Thursday, September 29, 2016

MITOLOGI ATAPOLO DALAM MASYARAKAT ENDE LIO




Asal-usul terjadinya Ata polo dan motivasi menjadi Ata polo
Pada zaman dahulu dalam masyarakat Lio berlaku status tuan-hamba atau kaya-miskin. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari mereka yang berstatus sebagai hamba dipojokan bahkan dikucilkan dari lingkup pergaulan masyarakat setempat. Mereka diharuskan untuk taat kepada tuannya. Hamba atau koo memiliki prilaku yang berbeda dengan orang dari strata sosial lain yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh tekanan dari mereka yang berstatus lebih tinggi sehingga menyebabkan para Koo terkurung dalam rasa malu dan rendah diri serta lebih cenderung untuk mengurung diri/memisahkan diri dari pergaulan umum. Mereka juga hidup terpisah dari masyarakat umumnya dan makan di tempat gelap serta meminta-minta sedekah.
Karena seringnya dianggap rendah dan dilecehkan, sehingga koo kemudian berusaha untuk mencari kekuatan yang dapat digunakan untuk membalas sakit hati dan untuk menjamin harga diri serta keberadaanya. Tak jarang koo memilih jalan pintas yang dianggap pantas untuk memperoleh apa yang diinginkan yakni dengan bekerjasama/bersekutu dengan roh jahat (polo). Setelah bersekutu dengan roh jahat dan memiliki kekuatan gaib maka koo akan menunjukkan prilaku yang berbeda dengan dari orang kebanyakan. Misalnya, matanya menjadi merah, tatapannya tajam dan suka berkeliaran pada malam hari. Dari prilaku yang berbeda ini koo kemudian disebut koo polo. Koo artinya hamba dan polo artiya orang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dari orang kebanyakkan. Pandangan ini kemudian hari berkembang karena maraknya koo yang bersekutu degnan polo. Kekuatan jahat hasil persekutuan dengan polo digunakan untuk menyantet orang yang tidak mereka disukai atau yang menimbulkan iri hati dalam diri mereka. Santet adalah suatu tindakan. Santet yang dilancarkan tidak saja menyebabkan orang bersangkutan sakit tetapi dapat juga menyebabkan kematian. Mereka kemudian disebut ata polo atau suanggi karena persekutuan mereka dengan roh jahat dan tindak kejahatan yang mereka perbuat. Ada pun beberapa motivasi yang mendorong orang untuk menjadi suanggi:
Untuk mempertahankan kekuasaan sebagai mosalaki atau kepala suku (polo ana tana )
Adanya rasa iri hati, sakit hati, cemburu atas kesuksesan orang lain juga dendam (polo wera dan polo kesu). Hal ini biasanya dialami oleh koo.
Untuk dapat disegani orang dan tidak dilecehkan.
Macam-macam Praktek Ata polo dan Cara Kerjanya
Macam-macam praktek ata polo sesuai dengan jenis ata polo. Ada pun jenis dan praktek ata polo:
1.Polo Wera
Polo Wera lahir karena rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih mapan ekonominya, cemburu atas kesuksesan yang diperoleh seseorang, dendam kepada orang yang tidak memenuhi keinginannya atau yang menyakiti hatinya. Polo Wera beraksi pada malam hari dan bisa berubah wujud (polo mbale mbeo) dalam bentuk seperti kucing, cicak, tikus, ular dan dalam bentuk lainnya. Mereka biasanya muncul secara tiba-tiba dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat dan mengetahui bahwa itu adalah jelmaan dari roh jahat.
2 Polo Kesu
Ata Polo jenis ini pada hakikatnya bermula dari orang yang berkekurangan dan sering dilecehkan dalam masyarakat. Meskipun demikian, orang tersebut sangat berambisius untuk memperoleh kelimpahan harta dalam masyarakat sehingga cenderung melakukan penyembahan-penyembahan secara rahasia terhadap benda-benda yang dianggap keramat di luar dari tata cara adat istiadat Lio. Ini artinya benda-benda tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur pemujaan bagi masyarakat Lio. Setelah melakukan pemujaan orang tersebut mendapat ilham misalnya dia harus ke hutan dan mencari buah kenari. Buah kenari yang jatuh terlalu banyak membuat orang tersebut kewalahan untuk menampungnya sehingga dia akan pingsan untuk sesaat. Pada saat itulah proses reinkarnasi sedang berlangsung yang mengubah seseorang menjadi ata polo. Proses ini dinamakan kesu, yang meenjadikan asal muasal seseorang disebutata polo kesu. Untuk membedahkan ciri-ciri ata polo jenis ini cukup dilihat dari perilakunya yang aneh dalam bermasyarakat, contohnya; sorot matanya cukup tajam, matanya memerah jika menatap orang lain, mengungkapkan kemarahan kepada orang lain dengan selalu melontarkan kata-kata yang bermakna kiasan, bayangan raganya sering dijumpai berkeliaran pada tengah malam di saat orang lain sedang terlelap tidur dan dapat berubah wujud (menjelma) menjadi apa saja. Ata polo kesu, mempunyai kesaktian yang luar biasa dari jenis ata polo lainnya bahkan pada tingkat tertentu ata polo kesu ini diyakini bisa terbang pada malam hari. Biasanya, ata polo jenis ini tidak sembarangan menyerang (menyantet) setiap orang yang dijumpainya kecuali ia merasa dilecehkan atau tidak dihargai oleh orang yang akan menjadi korbannya. Namun diketahui ata polo jenis ini tidak mudah tersinggung. Jenis-jenis ata polo kesu seperti : polo pesa bebeo yaitu ata polo yang masih berada pada taraf belajar untuk menggunakan ilmu yang diperoleh. Dan polo pesa mbeo yaitu ata polo yang sudah mahir dalam menggunakan ilmu yang dimiliki.
3. Polo Jou
Masyarakat Lio pada umumnya beranggapan bahwa ata polo jenis ini adalah yang paling unik dari jenis lainnya. Keunikan Polo Jou terletak pada aksi-aksi fenomenalnya yang selalu menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat setempat misalnya; secara terselubung sering mengukuhkan diri sebagai yang terkuat, tertinggi, terbaik, terhebat bahkan kerap menunjukan arogansinya sehingga menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Pada dasarnya, polo jou adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan daripolo ana tana dan polo kesu. Karena polo jou berguru pada polo ana tana atau polo kesu untuk memperoleh kekuatan gaib. Adapun beberapa tahap yang harus dilewati untuk menjadi polo jou :
  • Menemui polo ana tana atau polo kesu untuk berguru pada mereka.
  • Harus memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan. Misalnya soal sesajen dan cara berhubungan dengan roh-roh halus.
  • Wajib menyatakan sumpah untuk tidak melanggar etika di dalam komunitasnya sendiri dan harus menyerahkan diri seutuhnya serta mempunyai keyakinan yang sangat kuat supaya tujuannya bisa tercapai. Etika yang dimaksudkan di sini adalah tata aturan yang berada dalam komunitas ata polo tersebut.]
  • Harus menjaga kerahasiaan meskipun ada sesuatu hal terburuk yang akan terjadi di kemudian hari.
  • Berani menanggung resiko dari segala macam perbuatan terhadap masyarakat.
Setelah semua persyaratan yang disebutkan di atas bisa terpenuhi, selanjutnya orang tersebut memasuki proses pengisian ilmu gaib yaitu: dapat melalui air yang disuguhkan, dimandikan ataupun dengan cara memakan beberapa bulir beras merah yang dalam bahasa Lio disebut dengan Puu Pare Laka. Sudah tentu hal ini berlangsung secara tersembunyi.
Dari poin-poin yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya bukan hal yang mudah untuk menjadi ata polo jou. Namun, kenyataan menunjukkan ada banyak orang yang menjadi penganut aliran ini. Pada dasarnya aliran ata polojenis ini dimaksudkan untuk suatu tujuan yang baik yaitu untuk membentengi diri dari serangan hal-hal yang bersifat mistik (gaib). Akan tetapi seiring berjalannya waktu ata polo jenis ini kerap kali sulit mengontrol kekuatan gaib yang ada dalam dirinya, dan kerap melanggar beberapa persyaratan yang sudah ditentukan di atas sehingga dapat menunjukan ciri-ciri dan keunikankeunikan seperti;
  • Menyantet setiap orang yang tidak disukainya dan bisa mengakibatkan hilangnya nyawa orang tersebut.
  • Suka membangkang dan Iri hati kepada orang lain yang lebih mampu dari sisi ekonomi.
  • Menghasut orang lain.
  • Menyatakan diri yang terbaik, terhebat, paling sakti dari orang lain dan sebagainya.
  • Sama seperti ata polo kesu, ciri-ciri ata polo jenis ini juga dapat dilihat dari perilaku yang cukup aneh, sorot matanya juga cukup tajam, matanya memerah jika menatap orang lain, mengungkapkan kemarahan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa-bahasa kiasan namun perbedaannya dengan ata polo kesuadalah ata polo jou lebih gampang tersinggung dan mudah marah.
Menurut kepercayaan masyarakat Lio, pada tingkat tertentu ata polo jenis ini diketahui setelah menyantet korbannnya. Mereka kerap memakan korbannya yang sudah meninggal setelah empat hari penguburan melalui ritual khusus yang dilakukan pada malam hari oleh komunitas ata polo. Ritus ini bertujuan untuk melengkapi kesaktian mereka. Dalam ritual tersebut para ata polo hadir dalam rupa roh atau dalam bentuk mahkluk jelmaan lainnya seperti hewan agar tidak dikenali.
Akibat dari praktek Ata polo ini akan membawa dampak dalam kehidupan pribadi atapolo maupun dalam kehidupan social masyarakay misalnya:
  • Harus ada tumbal yang diberikan sebagai imbalan untuk kekuatan yang diperoleh. Misalnya, ada anggota keluarga yang harus menjadi korban atau ata polo harus mencari korban lain yang dapat menjadi tumbal.
  • Kehadiran ata polo juga dapat merusak kerukunan hidup bersama karena keresahan yang di timbulkan dari tindak menyantet atau membunuh orang yang tidak disukai
  • Akibat dari praktek suanggi ini juga menyebabkan orang yang dianggap suanggi dijauhi oleh masyarakat karena perbuatannya yang tidak baik dan mangancam kehidupan masyarakat.
  • Dapat menimbulkan salah paham di antara anggota masyarakat karena salah menduga orang yang dianggap suanggi yang juga berdampak pada pembunuhan.
  • Dapat menimbulkan korban jiwa orang-orang yang tidak bersalah (akibat iri hati).
    Menjauhkan orang yang bersekutu dengan suanggi juga orang yang terpengaruh karena dari hubungan yang akrab dengan Tuhan.
  • Merusak tatanan kehidupn social karena munculnya sikap saling curiga
referens: https://athanua.wordpress.com/2016/01/25/atapolo-magic-dalam-masyarakat-ende-lio/

Thursday, September 22, 2016

Lagu Daerah Ende-Lio




1. IE   (lagu rakyat  Ende  Lio , ciptaan NN,vocal:  Ireyn Klau)

Ie… ie… ie…bele wea  seru  molo   mesa    a.. a.. a.. a  (2x)
Seru  kai  nonge  nebu ola kobe    one      ie nonge ola baje  wole   a.. a.. a.. a 
Ana  susa   apa  ema  ngala   laka  role      molo  doa ana eda  doa    a.. a.. a.. a 

Ie… ie… ie…bele wea  seru  molo   mesa    a.. a.. a.. a  (2x)
Seru  kai  nonge  nebu ola kobe    one      ie nonge ola baje  wole   a.. a.. a.. a 
Ana  susa   apa  ema  ngala   laka  role      molo  doa ana eda  doa    a.. a.. a.. a 

Ie… ie… ie…bele wea  seru  molo   mesa    a.. a.. a.. a  (2x)
Seru  kai  nonge  nebu ola kobe    one      ie nonge ola baje  wole   a.. a.. a.. a 
Ana  susa   apa  ema  ngala   laka  role      molo  doa ana eda  doa    a.. a.. a.. a 

Ie… ie… ie…bele wea  seru  molo   mesa    a.. a.. a.. a  (4x)




2. O DO LELE vocal MADAWA  GROUP ENDE-LIO MADAMMA.DOLELE(RICHARD FLOREZH

Ref: O do lele   do  lele  do lele do  lele  weta  e (2x)
        O do lele   do  lele  do lele do  lele   nara   e (2x)
Solo:
O weta  kau  ma’e  lara  fonga
No’ nara   ghea  dowa no’  fai  ana  - Ref

Solo:
O nara  kau  iwa  lara  mea
Julu no’ weta   ghea  ana do kolo   rua - Ref
Solo:
O nara  kau  iwa  lara  mea
Julu no’ weta   ghea  ana do kolo   rua - (?) Ref  
Solo:
O weta rupa  du   sare raka
Re’e walo    weta  tobo kau’  bebo   jaga  - Ref
Solo:
O nara  kau  iwa  tanggo  jawa
To’  paru  mbana  welu  weta  no’ tuka - Ref






3. SANUA  KOTA  ENDE:  ByL NN (Lagu rakyat - vokal: Boby Tunya)

Sanua kota  Ende
Benu pu kaju  wonga
Mera meta  bara
Ate ku  gha so dei  raka

So wonga moke toto
Ate ku gha so ria lo'
Aku so pu'i ta'u lima
Ku gha ola  melu

Weta kau olu ndou .. Bai  raka e...
Nara  kau mbane  pere  le wa limba
Kobe no leja weta kau de'
Susa-susa aku gha bai re'.







4. KELIMUTU  TIWU TELU  By:........



Kelimutu Tiwu Telu ( Ivan Nestorman )




Saturday, September 10, 2016

Jenis dan Motif Kain Tenun Ende-Lio


Tenun ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami.
                Tenun merupakan salah satu jenis seni kriya Nusantara yaitu kriya tekstil. Tenun merupakan salah satu kerajinan seni yang patut dilestarikan. Seperti yang dikatakan Joseph Fisher (dalam Suwati Kartiwa, 1986: 1) Indonesia adalah salah satu Negara yang menghasilkan seni tenun yang terbesar terutama dalam hal keanekaragaman hiasannya. Dalam tenun ikat terdapat beberapa aspek yang menjadi nilai yang terkandung di dalam proses maupun hasil dari selembar tenun ikat. Aspek-aspek ini dapat diuraikan antara lain;
1         Aspek Sosial : Dalam aspek sosial kain tenun banyak digunakan untuk upacara-upacara adat seperti kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Bahkan lambang dan warnanya pun telah disesuaikan.
2         Aspek Ekonomi : Kain tenun dalam aspek ekonomi dipakai sebagai alat pertukaran. Pertukaran dalam arti barang yang dipertukarkan dengan barang lainnya.
3         Aspek Religi : Pada aspek religi terlihat bahwa ragam hias yang diterapkan mengandung unsur perlambangan yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama tertentu. Dalam upacara keagamaan kain tenun khusus digunakan oleh pemuka agama atau dukun.
4         Aspek Estetika : Aspek estetika terlihat pada keterampilan, ketekunan didalam menciptakan suatu karya. Baik dari segi garis, motif dan warnanya dan menghasilkan suatu nilai estetika.
                Tenun ikat atau kain tenun merupakan kriya tenun berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan dan lungsi yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam pewarna. Istilah ikat didalam menenun ini menurut Loeber dan Haddon (1936) diperkenalkan di Eropa oleh Prof.A.R Hein pada tahun 1880 dan menjadi istilah dalam bahasa Belanda yang disebut ikatten dan dalam bahasa Inggris kata ikat berarti hasil selesai dari kain dengan tehnik ikat dan to ikat untuk arti proses dari tehniknya (dalam Suwati Kartiwa, 1989: 5).
                Sedangkan motif yang dibuat pada jaman itu terdapat penggambaran yang berasal dari jaman Neolitikum yang diterapkan pada kain pakaian tersebut sebagai corak. Corak tersebut diantaranya seperti; nenek moyang, pohon, perahu, arwah dan sebagainya (dalam Suwati Kartiwa, 1989: 7-8).
                Dalam tenunan Ende dan Lio biasanya berwarna dasar merah tua kecoklatan, ditenun dua kali dan dijahit dengan memisahkan bagian tengah (one) dan bagian kaki (ai). Bagian tengah mempunyai ikatan sebagai pola khusus, sedangkan bagian kaki senantiasa diperkecil sehingga setiap jalur itu mempunyai nama masing-masing sampai jalur yang paling kecil.
                Pada kain tenunan untuk pria Ende dan Lio biasanya berwarna dasar hitam atau biru kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang lungsin yang sejalan dengan jalurnya mendatar yang biasa disebut Ragi/Luka. Untuk tenunan wanita Ende dan Lio adalah motif Flora dan Fauna. Seperti kuda, daun, burung, lalat atau sayap lalat yang disebut lawo/zawo. Sedangkan untuk motif kain dan selendang didominasi oleh motif bunga yang diselingi garis hitam kecil diantara motif-motifnya dengan rumbai-rumbai pada bagian ujung.
Adapun beberapa jenis hasil tenun ikat dapat dipaparkan antara lain;

1. Semba (kabupaten Ende)

Jenis motif    : selendang laki-laki
Jumlah motif    : vertikal 2×4 motif, horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar    : 2 (dua) singi, setiap Singi telah disatukan dengan bagian Onenya
Ukuran    : 200 cm x 100 cm
Bagian dari Semba  : Upu – Lere – Bharaka Lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan  : Kelurahan Onelako dan Desa Manulondo, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende

                Semba adalah selendang kebesaran para Mosalaki dan Ria bewa yang dipakai pada upacara adat yang sangat ritual. Cara pembuatannya pun cukup rumit karena banyak persyaratannya. Semba terdiri dari 2 (dua) lembar yang dijahit menjadi satu lembar selendang semba, dengan posisi motifnya saling berhubungan. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.

2.  Lawo Jara Nggaja

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 10 motif
Horisontal 2×7 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) singi, 1 (satu) one
Ukuran    : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba  : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan   : Desa Manulondo, Kelurahan Onelako Kecamatan Ndona
                Nama Lawo Jara Nggaja diberikan sesuai dengan namanya atau nama dari motif Lawo tersebut yaitu “Jara Nggaja”. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini adalah pakaian kebesaran bagi istri para tua adat (Mosa Laki) disekitar lokasi pembuatan dan dipakai pada saat upacara adat. Yang perlu diperhatikan adalah cara memakai sarung ini yaitu harus searah dengan motif Jara Nggaja yang berdiri, jangan sampai terbalik motif kaki dari Jara Nggaja arahnya keatas. Arti dari Jara NGGAJA yaitu KUDA dan GAJAH.

3. Lawo Pundi 

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    :  vertikal 6 motif, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) singi, 1 (satu) one
Ukuran    : 200 cm x 100 cm
Bagian dari Semba    : Upu – Lere – Bharaka Lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan    : Desa Nggela, Kec. Wolojita, Kab. Ende
                Pada dasarnya motif Lawo Pundi adalah bermotif serangga dan binatang melata. Motif ini jarang ditemui di Kota Ende. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif Lawo Pundi dibuat berdasarkan hasil tiruan dari manik-manik pada pundi-pundi di jaman dahulu sehingga Lawo Pundi bermotif persegi empat seperti pundi dengan butu seke. Lawo pundi selain dipakai oleh istri-istri Mosa Laki dan tua-tua adat di Nggela, juga dikenakan oleh para gadis keturunan Mosa Laki untuk menari tarian Mure.

4. Lawo Soke

Jenis motif    : sarung perempuan
Jenis Lawo Soke   : Soke mata ria atau mata karara dan Soke Bele Kale
Jumlah motif    : vertikal 7 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) Singi, 1 (satu) One
Ukuran    : 200 cm x 100 cm
Lokasi pembuatan  : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
                
Motif Soke dibuat berdasarkan meniru daun sukun atau wunu tere yang berdiri dan menempel pada lawo dan kata soke yang artinya menancap, sehingga dari cara menirunya yaitu pada daun sukun yang berdiri, orang menamakan jenis lawo ini yaitu lawo soke. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Adapun motif pada lawo ini diantaranya disisipkan dengan motif tambahan yaitu mata gami lima dan gami telu yang bentuknya seperti sayap lalat, jenis orang menamakan soke bele kale. Jenis sarung soke dan soke bele kale biasanya dijadikan sarung atau lawo pengantin perempuan disekitar lokasi pembuatannya.

                          a.  Lawo Soke Mata Ria

            Jenis motif    : sarung perempuan
            Jumlah motif    :  vertikal 7 motif, Horisontal 2×4 motif
            Jumlah lembar    :    3 lembar terdiri dari 2 Singi dan 1 One
             Lokasi pembuatan    :    Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona

    Motif Lawo Soke Mata Ria dibuat berdasarkan meniru daun sukun yang berdiri tempel pada lawo dan kata Soke artinya menancap dan Ria artinya besar. Jadi Lawo Soke Mata Ria artinya motif daun sukun yang besar yang dimunculkan pada sarung/lawo. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara adat baik yang resmi maupun tidak resmi.

b.  Lawo Soke Mata Lo’o

            Jenis motif    : sarung perempuan
            Jumlah motif    :  vertikal 7 motif, Horisontal 2×4 motif
            Jumlah lembar    :    3 lembar terdiri dari 2 Singi dan 1 One
            Lokasi pembuatan    : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
         Motif Lawo Soke Mata Loo dibuat berdasarkan meniru daun sukun yang berdiri tempel pada lawo dan kata Soke artinya menancap dan Loo artinya kecil. Jadi Lawo Soke Mata Loo artinya motif daun sukun yang kecil yang dimunculkan pada sarung/lawo. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara lainnya adat baik yang resmi maupun tidak resmi.

5. Lawo Nepa Mite


Jenis motif    : sarung perempuan
Jenis lawo    : Nepa mite dan Nepa Te’a
Jumlah motif    : vertikal 1 motif utama, 4 motif ½ motif utama, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar, motif utama terletak di bagian Singi atau dibagian kaki bila dipakai
Ukuran    : 200 cm x 150 cm
Lokasi pembuatan  : di pesisir pantai selatan dari daerah Lio Kab. Ende
                Pada jaman dahulu sudah terjadi pertukaran budaya antara kerajaan-kerajaan di dunia dengan para petinggi Flores khususnya di Ende Lio. Tidak heran bila Ende Lio memiliki motif Nepal. Dinamakan lawo Nepa Mite karena motifnya berasal dari Nepal dan warna motifnya hitam putih atau hitam nilam (nggili).
                Lawo Nepa Mite dengan Lambu Mite Mina biasa dipakai oleh ibu-ibu Mosalaki saat upacara adat dan ritual lainnya. Dan sarung jenis ini jarang dipakai oleh para gadis, kecuali Lawo Nepa Te’a atau motif utamanya diberi warna warna kembo atau bahan benang kuning.

6. Lawo Nepa Te’a

Jenis motif    : sarung perempuan
Jenis lawo    : Nepa Te’a dan Nepa mite
Jumlah motif    : vertikal 1 motif utama, 4 motif ½ motif utama, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar, motif utama terletak di bagian Singi
atau dibagian kaki bila dipakai
Ukuran    : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan  : di pesisir pantai selatan desa Wolo Topo Kec. Ndona hingga Watu Neso Kecamatan Lio Timor Kabupaten Ende

                Lawo Nepa Te’a merupakan pengembangan dari Lawo Nepa Mite karena seluruh motif semuanya sama. Perbedaannya hanya pada motif utama yang diberi warna kembo atau bahan dasarnya benang berwarna kuning.
                Lawo Nepa Te’a artinya lawo nepa berwarna kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh kaum perempuan baik ibu-ibu maupun gadis-gadis pada acara apa saja.

7. Senai

Jenis motif    : selendang laki-laki (untuk menari)
Jumlah motif    : vertikal 2 mata kopo dan 1 mata one, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar    : 1 (satu) lembar, terdiri dari Singi dan One
Ukuran    : 200 cm x 50 cm
Lokasi pembuatan  : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
di pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda Hingga kecamatan Lio Timur Kabupaten Ende.
               
                Hampir semua ibu-ibu pengrajin dapat membuat selendang Luka atau Senai, tetapi motifnya berbeda-beda sesuai daerah masing-masing. Gambar dibawah ini merupakan contoh Senai atau Luka Mata Kopo dari desa Nggela Kec. Wolojita.
Daerah kecamatan Nangapanda – kecamatan Ndona – kota Ende dan sekitarnya menamakan Senai karena terdiri dari satu lembar. Sedangkan di daerah Lio menyebutnya Luka karena dipakai oleh kaum pria. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
                Selendang ini biasa dipakai saat Wanda Pa’u (tarian massa) dan tarian khas daerah Ende Lio pada acara-acara resmi. Sarung Luka bagi di daerah kota dan sekitarnya adalah sarung laki-laki atau Luka Mite. Sedangkan Luka Mite bagi daerah Lio adalah Ragi Mite.

8.  Lawo manu

Jenis motif    : sarung perempuan
Bentuk Lawo Soke  : Soke mata ria atau mata karara Soke bele kele
Jumlah motif    : vertikal 7 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar    : 3 lembar terdiri dari 1 one dan 2 singi
Lokasi pembuatan  : desa Nggela dan Wolojita, Kecamatan Wolo jita

                Motif Lawo Manu dibuat berdasarkan meniru seekor binatang Ayam. Yang berdiri tempel pada Lawo dan kata Manu yang artinya Ayam.
Adapun motif ini diantara motifnya disisipkan dengan motif tambahan yaitu mata gami lima dan gami telu, yang bentuknya seperti sayap ayam, jenis ini orang menamakan Lawo Manu. Sarung ini biasanya dijadikan sarung atau Lawo pengantin perempuan disekitar lokasi pembuatannya.

9. Mata rote

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 1 motif utama dan 4 motif ½ utama, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar    : 3 lembar, motif utama terletak dibagian singi atau dibagian kaki bila dipakai Lokasi pembuatan  : pesisir pantai selatan dari desa Wolotopo, Kec. Ndona Hingga kota Ende dan sekitarnya.
                Lawo Mata Rote merupakan pengembangan dari Gami Tere Esa karena seluruh motif semuanya sama. Perkembangan hanya pada motif utama karena diberi dengan warna kembo atau bahan dasarnya benang berwarna kuning. Lawo Mata Rote artinya motif yang kecil berwarna putih kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh semua kalangan baik para ibu maupun para gadis untuk acara adat dan acara lainnya.

10. Lawo Mberhe Arhe/Bele kale

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 2 mata pada singi dan 1 mata pada one
Jumlah lembar    : 1 lembar, terdiri dari singi dan one
Lokasi pembuatan  : pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda, Ende dan Ende selatan.
                Bele Kale artinya sayap lalat. Sarung ini hampir dapat dibuat oleh semua pengrajin tenun ikat, hanya motifnya berbeda-beda sesuai dengan daerah masing-masing. Sarung ini dipakai pada saat upacara adat atau acara keagamaan baik resmi maupun tidak resmi.

11. Lawo Mata Anggo

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 3 motif, Horisontal 5 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar yaitu dari 1 One dan 2 Singi
Ukuran    : 200 cm x 140 cm
Motif utama    : motif mata anggo
Lokasi pembuatan  : desa Jopu – Kec.Wolowaru – kota Ende dan sekitarnya
                Motif lawo Mata Anggo sebenarnya diambil atau meniru motif batik dan bagi masyarakat Ende Lio dinamakan Kae Anggo. Adapula gabungan motif batik dengan motif dasar tradisional seperti Seke Bele Kale atau Soke Mata Lo’o dengan 5 (lima) gami. Sarung ini sebenarnya gabungan dari motif batik dan motif tenun ikat tradisional kabupaten Ende dan masih dianggap baru. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara lainnya baik yang resmi maupun tidak resmi.

12.  Lawo One Mesa

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 18 motif, Horisontal 2×6 motif
Jumlah lembar    :    3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran    :    200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan  : desa Manulondo – kec. Ndona –Kab. Ende

                Lawo One Mesa atau Lawo Mboko Wea atau Lawo Sue, karena yang membuat motif ini pertama kali adalah Ibu Theresia Sue (almr) asal Ndona, yang adalah generasi sebelum Indonesia merdeka. Sarung ini berbentuk Mata Kopo dan bagian tengahnya diisi dengan motif Mboko Wea atau motif sesuai dengan posisi motifnya saling berhubungan dengan setiap lembar. Dikatakan Lawo One Mesa karena ketiga lembar dengan motif yang sama dan jenis sarung ini memang agak rumit dibuat. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini biasa digunakan sebagai sarung pengantin perempuan. Sarung ini tergolong langka karena yang membuatnya masih bersifat turun temurun. Jenis lawo ini sekarang berkembang menjadi bermacam jenis motif tetapi polanya tetap sama dengan aslinya dan kini telah menjadi motif dasar lembaran.

13. Lawo Pea Kanga

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 18 motif, Horisontal 2×13 motif Jumlah lembar    :    3 (tiga) terdiri dari 1 (satu) One dan 2 (dua) Singi – Ukuran    :    200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Kecamatan Nangapenda – Kecamatan Ndona,Kota Ende dan sekitarnya – Kabupaten Ende
                Lawo Pea terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Pea biasa dan Pea Kanga (seperti terlihat pada gambar) karena terdapat penambahan motif kanga atau jari pada bagian tengah motif. Ada yang mengatakan bahwa nama sarung ini diambil dari nama si pembuat pertama motif sarung ini yaitu Ine Pea. Ada pula yang mengatakan Pea adalah Pi’a atau dipotong pada motif Lawo Pea sehingga arti dari nama sarung tersebut adalah dipotong. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga atau acara keagamaan dan juga untuk Wai Laki atau memberikan kepada saudara pada acara adat.
                Yang sangat diperhatikan adalah sarung ini tidak boleh dipakai oleh para gadis karena dipercaya gadis-gadis sulit mendapatkan jodoh. Hal ini karena sesuai dengan arti sarung yaitu jodohnya selalu dipotong oleh orang lain.

14. Lawo Jara

Jenis motif    : sarung perempuan
Bentuk motif    : motif Jara (kuda) dan mata Saliwu
Jumlah motif    : vertikal 18 motif, Horisontal 2×13 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) terdiri dari 1 (satu) One dan 2 (dua) Singi
Ukuran    : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba  : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : desa Manu Londo – Kel. Onelako – Kota Ende dan sekitarnya – Kab. Ende Ende

                Nama sarung ini sesuai dengan dengan bentuk motifnya yaitu jara atau kuda dan untuk menambah motif diantara kuda yaitu ditambahkan motif mata saliwu. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif jara sebenarnya bagian dari motif lawo jara nggaja hanya jumlah gaminya agak berbeda. Sarung ini digunakan oleh kaum wanita pada saat acara keluarga dan acara keagamaan dan cara memakainya harus sesuai dengan motif kuda berdiri sehingga tidak terbalik.

15. Lawo gami tera esa

Jenis motif    : sarung perempuan
Jumlah motif    : vertikal 18 motif
Jumlah lembar    :    3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran    :    200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Desa Wolopau – Nggela – Kecamatan Wolojita Tenda – Jopu – Kecamatan Wolowaru

                Nama sarung ini disesuaikan dengan pembuatannya yaitu setiap motif mempunyai 9 (sembilan) gami atau sembilan ikatan benang, sehingga orang menamakannya Lawo Gami Tera Esa. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Dari setiap jenis lawo, sarung inilah yang sangat sederhana cara membuatnya dan tidak serumit sarung jenis lainnya.
                Sebenarnya motif sarung ini diambil dari bagian motif lawo kelimara dan sarung ini sangat digemari oleh para gadi kabupaten Ende dan sekitarnya. Sarung ini dipakai pada saat mana saja terutama para gadis menggunakan sarung ini sebagai pakaian tarian massa, karena mudah diperoleh bila dibutuhkan.

16. Lawo Mata sinde

Jenis motif    : sarung perempuan
Bentuk motif    : motif mata sinde dan lawo Kelimara
Jumlah motif    : vertikal 4 motif mata sinde, 1 motif kelimara dan 5 motif lainnya,
Horisontal 2×6 motif + bharaka
Ukuran    : 200 cm x 160 cm
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar
Lokasi pembuatan  : desa Ngaluroga Kec. Ndona dan Kecamatan Wolojita
                Motif sarung ini sebenarnya meniru motif dari salah satu jenis selendang sinde ukurannya paling kecil untuk digunakan sebagai ikat pinggang atau kepala laki-laki. Jenis selendang sinde sekarang ini hampir punah karena jarang sekali orang membuatnya. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif mata sinde terdapat pada bagian lembaran one atau tengah sedangkan pada bagian bawah kaki bila dipakai motifnya hampir sama dengan motif dari lawo kelimara. Untuk mendampingi motif mata sinde, ada 2(dua) motif dari lawo nepa te’a metu serta motif lainnya dari bagian sarung.
Jenis sarung ini biasanya digunakan oleh ibu-ibu maupun para gadis pada upacara adat maupun upacara agama.

17. Lawo Keli Mara

Jenis motif    : sarung perempuan
Bentuk motif    : Gunung, Teo Timbu, Gami tera es
Jumlah motif    : vertikal 2 motif utama an Teo timbu dan 12 motif gami tera esa
Horisontal 2x motif utama
Jumlah lembar    : 3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran    : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Nggela – Wolo pau – Wolo jita – Tenda – Jopu – Mbuli – Jopu Kecamatan Wolojita dan Kecamatan Wolowaru
                Kelimara adalah lawo/sarung yang bermotif gunung, yang memberi kehidupan kepada umat manusia atas cinta kasih yang Maha Penyayang. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Nama sarung ini disesuaikan dengan bentuk motifnya yang terdapat pada sarung tersebut. Keunikan dari sarung ini yaitu motif utamanya terletak pada sisi sarung atau lembaran luar dari bagian sarung atau pada bagian kaki bila dipakai. Sedangkan pada bagian lembaran yang lain motifnya berbentuk Gami tera esa bila bagian atas tidak dipakai motif utama.
                Sarung ini digunakan sebagai sarung pengantin perempuan dan juga digunakan oleh ibu-ibu mosalaki pada saat upacara adat. Lawo Kelimara terdiri atas 2 jenis motif yaitu : Motif berbentuk gunung yang menjulang tinggi. Ada juga berbentuk gunung kecil bagian tengah motif dan bagian atasnya berbentuk seperti rumah adat. Lawo Kelimara dengan motif utama terdapat pada kedua sisi lawo dengan 9 (sembilan) motif Gami tera esa serta 2 (dua) motif Teo timbu.

18. Lawo mangga

Jenis motif    : sarung perempuan
Bentuk motif    : Mata Bhuja dan Mata Ndala
Jumlah motif    : vertikal 12 motif, Horisontal 2×4 motif
Jumlah lembar    : 3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran    : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo – desa Lokoboko – kel. Onelako, Kec. Ndona, di pesisir kec. Nangapanda, Ende dan Kota Ende sekitarnya
                Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Disebut lawo Mangga atau Maga karena bentuk motifnya seperti bambu palang pada pagar. Lawo mangga atau maga yang artinya bambu palang pagar. Sedangkan bentuk motifnya adalah jala ikan (Mata Ndala) dan Bhuja (bagian sirip ekor ikan). Sarung ini biasa dipakai sebagai pakaian sehari-hari oleh ibu-ibu dan para gadis.

19. LUKA/RAGI


                Berwarna dasar hitam atau biru kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang lungsin yang sejalan dengan jalurnya mendatar dan merupakan kain tenun untuk kaum pria.


Friday, September 9, 2016

Tenun Ikat Ende-Lio (Antara Motif dan Mitos)



Di balik ragam jenis motif tenun ikat Lio terdapat mitos tentang kehidupan nenek moyang suku Lio. Falsafah awal mula kehidupan manusia serta karakteristik kedaerahan dituangkan dalam ragam motif. Bagaimana mitos di balik motif-motif tenun ikat Lio?
                Di daratan Flores, setiap sub etnis memiliki ekspresi kultural yang berbeda meski agak mirip satu dengan lainnya. Begitu juga dengan motif kain tenun ikat yang menjadi salah satu ‘ikon’ budaya masyarakat Flores. Tenun ikat seolah lekat dengan politik tubuh masyarakat Flores.
                Di antara ragam tenun ikat itu, tenun Lio menjadi salah satu yang menarik untuk diperhatikan. Ekspresi kehidupan nenek moyang di zaman dahulu tergambar dalam motif kain tenun Lio. Seorang tokoh budaya Ndona, Jailani Aksa, yang mengetahui betul berbagai makna motif Lio menceritakan bahwa motif tenun ikat Lio sebenarnya menceritakan segala bentuk kehidupan masyarakat pada zaman dulu.
                Diturunkan melalui cerita lisan secara turun-temurun, berbagai jenis motif Lio adalah terjemahan latar belakang kehidupan sosial dari waktu ke waktu hingga saat ini. Masyarakat Ndona memaknai itu sebagai bukti warisan tradisi kehidupan leluhur.
Motif sinde mengambarkan seekor ular kobra. Konon, etnis Lio berasal dari India yang lekat dengan ular kobra. (Foto: FBC/Ian Bala)
                Beragam motif tenun ikat memiliki makna dan kekhasan masing-masing. Seperti jenis motifnggaja dan rajo. Dua jenis motif ini menceritakan leluhur dari India dan Malaka. Motif nggajaberbentuk hewan gajah itu mendeskripsikan tentang kehidupan para dewa India Malaka yang datang ke Ende. Entah ada atau tidaknya hewan gajah di Ende, tetapi pada umumnya para pemeluk agama Hindu yang sebagian dianut bangsa India menjadikan gajah sebagai simbolisasi Dewa Ganesha, dewa pelindung ilmu pengetahuan.
                Menurut Jailani Aksa, motif nggaja ini juga adalah kendaraan para dewa untuk bepergian. Motif ini sama dengan jenis motif jara atau kuda. Para dewa sering menggunakan dua jenis hewan ini sebagai pengganti kendaraan untuk memudahkan perjalanan dari rumah ke rumah atau dari daerah satu ke daerah yang lain.

UNTUK MELAYAT
                Motif nggaja biasa dipakai untuk melayat kematian dan untuk memenuhi undangan perkawinan. Saat melayat kain harus dipakai terbalik. Kepala gajah harus menghadap ke bawah. Mengapa? Sampai saat ini masyarakat Ndona mengakui gajah merupakan kendaraan atau alat transportasi. Roh jahat akan ikut menebeng dan sangat gampang merasuk saat suasana berkabung. Begitu pula dengan jenis motif jara atau kuda.

Bagi pengantin, jenis motif nggaja juga tidak diperkenankan untuk dikenakan. Masyarakat setempat mempercayai jika dikenakan maka roh jahat akan mengikuti pengantin selama hidupnya. Motif ini hanya dikenakan oleh para undangan atau orang lain selain pengantin. Meski demikian, tenun motif nggaja ini dapat dipakai dalam keseharian.
               

Motif nggaja atau gajah yang lekat dengan dewa dalam agama Hindu yang dianut leluhur etnis Lio yang berasal dari India. (Foto: FBC/Ian Bala)

                               Sementara motif rajo, menceritakan tentang sebuah kapal “Rajo” milik leluhur dari India Malaka. Mereka (leluhur) dari India Malaka menuju Ende menggunakan kapal “Rajo”. Dulu kapal Rajo ini terdampar di Ndungga yang sekarang sudah dijadikan “Watu Rajo” atau batu Rajo. Batu itu berbentuk seperti kapa dan sekarang masyarakat sulit untuk melihatnya.
                Rajo adalah perahu dan didalam Rajo terdapat wea atau emas dan riti atau anting emas yang biasa dikenakan oleh ibu-ibu etnis Lio. Sementara wea dikenakan oleh lelaki tua (mosalaki)yang digantungkan pada leher. Di dalam motif rajo terdapat lukisan wea atau emas dan riti atau anting. Motif ini dikenakan dalam waktu kapan saja, karena kain ini jenis motif hias.
Kaitan dengan kapal Rajo, dahulu masyarakat India Malaka membawanya dengan seekor ular kobra ke Ende dan beberapa perhiasan lainnya. Ular itu kemudian dijadikan selendang dengan jenis motif sinde dan jenis motif semba. Motif sinde mengambarkan seekor ular kobra dan motifsemba itu untuk merangkul dimana telah dituangkan dalam tarian gawi, semua orang bergandengan tangan membentuk lingkaran untuk menari.
                Cara memakai sinde khusus laik-laki, seluruh badan ditutup dengan sinde dan semba. Dulu para mosalaki pada saat upacara adat tidak mengenakan baju, mereka hanya mengenakan sinde dan semba untuk menutupi seluruh tubuhnya.
para lelaki suku ende lio yang hanya mengenakan sinde dan semba untuk menutupi seluruh tubuh.
                Masih banyak aneka motif Lio yang melukiskan tentang kehidupan masa lampau. Misalnya motif mboko wea atau buah emas, yang menggambarkan tentang suasana saat meminang seorang gadis. Dahulu leluhur sering meminang anak gadis dengan biji emas. Tradisi itu kemudian dituangkan dalam motif mboko wea. Saat ini tradisi itu sudah punah, masyarakat hanya mengenakan kain motif pada acara antar belis (emas kawin) saat pernikahan.
                Sementara motif rote rego dan motif rote koba, menceritakan tentang tumbuh-tumbuhan di mana sebagai ladang kehidupan masyarakat. Nenek moyang kemudian melukiskan ini ke dalam motif kain. Motif ini bisa dipakai dalam suasana apa pun.
                Motif mata kerara atau buah sukun. Motif asli dari Ende yang menceritakan tentang pohon sukun. Pohon yang penuh dengan inspirasi dan juga sebagai tempat berteduh masyarakat saat kelelahan. Sekarang tumbuhan ini sudah dikenal dengan nama pohon Pancasila, karena Proklamator RI Bung Karno terilhami daun pohon sukun yang berjari lima saat merumuskan Dasar Negara Pancasila ketika masa pengasingan di Ende pada 1934-1938.
                Ada juga beberapa jenis motif yang dinamakan dari nama tokoh-tokoh sejarah misalnya motifpea, motif soke, motif lawo mangga. Jenis motif ini diambil dari nama orang, tidak diketahui secara pasti siapa orangnya. “Saya tidak tahu diambil dari nama siapa. Ini motif nama orang,”kata Jailani Aksa

CARA MENENUN
                Masyarakat Ndona biasa menenun beberapa aneka motif ini dengan cara tradisional. Peralatan yang digunakan adalah warisan dari leluhur dengan struktur alat yang sangat kuat dan tahan lama. Pewarna yang digunakan berbahan alam seperti mengkudu, daun tarum, dan beberapa jenis daun lain termasuk jenis akar-akaran. Pengolahan pewarna membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan motif tenun yang berkualitas. Selain itu, cuaca juga menentukan kualitas pewarnaan tenun. Para penenun biasa membutuhkan panas matahari untuk mengeringkan benang-benang yang sudah dicelup.
Tahap-tahap menenun sebagai berikut :
                Pertama, tahap pete atau ikat. Tahap ini, untuk menentukan jenis motif yang akan ditenun. Benang diikat dengan tali gebang (sejenis lontar) sesuai dengan jenis motif untuk mendapatkan warna putih. Masing-masing diikat sebanyak tujuh untai benang. Pada tahap ini, penenun harus lebih fokus pada jenis motif yang akan ditenun. Waktu yang dibutuhkan juga lama.
                Kedua,tahap pencelupan. Sebelum mencelup benang untuk mendapatkan warna dasar (biru), harus menyiapkan dan mengolah terlebih dahulu bahan-bahan pewarna. Bahan dasar yang digunakan adalah daun tarum untuk mendapatkan warna dasar biru. Daun tarum direndam selama dua malam lalu memisahkan ampasnya. Airnya dicampurkan dengan kapur siri dan diaduk-aduk lalu benang dicelup dan direndam selama 3 hari.
                Ketiga, tahap perminyakan. Setelah celup pertama selesai, maka dilanjutkan dengan perminyakan. Caranya, isi kemiri ditumbuk halus, dikukus lalu diperas hingga menghasilkan minyak seperti minyak kelapa atau minyak ‘bimoli’. Setelah itu, benang dicelup.

                Keempat, pewarna perminyakan. Untuk melakukan pencelupan warna merah, terlebih dahulu dilakukan pewarna perminyakkan. Tiris air abu dapur (dua gayung) dicampur satu gelas minyak kemiri lalu dimasukan dengan obat-obat lainnya seperti, daun pacar, daun akar kuning, siri pinang, lombok dan garam. Setelah itu dicelup dan direndam selama kurang lebih satu minggu. Setelah itu dijemur. Tahap ini sangat membutuhkan panas matahari untuk jemur dan jika cuaca baik dalam waktu sembilan hari benang sudah kering.
             
Untuk membentuk motif, benang yang akan ditenun diikat dengan daun gebang sesuai motif yang dikehendaki. (Foto: FBC/Ian Bala)
                Kelima, celup warna merah. Untuk mendapatkan warna merah digunakan akar mengkudu. Dipisahkan kulit akarnya lalu ditumbuk lalu diperas. Ditapis kembali, lalu ampasnya ditumbuk ulang lalu diperas. Proses ini dilakukan selama tujuh kali, lalu airnya direndam hingga menjadi pasta. Rendam selama satu malam dan dilakukan di periuk tanah dan ditutup rapat. Setelah itu, diangkat dan dijemur hingga benar-benar kering.
                Keenam,tahap menenun. Setelah semua proses itu dilakukan, benang tadi siap ditenun untuk menghasilkan jenis kain yang sempurna. Aneka motif yang digunakan dengan pewarna alam menghasilkan jenis motif dengan kekhasan aslinya dibandingkan dengan menggunakan pewarna kimia. Selain itu, motif lebih tahan lama dan warnanya tidak mudah luntur atau berubah.

Pemasaran
                Pemasaran tenun ikat Lio ini bisa dilakukan di beberapa toko aneka cindera mata khas Ende ataupun di rumah warga masing-masing. Ada juga pemasaran dilakukan melalui kelompok-kelompok tenun. Harganya bervariasi sesuai dengan jenis motif dan ukurannya. Ukuran kecil dengan harga Rp 1 juta-Rp 2 juta. Motif berukuran besar standar harganya Rp 2 juta ke atas.

Jenis motif bersimbol tentang kehidupan manusia pada zaman dahulu lebih mahal dibandingkan dengan jenis motif nama orang. Misalnya, motif nggaja, motif mata kerara dan motif rajo. Sebenarnya bukan harga yang lebih besar, tetapi pemaknaan nilai-nilai motif itu menjadi ukuran warga setempat.
               




Thursday, September 8, 2016

Festival Danau Kelimutu




Menyoroti keindahan memukau dari danau tiga warna Kelimutu di  Ende Flores dan semua keajaiban Provinsi Nusa Tenggara Timur, Festival Danau Kelimutu atau sepekan Pesta Danau Kelimutu  akan diselenggarakan setiap tahunnya dari 07-14 Agustus, berpusat di Desa Moni, Kabupaten Ende, di Pulau Flores. Festival Danau Kelimutu adalah acara tahunan sebelum merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus.
                Festival ini akan menampilkan berbagai pertunjukan seni dan budaya dan pameran dan perdagangan yang adil yang menampilkan produk dan jasa atas dari semua kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Disampaikan oleh kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Dinas Kabupaten Ende dan didukung penuh oleh Kementerian Pariwisata Indonesia, acara ini bertujuan untuk lebih mempromosikan banyak pariwisata dan produk kreatif Nusa Tenggara Timur.
                Pada 14 Agustus, festival akan di mulai  tradisi ritual Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata. Masyarakat Lio percaya bahwa Danau Kelimutu adalah tempat peristirahatan terakhir jiwa leluhur, tempat di mana semua jiwa kembali setelah perjalanan hidup berakhir. Selama Pati Ka Do'a Bapu Ata Mata, persembahan hadir dari berbagai jenis makanan untuk para leluhur, Konde dan Ratu. Ritual mengungkapkan rasa terima kasih selama setahun terakhir melalui doa dan meminta berkat, kesejahteraan, kesehatan, dan kehidupan yang baik untuk tahun mendatang. 
Referense: http://www.florestourism.com/events/kelimutu-festival-2016


Sekilas Tentang MARI LONGA dan BHARA NURI ( Hero from Ende )

patung kanan Mari Longa, patung kiri Bhara Nuri

1.        MARI LONGA

               Mari Longa dilahirkan di Watunggere, Ende sekitar tahun 1855, sekarang ibukota kecamatan Detukeli Kab Ende, Flores NTT. Nama aslinya Leba (pare adalah jenis sayur yang pahit). Ayahnya bernama Longa Rowa, seorang panglima perang tanah persekutuan Nida. Ibunya bernama Kemba Kore. Sebab sering sakit, maka sang ayah mengganti nama Leba Longa dengan nama Mari Longa. Mari adalah sejenis pohon yang kulitnya sangat pahit serta kayunya sangat keras. Sejak namanya diganti Mari Longa, ia menjadi sangat sehat.
                Mari Longa berperang melawan sesame pribumi. Untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, Belanda menerapkan politik “devide et impera”. Mari Longa ingin berdamai dengan pribumi karena kecerdikan Belanda, maka perang sesama pribumi pun tak terhindarkan. Pertama, perang melawan orang Mego di Maumere sekitar tahun 1895. Pertempuran ini dimenangkan oleh Mari Longa. Kedua, perang melawan orang Lise Lande pada tahun 1897 – 1899 yang dimenangkan oleh Mari Longa. Dalam perdamaian Mari Longa mempersunting seorang gadis Lise. Ketiga, perang melawan orang Londi Lada, dimenangkan oleh Mari Longa. Keempat, perang melawan orang Detukeli. Kelima, perang melawan pasukan Diko Lawi yang kemudian ditaklukan oleh pasukan Anafua pimpinan Mari Longa.
                Revolusi awal perang Mari Longa melawan Belanda dimulai pada tahun 1890. Mari Longa membantu Bhara Nuri (pahlawan Ende, pemimpin pasukan melawan Belanda 1887 – 1891) untuk berperang melawan Belanda. Dalam pertempuran itu, putrid Mari Longa yang bernama Nduru Mari terkena tembakan Belanda. Peluru bersarang di ususnya. Nyawa Nduru Mari tertolong dan hidup. Pertempuran ini dikenal dengan perang “ae mesi nuka tana lala” (air laut naik, tanah runtuh). Perang ini juga sebagai awal perang melawan kolonial Belanda. Pasukan Belanda pun bertekuk lutut dalam perang selama 1893 – 1897 ini.
                Perang Koloni II terjadi pada tahun 1898 – 1902. Pasukan Belanda digiring Mari Longa memasuki hutan sehingga mereka menyerah kalah sebelum banyak menelan korban. Belanda mengajak damai dan ingin mengajak Mari Longa menjadi raja. Belanda licik dan Mari Longa tidak diangkat menjadi raja di Watunggere.
                Perang Koloni III terjadi pada tahun 1905. Kampung Lewagare dibakar Belanda. Mari Longa marah dan bersama pasukannya membantai serdadu Belanda.
                Perang Koloni IV pun meletus lagi pada tahun 1906. Lagi – lagi puluhan pasukan Belanda merenggang nyawa terkena tembakan anak panah otomatis yang dipasang pada jalan masuk kampung Watunggere dan jalan di hutan, dekat benteng Watunggere yang merupakan perkampungan Belanda. Belanda akhirnya menarik pasukannya ke Ende.
                Akhirnya, karena kelicikan Belanda pada tahun 1907 perang koloni V meletus lagi. Mari Longa gugur di depan benteng Watunggere, di tangan kapten Christoffel.


2.        BARANURI

                Baranuri atau lebih dikenal dengan Bhara Nuri atau Bara Noeri, menurut makna suku kata penduduk Ende, berasal dari 2 suku kata “ Noezi” dan “Bhara”. Noezi atau Nuzi berarti bintik-bintik merah di kulit, sedangkan Bhara berarti putih. Memang beliau berkulit putih dengan bintik-bintik merah di kulitnya.
                Baranuri ini, adalah seorang atangga’e (pembesar) di Ende. Yang lahir dan hidup di Ende. Sejarahnya dapat anda lihat di buku sejarah MULOK yang sedang dipelajari di sekolah-sekolah di Kabupaten Ende.
Ada 4 sebab terjadinya perang tersebut :
a.       Perselisihan Baranuri dengan seorang atangga’e/pembesar di Ende, dimana beliau tidak setuju pembesar itu bekerjasama dengan Belanda.
b.      Larangan Belanda terhadap perdagangan budak ke Sumba dan perdagangan senjata Api oleh Belanda tahun 1877, yang sangat merugikan kepentingan Baranuri sebagai pembesar di Ende.
c.       Campur tangan Belanda terhadap masalah perkawinannya dengan wanita dari Sumba. Dimana wanita itu dipulangkan kembali ke Sumba, dengan alasan ia tidak memiliki paspor sah dari Controleur di Sumba. hal ini membuat Baranuri marah karena tanpa sebab Belanda telah mencampuri urusan pribadinya.
d.      Disitanya perahu milik Baranuri oleh Asisten Residen Brugman


                Perselisihan itu sempat membuat Baranuri diasingkan ke Manggarai – kemudian ke Kupang. Pada bulan juli 1890 dia berhasil melarikan diri dan kembali ke Pulau Flores dengan mendarat di Kampung Ngalupolo (Timur kota Ende). Dari situlah, atas bantuan pembesar disana, kemudian dia mengumpulkan prajurit dan menuju ke kota Ende serta membumi hanguskan ladang dan kebun kelapa di Aembonga (salah satu kelurahan di kota Ende).
                Pada tanggal 5 januari 1891, Residen Kupang melaporkan pada Gubernur Jenderal di Batavia bahwa ketika dia tidak dibantu lagi oleh Raja Ende serta sia-sianya pasukan sebanyak 1.100 orang mengepung Baranuri, maka atas keputusan Gubernur Jenderal di Batavia dikirimkanlah 2 kapal perang Belanda JAWA dan VAN SPEIJCK untuk menyerbu Baranuri dari laut Ippi.
                Bersama dengan ditembakkannya peluru mortir dan meriam bertubi-tubi dari laut Ippi, pada bulan Maret 1891, Belanda akhirnya berhasil memusnahkan kampung Manunggo’o beserta bentengnya.
             Peristwa penangkapan Baranuri dlakukan oleh Asisten Residen Belanda bernama Rozet yang baru diangkat. Bermula dari permintaan Kepala Kampung Roworeke dan Waturoga, 2 kampung yang sebelumnya bersekutu dengan Baranuri, yang berkepentingan karena kampungnya telah mengalamai kerusakan berat ketika dibom dari Kapal Belanda itu. Mereka meminta Baarnuri untuk menyerahkan diri.
                Atas rencana dan tipu muslihat Rozet, Baranuri bersedia berunding. Perundingan itu diadakan di Kapal Van Speijck. Ini dimaksudkan agar Baranuri tidak sempat lagi untuk lari dari kapal dan menyelamatkan diri ke gunung. Sebetulnya cara yang dipakai Rozet “ kurang jujur ” . Lebih tepatnya dikatakan sebuah “ penipuan “.
                Akhirnya, sesudah perjanjian perdamaian Onekore diperoleh secara resmi, Baranuri yang kala itu sempat dijanjikan akan dibebaskan nantinya, pada kenyataannya diasingkan ke Kupang dan kemudian ke Jawa. Hingga saat ini, kabar meninggalnya tidak terdengar lagi….dimana sang Pahlawan dimakamkan…

                Kini, kisah Mari Longa dan Baranuri dengan masa kejayaannya tinggal cerita lusuh dan usang. Kesaktian dan kepemimpinan keduanya hanya selembar sejarah yang kini terlampir dalam buku Mulok. Namun sekiranya memberikan roh dan semangat bagi generasi penerusnya untuk terus membangun negeri ini dengan „topo doga, ae bere iwa sele“ (tanpa menyerah dan tak kenal lelah), tidak bermental instan, apatis, hedonis dan malas. Sebab ditangan generasi sekarang akan menentukan masa depan suatu daerah dan bangsa. Banyak ungkapan yang mengatakan jika ingin menghancurkan suatu bangsa maka hancurkanlah generasi mudanya? Kenapa? Karena setelah itu tidak ada lagi generasi yang meneruskan semua cita-cita dan nilai perjuangan apalagi dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Referense: http://www.kompasiana.com/roman/jejak-perjuangan-mari-longa

                     https://ooyi.wordpress.com