Di balik ragam jenis motif tenun ikat
Lio terdapat mitos tentang kehidupan nenek moyang suku Lio.
Falsafah awal mula kehidupan manusia serta karakteristik kedaerahan dituangkan
dalam ragam motif. Bagaimana mitos di balik motif-motif tenun ikat
Lio?
Di daratan Flores, setiap sub etnis memiliki ekspresi kultural yang berbeda
meski agak mirip satu dengan lainnya. Begitu juga dengan motif kain tenun ikat
yang menjadi salah satu ‘ikon’ budaya masyarakat Flores. Tenun ikat seolah
lekat dengan politik tubuh masyarakat Flores.
Di antara ragam tenun ikat itu, tenun Lio menjadi salah satu yang menarik untuk
diperhatikan. Ekspresi kehidupan nenek moyang di zaman dahulu tergambar dalam
motif kain tenun Lio. Seorang tokoh budaya Ndona, Jailani Aksa, yang mengetahui
betul berbagai makna motif Lio menceritakan bahwa motif tenun ikat
Lio sebenarnya menceritakan segala bentuk kehidupan masyarakat
pada zaman dulu.
Diturunkan melalui cerita lisan secara turun-temurun, berbagai jenis motif Lio
adalah terjemahan latar belakang kehidupan sosial dari waktu ke waktu hingga
saat ini. Masyarakat Ndona memaknai itu sebagai bukti warisan tradisi kehidupan
leluhur.Motif sinde mengambarkan seekor ular kobra. Konon, etnis Lio berasal dari India yang lekat dengan ular kobra. (Foto: FBC/Ian Bala) |
Beragam motif tenun ikat memiliki makna dan kekhasan masing-masing. Seperti
jenis motifnggaja dan rajo. Dua jenis motif ini menceritakan leluhur
dari India dan Malaka. Motif nggajaberbentuk hewan gajah itu
mendeskripsikan tentang kehidupan para dewa India Malaka yang datang ke Ende.
Entah ada atau tidaknya hewan gajah di Ende, tetapi pada umumnya para pemeluk
agama Hindu yang sebagian dianut bangsa India menjadikan gajah sebagai
simbolisasi Dewa Ganesha, dewa pelindung ilmu pengetahuan.
Menurut Jailani Aksa, motif nggaja ini juga adalah kendaraan para
dewa untuk bepergian. Motif ini sama dengan jenis motif jara atau
kuda. Para dewa sering menggunakan dua jenis hewan ini sebagai pengganti
kendaraan untuk memudahkan perjalanan dari rumah ke rumah atau dari daerah satu
ke daerah yang lain.
UNTUK MELAYAT
Motif nggaja biasa dipakai untuk melayat kematian dan untuk memenuhi
undangan perkawinan. Saat melayat kain harus dipakai terbalik. Kepala gajah
harus menghadap ke bawah. Mengapa? Sampai saat ini masyarakat Ndona mengakui
gajah merupakan kendaraan atau alat transportasi. Roh jahat akan ikut menebeng
dan sangat gampang merasuk saat suasana berkabung. Begitu pula dengan jenis
motif jara atau kuda.
Bagi pengantin, jenis motif nggaja juga tidak
diperkenankan untuk dikenakan. Masyarakat setempat mempercayai jika dikenakan
maka roh jahat akan mengikuti pengantin selama hidupnya. Motif ini hanya
dikenakan oleh para undangan atau orang lain selain pengantin. Meski demikian,
tenun motif nggaja ini dapat dipakai dalam keseharian.
Motif nggaja atau gajah yang lekat dengan dewa dalam agama Hindu yang dianut leluhur etnis Lio yang berasal dari India. (Foto: FBC/Ian Bala) |
Sementara motif rajo, menceritakan tentang sebuah kapal “Rajo” milik
leluhur dari India Malaka. Mereka (leluhur) dari India Malaka menuju Ende
menggunakan kapal “Rajo”. Dulu kapal Rajo ini terdampar di Ndungga yang
sekarang sudah dijadikan “Watu Rajo” atau batu Rajo. Batu itu berbentuk seperti
kapa dan sekarang masyarakat sulit untuk melihatnya.
Rajo adalah perahu dan didalam Rajo terdapat wea atau
emas dan riti atau anting emas yang biasa dikenakan oleh ibu-ibu
etnis Lio. Sementara wea dikenakan oleh lelaki tua (mosalaki)yang
digantungkan pada leher. Di dalam motif rajo terdapat lukisan wea atau
emas dan riti atau anting. Motif ini dikenakan dalam waktu kapan
saja, karena kain ini jenis motif hias.
Kaitan dengan kapal Rajo, dahulu masyarakat India
Malaka membawanya dengan seekor ular kobra ke Ende dan beberapa perhiasan
lainnya. Ular itu kemudian dijadikan selendang dengan jenis motif sinde dan
jenis motif semba. Motif sinde mengambarkan seekor ular kobra
dan motifsemba itu untuk merangkul dimana telah dituangkan dalam
tarian gawi, semua orang bergandengan tangan membentuk lingkaran untuk
menari.
Cara memakai sinde khusus laik-laki, seluruh badan ditutup
dengan sinde dan semba. Dulu para mosalaki pada saat
upacara adat tidak mengenakan baju, mereka hanya mengenakan sinde dan semba untuk
menutupi seluruh tubuhnya.para lelaki suku ende lio yang hanya mengenakan sinde dan semba untuk menutupi seluruh tubuh. |
Masih banyak aneka motif Lio yang melukiskan tentang kehidupan masa lampau.
Misalnya motif mboko wea atau buah emas, yang menggambarkan tentang
suasana saat meminang seorang gadis. Dahulu leluhur sering meminang anak gadis
dengan biji emas. Tradisi itu kemudian dituangkan dalam motif mboko wea. Saat
ini tradisi itu sudah punah, masyarakat hanya mengenakan kain motif pada acara
antar belis (emas kawin) saat pernikahan.
Sementara motif rote rego dan motif rote koba, menceritakan
tentang tumbuh-tumbuhan di mana sebagai ladang kehidupan masyarakat. Nenek
moyang kemudian melukiskan ini ke dalam motif kain. Motif ini bisa dipakai
dalam suasana apa pun.
Motif mata kerara atau buah sukun. Motif asli dari Ende yang
menceritakan tentang pohon sukun. Pohon yang penuh dengan inspirasi dan juga
sebagai tempat berteduh masyarakat saat kelelahan. Sekarang tumbuhan ini sudah
dikenal dengan nama pohon Pancasila, karena Proklamator RI Bung Karno terilhami
daun pohon sukun yang berjari lima saat merumuskan Dasar Negara Pancasila
ketika masa pengasingan di Ende pada 1934-1938.
Ada juga beberapa jenis motif yang dinamakan dari nama tokoh-tokoh sejarah
misalnya motifpea, motif soke, motif lawo mangga. Jenis motif
ini diambil dari nama orang, tidak diketahui secara pasti siapa orangnya. “Saya
tidak tahu diambil dari nama siapa. Ini motif nama orang,”kata Jailani Aksa
CARA MENENUN
Masyarakat Ndona biasa menenun beberapa aneka motif ini dengan cara
tradisional. Peralatan yang digunakan adalah warisan dari leluhur dengan
struktur alat yang sangat kuat dan tahan lama. Pewarna yang digunakan berbahan
alam seperti mengkudu, daun tarum, dan beberapa jenis daun lain termasuk jenis
akar-akaran. Pengolahan pewarna membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga
menghasilkan motif tenun yang berkualitas. Selain itu, cuaca juga menentukan
kualitas pewarnaan tenun. Para penenun biasa membutuhkan panas matahari untuk
mengeringkan benang-benang yang sudah dicelup.
Tahap-tahap menenun sebagai berikut :
Pertama, tahap pete atau ikat. Tahap ini, untuk menentukan jenis
motif yang akan ditenun. Benang diikat dengan tali gebang (sejenis
lontar) sesuai dengan jenis motif untuk mendapatkan warna putih. Masing-masing
diikat sebanyak tujuh untai benang. Pada tahap ini, penenun harus lebih fokus
pada jenis motif yang akan ditenun. Waktu yang dibutuhkan juga lama.
Kedua,tahap pencelupan. Sebelum mencelup benang untuk mendapatkan warna dasar
(biru), harus menyiapkan dan mengolah terlebih dahulu bahan-bahan pewarna.
Bahan dasar yang digunakan adalah daun tarum untuk mendapatkan warna dasar
biru. Daun tarum direndam selama dua malam lalu memisahkan ampasnya. Airnya
dicampurkan dengan kapur siri dan diaduk-aduk lalu benang dicelup dan direndam
selama 3 hari.
Ketiga, tahap perminyakan. Setelah celup pertama selesai, maka dilanjutkan
dengan perminyakan. Caranya, isi kemiri ditumbuk halus, dikukus lalu diperas
hingga menghasilkan minyak seperti minyak kelapa atau minyak ‘bimoli’. Setelah
itu, benang dicelup.
Keempat, pewarna perminyakan. Untuk melakukan pencelupan warna merah,
terlebih dahulu dilakukan pewarna perminyakkan. Tiris air abu dapur (dua
gayung) dicampur satu gelas minyak kemiri lalu dimasukan dengan obat-obat
lainnya seperti, daun pacar, daun akar kuning, siri pinang, lombok dan garam.
Setelah itu dicelup dan direndam selama kurang lebih satu minggu. Setelah itu
dijemur. Tahap ini sangat membutuhkan panas matahari untuk jemur dan jika cuaca
baik dalam waktu sembilan hari benang sudah kering.
Untuk membentuk motif, benang yang akan ditenun diikat dengan daun gebang sesuai motif yang dikehendaki. (Foto: FBC/Ian Bala) |
Kelima, celup warna merah. Untuk mendapatkan warna merah digunakan akar
mengkudu. Dipisahkan kulit akarnya lalu ditumbuk lalu diperas. Ditapis kembali,
lalu ampasnya ditumbuk ulang lalu diperas. Proses ini dilakukan selama tujuh
kali, lalu airnya direndam hingga menjadi pasta. Rendam selama satu malam dan
dilakukan di periuk tanah dan ditutup rapat. Setelah itu, diangkat dan dijemur
hingga benar-benar kering.
Keenam,tahap menenun. Setelah semua proses itu dilakukan, benang tadi siap
ditenun untuk menghasilkan jenis kain yang sempurna. Aneka motif yang digunakan
dengan pewarna alam menghasilkan jenis motif dengan kekhasan aslinya
dibandingkan dengan menggunakan pewarna kimia. Selain itu, motif lebih tahan
lama dan warnanya tidak mudah luntur atau berubah.
Pemasaran
Pemasaran tenun ikat
Lio ini bisa dilakukan di beberapa toko aneka cindera mata khas
Ende ataupun di rumah warga masing-masing. Ada juga pemasaran dilakukan melalui
kelompok-kelompok tenun. Harganya bervariasi sesuai dengan jenis motif dan
ukurannya. Ukuran kecil dengan harga Rp 1 juta-Rp 2 juta. Motif berukuran besar
standar harganya Rp 2 juta ke atas.
Jenis motif bersimbol tentang kehidupan manusia pada zaman
dahulu lebih mahal dibandingkan dengan jenis motif nama orang. Misalnya,
motif nggaja, motif mata kerara dan motif rajo. Sebenarnya
bukan harga yang lebih besar, tetapi pemaknaan nilai-nilai motif itu menjadi
ukuran warga setempat.
No comments:
Post a Comment