Friday, September 9, 2016

Tenun Ikat Ende-Lio (Antara Motif dan Mitos)



Di balik ragam jenis motif tenun ikat Lio terdapat mitos tentang kehidupan nenek moyang suku Lio. Falsafah awal mula kehidupan manusia serta karakteristik kedaerahan dituangkan dalam ragam motif. Bagaimana mitos di balik motif-motif tenun ikat Lio?
                Di daratan Flores, setiap sub etnis memiliki ekspresi kultural yang berbeda meski agak mirip satu dengan lainnya. Begitu juga dengan motif kain tenun ikat yang menjadi salah satu ‘ikon’ budaya masyarakat Flores. Tenun ikat seolah lekat dengan politik tubuh masyarakat Flores.
                Di antara ragam tenun ikat itu, tenun Lio menjadi salah satu yang menarik untuk diperhatikan. Ekspresi kehidupan nenek moyang di zaman dahulu tergambar dalam motif kain tenun Lio. Seorang tokoh budaya Ndona, Jailani Aksa, yang mengetahui betul berbagai makna motif Lio menceritakan bahwa motif tenun ikat Lio sebenarnya menceritakan segala bentuk kehidupan masyarakat pada zaman dulu.
                Diturunkan melalui cerita lisan secara turun-temurun, berbagai jenis motif Lio adalah terjemahan latar belakang kehidupan sosial dari waktu ke waktu hingga saat ini. Masyarakat Ndona memaknai itu sebagai bukti warisan tradisi kehidupan leluhur.
Motif sinde mengambarkan seekor ular kobra. Konon, etnis Lio berasal dari India yang lekat dengan ular kobra. (Foto: FBC/Ian Bala)
                Beragam motif tenun ikat memiliki makna dan kekhasan masing-masing. Seperti jenis motifnggaja dan rajo. Dua jenis motif ini menceritakan leluhur dari India dan Malaka. Motif nggajaberbentuk hewan gajah itu mendeskripsikan tentang kehidupan para dewa India Malaka yang datang ke Ende. Entah ada atau tidaknya hewan gajah di Ende, tetapi pada umumnya para pemeluk agama Hindu yang sebagian dianut bangsa India menjadikan gajah sebagai simbolisasi Dewa Ganesha, dewa pelindung ilmu pengetahuan.
                Menurut Jailani Aksa, motif nggaja ini juga adalah kendaraan para dewa untuk bepergian. Motif ini sama dengan jenis motif jara atau kuda. Para dewa sering menggunakan dua jenis hewan ini sebagai pengganti kendaraan untuk memudahkan perjalanan dari rumah ke rumah atau dari daerah satu ke daerah yang lain.

UNTUK MELAYAT
                Motif nggaja biasa dipakai untuk melayat kematian dan untuk memenuhi undangan perkawinan. Saat melayat kain harus dipakai terbalik. Kepala gajah harus menghadap ke bawah. Mengapa? Sampai saat ini masyarakat Ndona mengakui gajah merupakan kendaraan atau alat transportasi. Roh jahat akan ikut menebeng dan sangat gampang merasuk saat suasana berkabung. Begitu pula dengan jenis motif jara atau kuda.

Bagi pengantin, jenis motif nggaja juga tidak diperkenankan untuk dikenakan. Masyarakat setempat mempercayai jika dikenakan maka roh jahat akan mengikuti pengantin selama hidupnya. Motif ini hanya dikenakan oleh para undangan atau orang lain selain pengantin. Meski demikian, tenun motif nggaja ini dapat dipakai dalam keseharian.
               

Motif nggaja atau gajah yang lekat dengan dewa dalam agama Hindu yang dianut leluhur etnis Lio yang berasal dari India. (Foto: FBC/Ian Bala)

                               Sementara motif rajo, menceritakan tentang sebuah kapal “Rajo” milik leluhur dari India Malaka. Mereka (leluhur) dari India Malaka menuju Ende menggunakan kapal “Rajo”. Dulu kapal Rajo ini terdampar di Ndungga yang sekarang sudah dijadikan “Watu Rajo” atau batu Rajo. Batu itu berbentuk seperti kapa dan sekarang masyarakat sulit untuk melihatnya.
                Rajo adalah perahu dan didalam Rajo terdapat wea atau emas dan riti atau anting emas yang biasa dikenakan oleh ibu-ibu etnis Lio. Sementara wea dikenakan oleh lelaki tua (mosalaki)yang digantungkan pada leher. Di dalam motif rajo terdapat lukisan wea atau emas dan riti atau anting. Motif ini dikenakan dalam waktu kapan saja, karena kain ini jenis motif hias.
Kaitan dengan kapal Rajo, dahulu masyarakat India Malaka membawanya dengan seekor ular kobra ke Ende dan beberapa perhiasan lainnya. Ular itu kemudian dijadikan selendang dengan jenis motif sinde dan jenis motif semba. Motif sinde mengambarkan seekor ular kobra dan motifsemba itu untuk merangkul dimana telah dituangkan dalam tarian gawi, semua orang bergandengan tangan membentuk lingkaran untuk menari.
                Cara memakai sinde khusus laik-laki, seluruh badan ditutup dengan sinde dan semba. Dulu para mosalaki pada saat upacara adat tidak mengenakan baju, mereka hanya mengenakan sinde dan semba untuk menutupi seluruh tubuhnya.
para lelaki suku ende lio yang hanya mengenakan sinde dan semba untuk menutupi seluruh tubuh.
                Masih banyak aneka motif Lio yang melukiskan tentang kehidupan masa lampau. Misalnya motif mboko wea atau buah emas, yang menggambarkan tentang suasana saat meminang seorang gadis. Dahulu leluhur sering meminang anak gadis dengan biji emas. Tradisi itu kemudian dituangkan dalam motif mboko wea. Saat ini tradisi itu sudah punah, masyarakat hanya mengenakan kain motif pada acara antar belis (emas kawin) saat pernikahan.
                Sementara motif rote rego dan motif rote koba, menceritakan tentang tumbuh-tumbuhan di mana sebagai ladang kehidupan masyarakat. Nenek moyang kemudian melukiskan ini ke dalam motif kain. Motif ini bisa dipakai dalam suasana apa pun.
                Motif mata kerara atau buah sukun. Motif asli dari Ende yang menceritakan tentang pohon sukun. Pohon yang penuh dengan inspirasi dan juga sebagai tempat berteduh masyarakat saat kelelahan. Sekarang tumbuhan ini sudah dikenal dengan nama pohon Pancasila, karena Proklamator RI Bung Karno terilhami daun pohon sukun yang berjari lima saat merumuskan Dasar Negara Pancasila ketika masa pengasingan di Ende pada 1934-1938.
                Ada juga beberapa jenis motif yang dinamakan dari nama tokoh-tokoh sejarah misalnya motifpea, motif soke, motif lawo mangga. Jenis motif ini diambil dari nama orang, tidak diketahui secara pasti siapa orangnya. “Saya tidak tahu diambil dari nama siapa. Ini motif nama orang,”kata Jailani Aksa

CARA MENENUN
                Masyarakat Ndona biasa menenun beberapa aneka motif ini dengan cara tradisional. Peralatan yang digunakan adalah warisan dari leluhur dengan struktur alat yang sangat kuat dan tahan lama. Pewarna yang digunakan berbahan alam seperti mengkudu, daun tarum, dan beberapa jenis daun lain termasuk jenis akar-akaran. Pengolahan pewarna membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan motif tenun yang berkualitas. Selain itu, cuaca juga menentukan kualitas pewarnaan tenun. Para penenun biasa membutuhkan panas matahari untuk mengeringkan benang-benang yang sudah dicelup.
Tahap-tahap menenun sebagai berikut :
                Pertama, tahap pete atau ikat. Tahap ini, untuk menentukan jenis motif yang akan ditenun. Benang diikat dengan tali gebang (sejenis lontar) sesuai dengan jenis motif untuk mendapatkan warna putih. Masing-masing diikat sebanyak tujuh untai benang. Pada tahap ini, penenun harus lebih fokus pada jenis motif yang akan ditenun. Waktu yang dibutuhkan juga lama.
                Kedua,tahap pencelupan. Sebelum mencelup benang untuk mendapatkan warna dasar (biru), harus menyiapkan dan mengolah terlebih dahulu bahan-bahan pewarna. Bahan dasar yang digunakan adalah daun tarum untuk mendapatkan warna dasar biru. Daun tarum direndam selama dua malam lalu memisahkan ampasnya. Airnya dicampurkan dengan kapur siri dan diaduk-aduk lalu benang dicelup dan direndam selama 3 hari.
                Ketiga, tahap perminyakan. Setelah celup pertama selesai, maka dilanjutkan dengan perminyakan. Caranya, isi kemiri ditumbuk halus, dikukus lalu diperas hingga menghasilkan minyak seperti minyak kelapa atau minyak ‘bimoli’. Setelah itu, benang dicelup.

                Keempat, pewarna perminyakan. Untuk melakukan pencelupan warna merah, terlebih dahulu dilakukan pewarna perminyakkan. Tiris air abu dapur (dua gayung) dicampur satu gelas minyak kemiri lalu dimasukan dengan obat-obat lainnya seperti, daun pacar, daun akar kuning, siri pinang, lombok dan garam. Setelah itu dicelup dan direndam selama kurang lebih satu minggu. Setelah itu dijemur. Tahap ini sangat membutuhkan panas matahari untuk jemur dan jika cuaca baik dalam waktu sembilan hari benang sudah kering.
             
Untuk membentuk motif, benang yang akan ditenun diikat dengan daun gebang sesuai motif yang dikehendaki. (Foto: FBC/Ian Bala)
                Kelima, celup warna merah. Untuk mendapatkan warna merah digunakan akar mengkudu. Dipisahkan kulit akarnya lalu ditumbuk lalu diperas. Ditapis kembali, lalu ampasnya ditumbuk ulang lalu diperas. Proses ini dilakukan selama tujuh kali, lalu airnya direndam hingga menjadi pasta. Rendam selama satu malam dan dilakukan di periuk tanah dan ditutup rapat. Setelah itu, diangkat dan dijemur hingga benar-benar kering.
                Keenam,tahap menenun. Setelah semua proses itu dilakukan, benang tadi siap ditenun untuk menghasilkan jenis kain yang sempurna. Aneka motif yang digunakan dengan pewarna alam menghasilkan jenis motif dengan kekhasan aslinya dibandingkan dengan menggunakan pewarna kimia. Selain itu, motif lebih tahan lama dan warnanya tidak mudah luntur atau berubah.

Pemasaran
                Pemasaran tenun ikat Lio ini bisa dilakukan di beberapa toko aneka cindera mata khas Ende ataupun di rumah warga masing-masing. Ada juga pemasaran dilakukan melalui kelompok-kelompok tenun. Harganya bervariasi sesuai dengan jenis motif dan ukurannya. Ukuran kecil dengan harga Rp 1 juta-Rp 2 juta. Motif berukuran besar standar harganya Rp 2 juta ke atas.

Jenis motif bersimbol tentang kehidupan manusia pada zaman dahulu lebih mahal dibandingkan dengan jenis motif nama orang. Misalnya, motif nggaja, motif mata kerara dan motif rajo. Sebenarnya bukan harga yang lebih besar, tetapi pemaknaan nilai-nilai motif itu menjadi ukuran warga setempat.
               




No comments: