Thursday, March 26, 2015

Raja Haji Hasan Aroeboesman, Raja terakhir Ende (1947-1974); meninggal 1990.

Raja Haji Hasan Aroeboesman, Raja terakhir Ende  (1947-1974); meninggal 1990.
(duduk di kursi bagian tengah)


Ende adalah tempat dari sebuah kerajaan. Penduduk daerah ini disebut sebagai orang Lio-Ende. Selama beberapa dekade, Ende menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan aktivitas politik.
Negara Kertagama (1350): Sumber ini menceritakan perebutan wilayah oleh Majapahit dikawasan Timur Nusantara untuk mengalahkan Domp. Sumber ini tidak menyebut nama Ende. Tetapi satu sumber lain historis of Java Majapahit ( Vol II edisi 4 London 1817, hal. 121) Pemberitaan itu dikutip Rafles dari manuskrip Natakoesoema mengenai kawasan Timur Nusantara : Sumenep, Bali. Di tulis dalam manuskrip itu bahwa Ende adalah jajahan Majapahit direbut oleh Andya Ninggrat atau Ratu Pengging. Route pelayaran 1357, melalui Larantuka, Solor menuju Laut Sawu mengunjugi pulau-pulau; Timor, Ende atau Flores, Sumba, Bima mungkin juga Sabu (dimana terdapat kerajaan Majupai).

            Pemberontakan melawan yang dipimpin oleh Nipa Do dikenal sebagai Watu Api dan Mari Longa (1916-1917). Pada 1934, pemimpin nasional, Soekarno, yang nantinya menjadi presiden pertama Indonesia diasingkan ke Ende oleh pemerintah kolonial Belanda.Nama bandara di Kota Ende adalah nama seorang raja beragama Islam yang pernah menjadi bupati pertamanya, yakni Haji Hasan Aroeboesman. Istana kerajaan Ende ini sekarang menjadi rumah yang dihuni oleh keturunan raja. Pagar kawasan rumah ini kelihatan berbeda dari rumah-rumah di sekitarnya, karena memang telah dibangun khusus oleh Pemerintah Daerah. Saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang cucu Haji Hasan Aroeboesman. Namanya Firdaus, seorang pegawai Pemda Kabupaten Ende. Keberadaan Masjid di sebelah Barat ”istana” Kerajaan Ende ini merupakan masjid tertua di Kota Ende yang dibangun pada abad ke-16. Beberapa masjid banyak terdapat di Kota Ende. Konon, tanah untuk gereja yang besar di Kota Ende juga atas jasa baik Raja Haji Hasan Aroeboesman.

             

Thursday, March 19, 2015

CERITA RAKYAT ENDE LIO #3 (TERBENTUKNYA DANAU KELIMUTU)


            Pada jaman dahulu kala, di puncak gunung Kelimutu yang disebut Bhua Ria (hutan lebat yang selalu berawan), bermukim Konde Ratu bersama rakyatnya. Di kalangan rakyat kala itu, terdapat dua tokoh yang sangat disegani, yaitu Ata Polo si tukang sihir jahat dan kejam yang suka memangsa manusia, dan Ata Bupu yang dihormati karena sifatnya yang berbelas kasih serta memiliki penangkal sihir Ata Polo. Walaupun memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan disegani masyarakat, keduanya berteman baik serta tunduk dan hormat kepada Konde Ratu. Ata Bupu dikenal sebagai petani yang memiliki ladang kecil di pinggir Bhua Ria, sedangkan Ata Polo lebih suka berburu mangsa berupa manusia di seluruh jagat raya.
Pada masa itu, kehidupan di Bhua Ria berlangsung tenang dan tenteram, sampai kedatangan sepasang Ana Kalo (anak yatim piatu) yang meminta perlindungan Ata Bupu karena ditinggal kedua orang tuanya ke alam baka. Karena sifatnya yang berbelas kasih, permintaan kedua anak yatim piatu tersebut dikabulkan oleh Ata Bupu namun dengan satu syarat, yaitu mereka harus menuruti nasehatnya untuk tidak meninggalkan areal ladangnya agar tidak dijumpai dan dimangsa oleh Ata Polo.
            Pada suatu hari, Ata Polo datang menjenguk Ata Bupu di ladangnya. Setibanya di ladang Ata Bupu, Ata Polo mencium bau menusuk (bau mangsa) dalam pondok Ata Bupu. Segera meleleh air liur Ata Polo yang kemudian hendak mencari mangsanya di dalam pondok tersebut. Niat jahat Ata Polo tersebut diketahui oleh Ata Bupu yang segera menahan langkah Ata Polo sambil menyarankan kepadanya untuk datang kembali kelak setelah anak-anak tersebut sudah dewasa, karena saat ini mereka masih anak-anak, lagi pula dagingnya tentu tidak sedap untuk disantap. Saran ini diterima oleh Ata Polo, yang kemudian pergi meninggalkan Ata Bupu yang sedang kebingungan memikirkan cara terbaik menyelamatkan dua anak manusia tadi.
            Ancaman Ata Polo tadi begitu menakutkan bagi kedua anak manusia tersebut, sehingga ketika mereka mulai beranjak remaja atau menjadi Ko’ofai (gadis muda) dan Nuwa Muri (pemuda), mereka memohon izin pada Ata Bupu untuk mencari tempat persembunyian di gua-gua yang ada di luar ladang Ata Bupu. Mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah gua yang terlindung tumbuhan rotan dan akar beringin.
            Ketika tiba saatnya, sesuai waktu yang telah disepakati, Ata Polo mendatangi pondok Ata Bupu untuk menagih janji. Namun karena ketika tiba di pondok Ata Bupu, dilihatnya kedua anak tersebut tidak berada di tempat, maka Ata Polo pun marah dan menyerang Ata Bupu dengan ganasnya. Menanggapi serangan Ata Polo yang tidak main-main, Ata Bupu segera membalas serangan itu dengan ilmu andalannya “magi puti” untuk menangkal “magi hitam” Ata Polo. Pada awalnya perkelahian keduanya berjalan seimbang karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi dan setingkat. Namun, lama kelamaan tenaga Ata Bupu yang sudah tua kian melemah, sementara gempuran semburan api Ata Polo semakin gencar dan menjadi-jadi. Ata Bupu hanya bisa mengelak dengan gempa bumi. Akibatnya timbul gempa bumi dan kebakaran besar hingga kaki gunung Kelimutu. Ketika merasa tak mampu lagi menandingi kekuatan Ata Polo, Ata Bupu memutuskan untuk raib ke perut bumi. Akibatnya Ata Polo menjadi semakin murka dan menggila.
            Ketika mencim bau dua remaja yang tengah bersembunyi di dalam gua, Ata Polo pun bertambah beringas. Namun takdir akhirnya menentukan bahwa Ata Polo harus tewas di telan bumi karena sepak terjangnya yang kelewatan. Kedua remaja yang tengah bersembunyi juga turut menjadi korban. Gua tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri runtuh akibat gempa dan menguburkan keduanya hidup-hidup.
            Beberapa saat setelah kejadian itu, ditempat Ata Bupu raib ke perut bumi, timbul danau berwarna biru. Di tempat Ata Polo tewas ditelan bumi terbentuk danau yang warna airnya merah darah yang selalu bergolak. Sedangkan di tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri, terbentuk sebuah danau dengan warna air hijau tenang.
            Ketiga danau berwarna tersebut, masing-masing oleh masyarakat setempat diberi nama sesuai dengan sejarah terbentuknya tadi, yaitu Tiwu Ata Polo (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya arwah-arwah para tukan tenung atau orang jahat yang meninggal), Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya arwah muda mudi yang meninggal), dan Tiwu Ata Mbupu (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya arwah-arwah para tetua yang sudah meninggal).

            Hingga kini, penduduk sekitar gunung Kelimutu percaya bahwa mereka dapat melakukan kontak dengan arwah orang tua atau leluhur mereka dengan memanggil nama orang tua atau leluhurnya sebanyak tiga kali di depan Tiwu Ata Mbupu. Menurut kepercayaan, setelah pemanggilan dilakukan, biasanya arwah orang tuanya atau leluhur akan datang dan memberikan petunjuk melalui mimpi. Kontak dengan orang tua/leluhur tersebut biasa dilakukan untuk mendapatkan petunjuk apabila terjadi musibah, seperti kehilangan barang atau ternak.
Demikian sekilas kisah sejarah terbentuknya danau Kelimutu yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. 




Thursday, March 12, 2015

CERITA RAKYAT ENDE-LIO #2 (ASAL MULA PADI " BOBI-NOMBI")

INE MBU ( IBU PADI )


            Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis kesana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri.
            Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung.
            Pengkajian atas fenomena ritual perladangan dalam komunitas Etnik Lio-Ende tidak dapat dipisahkan dari mitos tentang keberadaan padi ladang sebagai tanaman utama masyarakat setempat. Mitologi padi tergolong cerita tua dan sastra suci yang menjadi kebanggaan masyarakat Lio-Ende. Kendati tidak banyak lagi yang mampu mengisahkannya kembali secara literer, karena tidak ditulis dan direkam, mitologi padi menjadi objek kajian yang menarik. Dikatakan demikian karena budaya padi ladang dalam masyarakat setempat, seperti kerap disinggung sebelumnya, berbeda dengan budaya padi sawah. Budaya dan teknik padi sawah hadir di daerah Lio setelah diperkenalkan oleh Raja Pius Rasi Wangge pada tahun 1920-an (lihat Sunaryo et. al. 2006).
            Ada perbedaan sikap dan perilaku dalam menanam, memelihara, dan menuai padi sawah dibandingkan dengan budidaya padi ladang. Budidaya padi sawah, selain memang menggunakan sumber daya air, memanfaatkan varietas padi sawah yang didatangkan dari luar misalnya pare sego 'padi saigon', penanaman, pemeliharaan, dan pemanenannya tanpa ritual tertentu kendati sebagian warga petani pesawah ada juga melakukannya. Sejumlah ritual atau upacara dalam kehidupan perladangan dan kehidupan manusia pun hanya beras yang berasal dari padi ladang saja yang diperkenankan untuk disajikan dan dijadikan sarana ritual.

            Dengan kata lain, nasi dari beras luar dianggap tidak sah. Mitologi Padi Ladang Lio-Ende Salah satu karya sastra suci dalam khazanah sastra Lio, khususnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam jiwa dan semangat peladang Lio-Ende adalah mitos Ine Pare "Dewi Padi" yang berjudul Bobi no'o Nombi, "Bobi dan Nombi". Bagi komunitas peladang Lio-Ende, pelbagai ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional bersandar dan bersumber pada kandungan makna pesan, amanat suci, dan ideologi di balik cerita suci Ine Pare. Betapa dalamnya makna ideologi yang terkandung di balik mitos itu pula, nama sang "penjelma" dan "tumbal" padi asli itu kemudian diabadikan menjadi nama gedung pertemuan Ine Pare di Jalan El Tari Ende. Kesadaran akan kekayaan nilai dan kepatuhan melaksanakan amanat ideologi yang terkandung di balik mitos itu harus diakui masih dimiliki oleh sejumlah kecil generasi peladang tua, sedangkan generasi muda Lio-Ende dewasa ini sudah kurang menyadarinya lagi.

Thursday, March 5, 2015

MENGENANG GEMPA 12-12-1992 (ENDE)

Tugu Gempa Ende KM 0 - Flores - NTT

Entahlah ada yang sudah lupa atau masih mengingatnya tentang apa yang terjadi 19 tahun yang lalu. Persis hari itu adalah Sabtu, 12 Desember 1992, pukul 13.00 WIT terjadi sebuah gempa tektonik yang meluluhlantakan Flores. Goncangan berkekuatan 7,5 skala Richter ini mengakibatkan lumpuhnya denyut nadi Flores. Pusat gempa berlokasi di Laut Flores dengan kedalaman 15 km di bawah permukaan laut, dan 50 km sebelah Barat Laut kota Maumere, kabupaten Sikka.
            Badan Geometerologi dan Fisika mencatat, antara tanggal 12 sampai 22 Desember 1992 terjadi 239 kali gempa susulan dengan kekuatan 3,0 hingga 6,0 skala Richter. Goncangan susulan ini hanya berlangsung beberapa menit saja. Gesekan bumi ini lalu menyisakan duka dan tangis. Nyawa manusia terkapar 1.951 jiwa. Sekitar 2.126 jiwa mengalami luka parah, patah tulang, luka pada kepala dan dada. Ada 25.000 bangunan rumah, 600 bangunan sekolah dan 135 prasarana umum termasuk fasilitas kesehatan dan tempat ibadat ter-rata-tanah-kan. Ia menyebabkan arus gelombang naik (tsunami) setinggi empat meter di Pulau Babi dan tiga meter di Perkampungan Wuring - Maumere, Kabupaten Sikka.
Mitos Gempa Bumi menurut Orang Ende - Lio
            Waktu saya kecil, orangtua pernah menceriterakan sebuah dongeng. Alkisah, suatu ketika seekor kumbang besar (banga) yang baru saja kembali dari perjalanan menelusuri lorong - lorong di setiap pelosok bumi, menyampaikan kabar kepada sang empunya bumi. Ia berkata, selama ia menjelajahi bumi ia tak pernah bertemu atau berjumpa dengan manusia. Mendengar kabar itu, sang pemilik bumi merasa kesal dan marah - marah. Dengan lantang kumbang besar mengatakan bahwa satu orang pun manusia sudah tidak ada lagi. Sontak dengan berang, pemilik bumi menggoncang bumi beberapa kali.
            Merasakan adanya goncangan hebat itu, manusia pun berhamburan keluar rumah. Mereka berteriak, “epu weo, epu weo, kami zatu…kami zatu, banga sodho tipu, banga tipu” (artinya: gempa bumi, gempa bumi, kami ada…kami ada, kumbang besar tipu, dia tipu).
            Pada prinsipnya sebuah mitos hanyalah sebuah simbol yang dipakai manusia untuk mengungkapkan wawasannya mengenai diri sendiri dan alam sekitarnya. Mitos adalah buah ketakutan - ketakutan dan harapan - harapan, sesuatu yang sangat dirindukan dalam hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Mitos merupakan bukti ketidakmampuan analisis logis manusia dalam mengungkapkan kehidupan dan kematiannya. Mitos adalah fakta yang terungkap namun masih sangat samar. Namun dibalik cerita mitos tersimpan pesan moral dan etika yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya.
            Mitos gempa bumi pun demikian. Sekiranya, ada tiga makna yang bisa dipetik dari cerita di atas.Yang pertama, pemakaian simbol binatang (kumbang besar) mengungkapkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya harus harmonis. Keharmonisan hanya bisa dibentuk dengan saling memberi dan menerima. Keberadaan kumbang besar (banga) oleh masyarakat Ende sungguh dianggap penting. Sebab kumbang besar berperan mengolah kotoran manusia menjadi tanah. Tanah yang dihasilkan pun sangat subur. Dengan demikian sangat bermanfaat bagi pertanian. Orang Ende percaya bahwa apabila kumbang besar tidak mendapat suplai kotoran manusia yang cukup, maka ia akan marah. Artinya, hubungan simbiosis - mutualistis manusia dengan binatang (alam) harus dijaga.
            Yang kedua, sebelum munculnya ilmu pengetahuan, manusia punya cara tersendiri untuk menjawab fenomena alam. Gempa bumi sudah muncul sejak manusia ada. Mitos gempa bumi di atas adalah cara manusia mengatasi rasa takut, derita dan kesedihannya akibat gempa. Selain itu manusia memanjatkan doa bahwa dibalik peristiwa gempa yang meluluhlantakkan itu, ada harapan hidup yang lebih baik. Teriakan “kami zatu” (artinya : kami ada) sebenarnya mengungkapkan eksistensi manusia sebagai makluk yang ada. Ia tidak akan mati. Ia senantiasa ada. Derita dan kesedihan sebenarnya tidak ada dalam hidup manusia. Ia hanya salah tahap dalam proses mencari kebahagiaan. Derita dan nestapa tidak kekal. Yang kekal hanyalah kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.
            Yang ketiga, pesan moral yang terkandung dalam mitos gempa bumi di atas adalah kerjasama yang baik antara manusia dengan sesamanya. Tidak ada sikap saling curiga dan saling menjatuhkan. Ungkapan “Banga sodho tipu…banga tipu” adalah sikap saling menjatuhkan di antara manusia.
“Kami Zatu” (Kami ada)
            Seorang pakar psikologi, Abraham Maslow (1908 - 1970) pernah menulis bahwa seseorang yang tidak aman, memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas secara berlebihan, serta berusaha keras menghindari hal - hal yang bersifat asing dan yang tidak diharapkan hadir, yang dipandang dapat mengganggu kemapanannya - baik berupa ancaman fisik maupun mental. Setelah kebutuhan dasar (physiological needs) terpenuhi manusia mencari - cari kebutuhan level kedua yakni kebutuhan akan rasa aman dan tentram (safety needs). Pada tahap kebutuhan ini manusia berusaha mencari perlindungan, tempat yang aman agar ia mampu bertahan. Ancaman - ancaman eksternal yang sewaktu - waktu dapat saja membahayakan dirinya. Sebab itu, manusia membangun privacy dan membenteng diri terhadap bencana, termasuk bencana alam.
            Sekiranya teriakan “kami zatu” (Ende: kami ada) ketika gempa bumi terjadi merupakan usaha manusia untuk membentengi diri. “Kami ada” adalah cara manusia melindungi diri dari kegeraman alam. Dengan demikian, berbagai cara telah dilakukan sebagai aplikatif teriakan “kami zatu” (Ende:kami ada). Ketika manusia berteriak “kami zatu” (Ende: kami ada), sebenarnya ia telah mendorong perubahan sosial. Sebab reaksi perubahan bermasa depan bisa muncul dari sistem sosial yang darurat. Penanggulangan massal adalah upaya awal yang harus digalangkan. Atas dasar rasa keprihatinan bersama terbentuklah kelompok - kelompok informal para korban. Perasaan senasiblah yang menggerakkan manusia untuk sadar akan makna kolektivitasnya sebagai makluk sosial. Dalam hal ini, gempa yang meluluhlantakan tanah Flores 19 tahun yang lalu telah menyemaikan benih solidaritas dan kesetiakawanan.
Membangun kembali sebagai tabungan hidup
            Akibat terjadinya gempa tektonik, denyut kehidupan pulau bunga seakan layu bak tanaman di musim panas. Kehidupan ekonomi warga merosot dan berada pada titik yang memprihatinkan. Tingkat harga umum meningkat, inflasi lokal meningkat. Dampaknya daya konsumsi masyarakat turun secara drastis. Bersamaan dengan itu hasrat menabung (propensity to save) meredup. Hal ini menyebabkan terbatasnya dana yang tersedia untuk investasi. Di sisi lain, pengangguran semakin meluas. Banyak orang kehilangan pendapatan. Timbul perasaan sebagai “orang tak berguna” yang menyebabkan depresi dan tekanan emosional.
            Dalam pandangan ekonom, beberapa hari setelah gempa, Frans Seda pernah berujar, “mereka memang tidak punya apa - apa lagi sebagai tabungan hidup. Kecuali satu, yakni mereka mempunyai semangat untuk membangun kembali”. Kesadaran akan membangun kembali seperti inilah yang menginspirasi terbentuknya sejumlah kelompok informal masyarakat. Sebut saja, misalnya, koperasi kredit SERVIAM di Ende. Kopdit ini dibentuk dari rasa keprihatinan terhadap masalah ekonomi pasca gempa 1992. Kini kopdit Serviam sudah memiliki lebih dari 2000 anggota. Bukan jumlah anggota yang diperhitungkan dalam gerakan ini tetapi kualitas pengembangannya yang menjangkau kebutuhan masyarakat, mulai dari usaha simpan pinjam, pendidikan, pengembangan usaha mikro, usaha kecil dan menengah serta kelompok kategorial menulis.
            Sampai pada titik ini, benar kata filsuf Martin Buber, manusia sadar bahwa hidupnya ditentukan oleh keadaan sekitar yang tak terelakan. Ia timbul dalam waktu dan lenyap. Keterbatasan ini menimbulkan rasa ketergantungan manusia dengan sesuatu yang lain. Pada saat itu pula alam hadir sebagai tanda rahasia yang tak terselami. Alam membawa pesan tersirat tentang Allah Yang Maha Kuasa. Alam menghadirkan pesan eskatologis. Fenomena alam membawa harapan akan sebuah kebangkitan kembali. Gempa bumi menyadarkan orang dari ketamakan dan korupsi. Pada saat itu kita tahu bahwa dengan caranya sendiri Tuhan menghukum kita.
            Akhirnya, sekarang dan di sini, apakah kita harus menunggu gempa tektonik 12 Desember 1992 terulang kembali baru kita bangkit menata kehidupan ekonomi?, bangkit menuju kebijakan politik yang berpihak pada rakyat?, bangkit dan segera menjauhi praktek korupsi? Atau kita masih tertidur lelap sambil menunggu dikucurkannya dana dari pusat?
            Sekiranya,”bumi Flores tak akan menangis ketika kita terantuk dan jatuh, namun ia akan meneteskan airmata ketika kita tak mau bangun lagi”. Maka marilah kita berteriak “kami zatu/latu”(Ende - Lio), “ami noran”(Sikka), “ami manga”(Manggarai) untuk membangun Nusa Bunga tercinta.


sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/11/mengenang-12-12-1992-sebuah-refleksi-pribadi-417859.html

Wednesday, March 4, 2015

Benteng Portugis Pulau Ende ( Fortoleza De Ende Minor)





Oleh Sipri Seko


            PRESIDEN pertama RI, Soekarno, punya pengalaman sendiri tentang Pulau Ende.  Dia pernah menulis sebuah drama yang kemudian dipentaskan bersama klub Toneel Kelimutu, semasa ia dibuang di Ende oleh Pemerintahan Kolonialisme Belanda.
            Dari banyak literature tentang Soekarno, diketahui bahwa drama itu diberi Rendo Rate Rua. Mengapa harus Rendo Rate Rua? Rendo Rate Rua punya sejarah penting yang berhubungan dengan keberadaan bangsa Portugis di Pulau Ende. Ada banyak versi yang menceritakan tentang tahun keberadaan Portugis di Pulau Ende. Namun yang paling banyak disebut adalah tahun 1561.
            Saat itu entah dalam perjalan penjajahan atau bisnis, bangsa Portugis singgah di Pulau Ende. Masyarakat Nampak sinis dengan keberadaan mereka, mengingat Belanda yang sedang menjajah sudah sudah menaburkan benih dengan mereka. Bule adalah lawan bagi masyarakat asli Pulau Ende. Hal itulah yang kemudian orang-orang  Portugis yang dipimpin Louis Fernando membangun sebuah benteng di Pulau tersebut atau tepatnya di Dusun Paderape, Desa Rendo Rate Rua.
            Rendo Rate Rua sendiri, oleh berbagai cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat seperti diceritakan beberapa penduduk asli ketika ditemui, Senin (12/9/2011), adalah anak kandung dari Louis Fernando.  Anak gadis itu meninggal dalam sebuah pertikaian dengan penduduk asli setempat. Untuk mengenangnya, daerah tersebut kemudian diberi nama Rendaretarua hingga sekarang sudah menjadi sebuah desa.
            Untuk mencapai Pulau Ende, terlebih dahulu kita harus berlayar dengan kapal motor kayu milik masyarakat dari Kota Endelebih kurang satu jam. Kapal akan bersandar di dermaga yang dikenal dengan nama Kemo. Dermaga ini saat ini sudah dibangun dengan dana APBN miliaran rupiah sehingga Nampak sangat megah.

            Tak sulit untuk menemukan bekas benteng Portugis itu. “Anak liat pohon beringin itu? Turun dari pelabuhan sini langsung naik ke atas,” kata seorang ABK KM Al- Amin menjelaskan. Agak kesulitan memang menuju bekas benteng itu. Pasalnya, masyarakat setempat sudah tidak perduli lagi dengan keberadaan benteng tersebut. Hal itu terbukti tak ada jalan masuk ke benteng itu. Untuk mencapainya, kita terpaksa harus masuk lewat samping rumah penduduk dan mendaki sebuah tanjakan lebih kurang 50 meter dari jalan raya.

            Namun peninggalan bangsa asing yang sangat  bersejarah itu ternyata hanya tinggal nama. Nyaris sudah tak ada lagi tanda atau bekas bahwa di sana pernah ada benteng yang sangat terkenal.  Tak ada bangunan tembok yang kokoh disertai meriam seperti yang dibayangkan. Yang tampak hanya sebuah bekas tembok yang sudah runtuh. Yang tersisah hanya tembok setinggi dua meter dengan panjang dua meter lebih. Itupun sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan perdu sehingga nyaris tak nampak dari jarak lima meter.

            Masyarakat setempat seperti Abidin, Fatah, Abdulah, Aminah dan lainnya mengaku sering melihat orang luar/turis datang untuk mencari bekas benteng Portugis tersebut. Namun masyarakat sendiri tak perduli lagi. “Di sini masyarakat hamper sudah lupa tentang cerita keberadaan benteng ini apalagi omong tentang nilai sejarahnya. Kami tahu bahwa pernah ada Portugis di sini yang dibuktikan dengan keberadaan bentengnya, namun pemerintah saja tidak perduli, apalagi dengan masyakarat biasa,” kata Abidin.
            Rupanya pemerintah Portugal sudah memiliki upaya untuk menapaktilasi jejak perjalanan nenek moyangnya menaklukkan dunia.  Meski bekas bentengnya nyaris hilang, namun mereka masih ingat keberadaan Pulau Ende. Mereka sudah menurunkan banyak bantuan gratis kepada masyarakat di sana. Bak penampung air, sumur hingga WC sudah dibantu. “Kami di sini terima saja. Mungkin mereka teringat dengan keberaan nenek moyang mereka di sini sehingga bantu masyarakat,” kata Fatah.
            Ende, memang terkenal dengan sejarah. Di sana ada keajaiban dunia. Di sana banyak lahir inspirasi. Entah karena mungkin sangat banyak peninggalan sejarah di Ende, pemerintah setempat sudah lupa yang lain. Apakah benteng ini hanya tinggal sejarah dalam cerita? Ataukah sudah saatnya sekarang kita abadikan bahwa Pulau Ende pernah menjadi pilihan hidup bangsa asing. Bukan tak mungkin masyarakat asli Pulau Ende ada karena dibawa bangsa Portugis? 


by: http://sipriseko.blogspot.com/2011/09/benteng-portugis-itu-tinggal-nama.html