. Kecuali satu, yakni mereka mempunyai semangat
untuk membangun kembali”. Kesadaran akan membangun kembali seperti inilah yang
menginspirasi terbentuknya sejumlah kelompok informal masyarakat. Sebut saja,
misalnya, koperasi kredit SERVIAM di Ende. Kopdit ini dibentuk dari rasa
keprihatinan terhadap masalah ekonomi pasca gempa 1992. Kini kopdit Serviam
sudah memiliki lebih dari 2000 anggota. Bukan jumlah anggota yang
diperhitungkan dalam gerakan ini tetapi kualitas pengembangannya yang
menjangkau kebutuhan masyarakat, mulai dari usaha simpan pinjam, pendidikan,
pengembangan usaha mikro, usaha kecil dan menengah serta kelompok kategorial
menulis.
Sampai pada titik ini, benar kata
filsuf Martin Buber, manusia sadar bahwa hidupnya ditentukan oleh keadaan
sekitar yang tak terelakan. Ia timbul dalam waktu dan lenyap. Keterbatasan ini
menimbulkan rasa ketergantungan manusia dengan sesuatu yang lain. Pada saat itu
pula alam hadir sebagai tanda rahasia yang tak terselami. Alam membawa pesan
tersirat tentang Allah Yang Maha Kuasa. Alam menghadirkan pesan eskatologis.
Fenomena alam membawa harapan akan sebuah kebangkitan kembali. Gempa bumi
menyadarkan orang dari ketamakan dan korupsi. Pada saat itu kita tahu bahwa
dengan caranya sendiri Tuhan menghukum kita.
Akhirnya, sekarang dan di sini,
apakah kita harus menunggu gempa tektonik 12 Desember 1992 terulang kembali
baru kita bangkit menata kehidupan ekonomi?, bangkit menuju kebijakan politik
yang berpihak pada rakyat?, bangkit dan segera menjauhi praktek korupsi? Atau
kita masih tertidur lelap sambil menunggu dikucurkannya dana dari pusat?
Sekiranya,”bumi Flores tak akan
menangis ketika kita terantuk dan jatuh, namun ia akan meneteskan airmata
ketika kita tak mau bangun lagi”. Maka marilah kita berteriak “kami
zatu/latu”(Ende - Lio), “ami noran”(Sikka), “ami manga”(Manggarai) untuk
membangun Nusa Bunga tercinta.
sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/11/mengenang-12-12-1992-sebuah-refleksi-pribadi-417859.html
No comments:
Post a Comment