Friday, December 2, 2016

Bung Karno di Ende part 2 (Soekarno, Ende, dan Kontemplasi)





            Lewat tulisan Daniel Dhakidae di Kompas (29 Mei 2013), jurnal Prisma (edisi khusus 2013), dan tulisan Witdarmono di Majalah HIDUP beberapa tahun lalu, kita mendapat informasi menarik. Informasi itu terkait bapak bangsa kita, Soekarno, yang merumuskan beberapa bagian dari Pancasila, yang menjadi landasan negara Republik Indonesia, pada saat ia mengalami pembuangan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

            Awal Juni 2013, sebuah monumen diresmikan di Ende untuk mengenangkan peristiwa tersebut. Pendirian monumen Soekarno secara tidak langsung memberi pengakuan bahwa kota kecil di ujung timur Indonesia ini berkontribusi sebagai tempat kontemplasinya untuk menghasilkan ide cerdas yang merangkai isi landasan negara kita.

            Saat itu, bagi pemerintah kolonial Belanda, Soekarno berstatus sebagai buangan, setelah ia dan sejumlah bapak bangsa lain, seperti Hatta, Sjahrir berupaya untuk membangkitkan kesadaran nasional para pemuda Indonesia. Dari buku John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934 (1983), kita akan memahami detil perjuangan Soekarno.

            Pemberontakan kelompok muda komunis 1926 membuat pemerintah kolonial makin waspada akan upaya perlawanan mereka. Salah satu upaya untuk penyingkiran adalah dengan membuang para tokoh ini ke ujung wilayah Hindia Belanda. Soekarno dibuang ke Ende, sementara Hatta dan Sjahrir dibuang ke Bandaneira, Maluku.

            Pembuangan memang satu hal, namun pikiran tak pernah terpenjara. Itulah yang terjadi dalam diri Soekarno. Lewat keseharian bersama penduduk setempat, serta para pastor dari kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) yang berkarya di wilayah ini, Soekarno mendialogkan pikirannya kepada mereka yang jauh dari pusat kekuasaan.

            Banyak penulis dunia menghasilkan karya terbaik justru ketika secara fisik tengah terpenjara Sebutlah, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, atau sejumlah intelektual dunia lain seperti Antonio Gramsci, Vaclav Havel, dan lain-lain.

            Satu kata kunci yang penting adalah kontemplasi. Kontemplasi selalu dibutuhkan sebelum menghasilkan satu gagasan yang kemudian hidup, bahkan lebih lama dari usia si penggagasnya. Dengan kontemplasi, pada masa pembuangan itulah, Soekarno dapat melihat suatu masalah dengan jernih, menemukan hal-hal mendasar dalam kehidupan berbangsa.

            Kontemplasi artinya melambatkan diri dari ritme hidup dan melakukan pelacakan ke belakang atas sesuatu yang sudah berjalan, sembari memeriksa apakah arah yang sedang disasar masih merupakan kesinambungan dari yang telah dijalani. Manusia memerlukan waktu untuk duduk diam, dan berkontemplasi sebelum ia melangkah lebih jauh ke depan.

            Gereja Katolik pernah melakukan kontemplasi lebih dari 50 tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, kontemplasi dilakukan selama tiga tahun. Kontemplasi itulah yang mewujud dalam bentuk Konsili Vatikan II (1962-1965) yang kemudian mengubah wajah Gereja. Sama seperti Soekarno melakukan kontemplasi untuk menemukan dasar bernegara, maka Konsili Vatikan II juga berkontemplasi untuk mencari terus relevansi Gereja yang hadir di dunia dan menjawab aneka tantangan zaman.
            Namun, hidup tak berhenti pada kontemplasi. Perlu ada mekanisme lain yang juga memastikan bahwa hasil kontemplasi dilakukan secara berkesinambungan.

            Apa yang dirumuskan Soekarno di Ende hampir delapan dekade lalu itu pun masih harus diperiksa, seberapa Indonesia telah berjalan dalam rel yang dicita-citakan Soekarno?
            Demikian pula pertanyaan yang sama perlu diajukan pada Gereja Katolik Indonesia: sudahkah semangat Konsili Vatikan II itu mewujud untuk menjawab aneka tantangan zaman? Apakah perlu dilakukan Konsili berikutnya untuk menjawab tantangan yang makin tak mudah ini?

            Kontemplasi adalah satu hal, namun hidup konsekuen dengan apa yang dikontemplasikan dalam dunia senyatanya adalah tantangan yang tak mudah. Dan untuk itulah kita memenuhi panggilan kita sebagai umat di dunia ini.




No comments: