Thursday, December 1, 2016

Bung Karno di Ende part 1 (Masa Pengasingan di Ende)






            Kota Ende, di pulau Flores, adalah tem­­pat Soekarno dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda selama empat tahun. Soekarno tiba di Ende pada Februari 1934 dengan kapal Jan van Riebeeck dan meninggalkan kota ini pada Februari 1938 dengan kapal De Klerk milik KPM menuju Surabaya. Soekarno dan Ende akhirnya mempunyai hubungan yang patut ditelusuri kembali.

            Flores sendiri merupakan pulau kecil pada periferi Soenda Kecil, yang baru menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda pada awal dasawarsa kedua abad 20. Dengan demikian Ende dimaksudkan sebagai tempat yang dapat
mengisolasi Soekarno, menjauhkan dia dari kegiatan politiknya, dan dari rekan-rekan seperjuangannya di Pulau Jawa. Kehadirannya di kota kecil ini dan pergaulannya dengan para misionaris Katolik sampai tingkat tertentu telah membawa sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia menjadi bagian sejarah gereja katolik di pulau ini. Sebaliknya, kehadiran seorang tokoh nasional dengan reputasi tak tertandingi pada masa itu telah membawa Ende, Flores, dan sejarah Gereja di pulau ini menjadi bab kecil atau catatan kaki dalam sejarah nasional Indonesia.

            Menurut cerita Soekarno kepada wartawati Amerika, Cindy Adams, yang menulis otobiografi­nya, Ende pada pertengahan 1930-an mempunyai penduduk tidak lebih dari 5.000 orang. Tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan umum, tidak ada pusat hiburan apa pun, dan terbanyak penduduk masih buta huruf.

            Gereja Katolik memang sudah masuk ke Nusantara pada pertengahan pertama abad ke-16, dengan pusat-pusat pertama di Maluku, Flores, Solor dan Timor. Ketika Fransiskus Xaverius berkarya di Maluku (1546-1547), diperkirakan dari antara 150.000 penduduk kepulauan itu, sudah ada 30.000 umat Katolik. Di Flores, Solor dan Timor misi dijalankan oleh para biarawan Dominikan, yang datang bersama armada dagang Portugis. Namun demikian, ketika VOC mulai berkuasa di Hindia Belanda, dikeluarkan larangan untuk masuknya imam-imam Katolik, karena yang boleh menjalankan kegiatan penyebaran agama di sana hanyalah Gereja Reformasi. Larangan itu berlaku dari tahun 1602 sampai 1799. Baru kemudian karena pengaruh Revolusi Prancis 1789, larangan ini dihapus pada 1796, dan pada tahun 1808 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menerima kedatangan imam-imam Katolik.

            Ketika Soekarno tiba di Ende pada 1934, Flores dan Timor sudah menjadi wilayah misi biarawan SVD (Serikat Sabda Allah), setelah terjadi peralihan misi dari para biarawan Jesuit ke tangan SVD. Pada tanggal 1 Maret 1913 di Lahurus, Timor, pulau Timor diserahkan kepada SVD yang diwakili oleh P. Piet Noyen SVD. Peralihan ini mendapat persetujuan Mgr Luypen di Batavia.

            Setahun berikutnya, pada 1914 Flores juga diserahkan oleh Serikat Jesus kepada para biarawan SVD, setelah menarik kembali 12 imam dan 9 bruder Jesuit. Serah-terima ini membutuhkan waktu. Dua imam Yesuit, P. Hoeberechts SJ dan P. van de Loo SJ, baru meninggalkan Larantuka di Flores Timur pada 1917, sedangkan empat imam Jesuit dan dua bruder Jesuit meninggalkan Sika-Maumere dan kembali ke Jawa pada bulan Desember 1919 dan Februari 1920.

            Para biarawan SVD kemudian melanjutkan pembangunan Gereja Katolik di Ende. Paroki pertama di Ende terbentuk pada 1927, dan seorang pastor paroki pertama di sini adalah P. G. Huijtink SVD yang menjadi teman akrab Soekarno. Persahabatan ini awalnya karena Asisten Residen di Ende meminta P. Huijtink membaca naskah-naskah sandiwara yang dikarang oleh Soekarno dan dipentaskan di Ende, dan bila perlu melakukan sensor atas naskah-naskah itu agar tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah Belanda. Sensor itu tidak pernah dilakukan, tetapi hubungan Soekarno dan Huijtink menjadi dekat. Pada akhir pekan, kalau Pater Huijtink keluar kota untuk mengunjungi stasi-stasi, kunci kamarnya di Biara Santo Yosef diserahkan kepada Soekarno, yang boleh memanfaatkan perpustakaannya selagi dia bepergian.

            Kalau orang berjalan kaki dari rumah Soekarno maka Biara St Yosef ini dapat dicapai dalam waktu kurang dari 10 menit. Di biara ini Soekarno bersahabat dengan Bruder Lambertus, kepala bengkel kayu, yang sering membantu Soekarno membuat dekor bagi pertunjukan sandiwara. Dengan para pater, Soekarno berkesempatan mengadakan pertukaran pikiran sampai tingkat intelektual tertentu. Pater Jan Bouma SVD, seorang tokoh penting dalam misi SVD di Flores, menjadi lawan debatnya yang paling fasih. Pater Bouma adalah Superior Regional SVD untuk lima periode (1932-1947), menjadi fundator atau pendiri Seminari Tinggi Santo Paulus di Ledalero pada 1937, menjadi rektor Seminari Tinggi ini 1948-1954, setelah tiga tahun (1942-1945) menjadi tawanan Jepang.

            Pada tahun 1936, tiba di Ende seorang misionaris muda yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di Roma dalam bidang sejarah gereja. Dr M. van Stiphout SVD belajar di Roma pada saat Mussolini menjadi penguasa Italia. Dia mengalami apa artinya hidup dalam fasisme. Dengan dia, Soekarno banyak mendiskusikan kecenderungan meluasnya fasisme pada maa itu.

            Lingkungan Ende tidak memungkinkan Soekarno melakukan kegiatan politik dan diskusi politik secara mendalam. Ada dua kegiatan alternatif yang dilakukannya. Dengan kaum terpelajar dia mengadakan diskusi-diskusi keagamaan, dan dengan rakyat biasa yang banyak buta huruf dia mengadakan pertunjukan sandiwara. Tercatat 12 sandiwara yang dikarang oleh Soekarno dan dipentaskan di Ende.
            Dalam diskusi dan studi agama perhatian utama terpusat pada Islam dan diskusi itu berlangsung lewat surat-menyurat dengan seorang ulama yang terkenal, tokoh Persatuan Islam di Bandung yaitu T.A. Hasan. Surat-menyurat ini kemudian dikenal sebagai “Surat-Surat Islam dari Endeh”.

            Dengan demikian pertobatan yang disebut oleh Prof Bernard Dahm, rupanya mempunyai lingkup lebih luas. Dari seorang politikus yang sibuk dengan PNI sebagai partai yang didirikannya, Soekarno seakan bermetamorfose menjadi
seorang negarawan yang memikirkan masa depan bangsanya. Dari seorang aktivis politik menjadi seorang pemikir tentang dasar negara yang akan merdeka, dari hidupnya pada pusat kolonial di Jawa ke pengalaman tentang “Timur Jauh” dari Hindia Belanda, dan dari seorang yang sejak muda terobsesi dengan trilogi “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” ke Pancasila sebagai filsafat negara yang lebih universal, yang konon lahir di bawah naungan sebatang pohon sukun di Ende.



No comments: