Oleh
Hieronimus Bokilia
“Allahu Akbar….. Allahu
Akbar…. Allahu Akbar ……. Lailahailallah … hu Allah hu Akbar…. Allah hu Akbar
Walillahilham”
Dari corong pengeras suara perahu nelayan, gema
takbir akbar membahana memecah kesunyian malam di Pulau Ende, Kamis malam, 9
September 2010. Malam itu, sekitar 25 perahu nelayan didandani lampu hias aneka
warna. Kerlip cahanya menambah semarak malam takbiran. Kembang api yang pecah
di langit Pulau Ende yang sejak sore diguyur hujan, kian membuat suasana Pulau
Ende terang benderang.
Itulah suasana malam lebaran di Pulau Ende. Pulau ini
merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Ende yang penduduknya seratus
persen beragama Islam. Di tengah mayoritas masyarakat Flores yang Katolik, gema
takbir, apalagi di atas perahu, memang menghadirkan suasana lain. Malam
takbiran di atas perahu ini memang baru tiga tahun terakhir ini digelar. Ini
bentuk pengungkapan mereka bahwa hidup dan kehidupan mereka selalu di atas laut
dan lautlah penopang hidup mereka.
Bagi penduduk asli Pulau Ende, pulau mereka merupakan
pulau keramat yang berbeda dengan pulau-pulau di sekitarnya. Menurut
keyakinan mereka, pulau ini merupakan pulau asli yang mempunyai keterikatan
dengan “tanah suci” Mekkah. “Air tidak akan naik menenggelamkan Pulau Ende
selama air tidak menenggelamkan Mekkah” kata Abu Bakar Haji Yusuf, imam masjid
Matinumba. Karena itu, kata Abu Bakar, Islam di Pulau Ende juga tidak akan
lenyap selama Islam di Mekkah masih ada.
Islam di Pulau Ende memang telah memiliki sejarah yang
panjang.Sejarah secara khusus tentang masuknya Islam di Pulau Ende dan Ende
secara umumnya kurang tercatat secara baik.
Imam Masjid Metinumba, Abubekar Haji Yusuf mengatakan,
konon agama Islam di Pulau Ende dibawa langsung oleh Imam Syafi’i yang
katanya diutus langsung Nabi Muhamad SAW ke Pulau Ende. Imam Syafi’i yang tiba
di Pulau Ende berhasil menyebarkan agama Islam di sana. Setelah seluruh warga
Pulau Ende memeluk agama Islam, Imam Syafi’i kemudian melanjutkan perjalanannya
ke daera-daerah lain di Pulau Flores untuk menyebarkan agama Islam. Dia mengatakan,
saat Portugis masuk dan menguasai Pulau Ende, orang-orang di Pulau Ende sudah
memeluk agama Islam. Karena itu, ketika Portugis meninggalkan Pulau Ende,
orang-orang Pulau Ende yang sudah memeluk agama Katolik kembali memeluk agama
Islam. Pada akhirnya, agama Katolik yang sudah ada dan dianut orang Pulau Ende
berangsur-angsur ditinggalkan dan seluruh warga Pulau Ende memeluk agama Islam
dan turun temurun hingga saat ini.
Masih penuturan Abubekar Haji Yusuf, jauh sebelum Imam
Safi’i datang menyebarkan agama Islam di Pulau Ende, ada seorang tokoh besar
yakni Jal Jaelani Wal Ikram yang sudah lebih dahulu tiba di Pulau Ende.
Keberadaan Jal Jaelani Wal Ikram oleh masyarakat Pulau Ende dikenal dengan nama
Embu Rembotu. Embu dalam bahasa daerah Ende-Lio berarti nenek. Konon, kata
Abubekar Haji Yusuf, Jal Jaelani Wal Ikram atau Embu Rembotu adalah utusan
langsung Nabi Muhamad SAW untuk menemukan Pulau Ende.
Saat ini, tempat tinggal Embu Rembotu yang berada di atas
salah satu puncak bukit yang rata, dikenal keramat oleh warga Pulau Ende. Di
tempat ini terdapat sebuah batu ceper yang berbentuk bulat dan dibawahnya
terdapat pasir laut berwarna putih. Di tempat ini jika orang duduk
melingkarinya, berapa pun jumlahnya bisa mengitari batu tersebut. Jika
hanya datang bertiga dan duduk bersila mengitari batu ini akan mencukupi.
Demikian juga ketika datang 12 orang atau lebih tetap bisa duduk mengitari batu
tersebut. Tempat ini, masihmenurut Abubekar Haji Yusuf, sering dikunjungi
Soekarno saat menjalani masa pembuangan di Ende. Bahkan saat ini, tempat itu
sering didatangi Guntur yang adalah salah satu putra Bung Karno.
Penyebaran agama Islam di Pulau Ende tidak terlepas pula
dari pengaruh Portugis yang sempat menjadikan pulau Ende sebagai pusat
pemerintahan. Hal itu nampak dari keberadaan benteng Portugis yang dibangun di
Metinumba Desa Paderape Kecamatan Pulau Ende. Sejarah benteng Portugis di Ende
kurang begitu baik tercatat dalam sejarah.
Jauh sebelum akhir abad XV, para pastor telah membangun
hubungan baik dengan Pulau Ende tetapi belum memiliki stasi di sana. Dalam
tahun 1594 atau 1595, Pulau Ende diserbu oleh perompak-perompak islam. Mereka
menyerang kampung-kampung dan menawan sejumlah orang untuk dijadikan hamba
sahaya. Penduduk melarikan diri ke pantai Flores dan tinggal di sana beberapa
lamanya sambil menyerahkan nasib pada kebaikan hati penduduk setempat.
Lalu, datanglah Pater Pacheco dari Solor mengunjungi
mereka. Mereka ingin kembali ke pulau mereka tetapi tidak berani, takut akan
diserang lagi. Akhirnya pater berhasil membujuk mereka untuk kembali ke tempat
asal, dengan janji di sana akan dibangun sebuah benteng yang akan dipimpin
seorang panglima Portugis. Penduduk berjanji akan masuk katolik. Pater Pacheco pergi
bersama mereka dan memimpin sendiri pekerjaan pembangunan benteng. Bersamaan
dengan itu dimulailah karya pertobatan yang berjalan cukup lancar juga. Jumlah
orang kristen sebesar 8000 orang di sekitar tahun 1600.
Di Pulau Ende, terdapat tiga daerah stasi yakni di Numba
dengan pelindung Santu Dominikus, stasi Sara Boro dengan pelindung Santa Maria
Magdalena dan stasi Curolallas dengan pelindung Santa Katarina dari Siena.
Namun Baraai juga merupakan tempat orang-orang katolik berada pada masa itu.
Raja-raja Makasar rupanya mempunyai hubungan-hubungan
rahasia dengan Flores. Di Mari, ada seorang raja namanya Ama Kera yang rupanya
berusaha untuk memperoleh hegemoni atas seluruh Flores. Dia meminta raja
Makasar untuk menyerang umat katolik. Ada dua permintaannya yakni agar dikirimi
sebuah armada guna menaklukan Solor ke bawah kekuasaan raja Goa dan kedua
adalah agar diangkat menjadi Raja Muda. Imbalannya, sebagai fassal raja Goa,
Ama Kera harus menyerahkan upeti yaitu 100 hamba dan emas dalam jumlah besar
kepada raja Goa setiap tahun. Permintaan Ama Kera ini disetujui raja Goa.
Dengan sebuah armada yang besar, orang-orang Makasar akan
menyerang dan merebut benteng Solor dan Pulau Ende dan tempat-tempat lain pun
akan menyusul dengan gampang. Seorang kristen yang murtad, namanya D. Joao
Djuang diangkat sebagai panglima armada tersebut. Armada ini terdiri dari 37
buah kapal dengan awak sejumlah 3000 orang. Mereka datang dan berlabuh di muka
benteng Solor, yang menurut dugaan mereka tidak mempunyai pertahanan yang baik.
Tapi tak lama sebelumnya, telah tiba di sana awak sebuah kapal Portugis yang
terdampar di Jawa. Awak kapal dengan panglimanya Firnao Pereira berada di
Solor.
Rencana orang Makasar merebut benteng secara mendadak gagal
samasekali. Lalu mereka beralih haluan ke pantai selatan daratan Flores. Mereka
kemudian ke Sikka dan menuntut supaya penduduk menyerahkan pastor dan orang
Portugis di sampig sejumlah besar uang. Tuntutan itu ditolak dan kemudian orang
Makasar mencoba mendarat namun mereka menderita kerugian besar. Katanya,
sekitar 100 orang dari mereka mati terbunuh.
Mereka kemudian berlayar ke Paga dan di sana hanya
menuntut upeti dan tuntutan dipenuhi. Mereka lalu berlayar ke tempat sahabat
mereka raja Ama Kera. Ketika berada di sana, Pater Heronimo Mascarenhas, pastor
Lena, naik ke kapal untuk emncari tahu apa maksud sebenarnya orang-orang
Makasar itu. D. Joao mengatakan, dia bermaksud memusnahkan agama kristen di
Pulau Ende tetapi mereka akan membiarkan orang-orang Portugis selamat. Pater
Mascarenhas kemudian mengirimkan kabar ini ke Pulau Ende dan dari sana
secepatnya meminta bantuan dari Solor.
Pater Mascarenhas seolah-olah bertindak sebagai
pengantara tetapi terutama untuk mengulur-ulur waktu sampai datangnya bantuan
dari Solor. Bantuan yang diharapkan itu datang, tepat pada saat orang Makasar
hendak mendarat di Pulau Ende. Sekarang, D. Joao melihat apa sebenarnya maksud
Pater Mascarenhas yang saat itu ada di atas kapal yang ditumpangi D. Joao.
Dia lalu menyuruh orang-orangnya membunuh imam itu dan seorang pemuda yang
menyertainya dengan tombak.
Datangnya secara mendadak orang Portugis dari Solor, maka
timbulah kekacauan yang besar di kalangan pasukan-pasukan pendarat orang
Makasar. Dengan banyak kerugian, mereka terpaksa kembali ke kapal mereka.
Armada Makasar itu menderita kerugian sekitar 800 orang tewas. Ama Kera dan D.
Joao mengancam akan kembali sesudah dua bulan, tetapi ternyata mereka tidak
muncul lagi. Raja Makasar tidak mau mencoba lagi untuk kedua kalinya. `
Sumber Dominikan menyebutkan dari tahun 1614, selama
sembilan tahun lamanya orang Ende sudah tidak mempunyai imam dan dari tahun
1617 sudah 11 tahun tidak ada imam di sana. Bulan Nopember 1613, Van der Velde,
orang Belanda yang berhasil merebut benteng Solor mengunjungi Pulau Ende. Ia
melaporkan, delapan tahun sebelumnya penghuni benteng diusir oleh penduduk
pribumi. Van der Velde ingin menciptakan perdamaian antara orang islam dan
orang kristen. Dia mau menyuruh orang merusak benteng itu tetapi tidak berhasil.
Datang Don Cosmo dari Sika, seorang katolik yang berani dan setia. Dengan
bantuan orang kristen, mereka memperbaiki benteng dan mengusir orang islam dari
sana.
Antara tahun 1620 dan 1630, terjadi sesuatu namun sumber
tentangnya tidak jelas. Rouffaer berpendapat peristiwa itu bisa
direkonstruksikan. Seorang jurubahasa Portugis rupanya telah melakukan
”hubungan gelap” dengan seorang gadis dari Barai. Setelah itu, orang-orang
Barai menyerbu gereja induk di dalam benteng dan membunuh semua orang Portugis.
Karena takut orang Portugis akan balas dendam maka penduduk kembali lagi
melarikan diri ke Flores dan seterusnya menetap di sana.
Menurut penduduk daerah ini, serangan dan pembunuhan
terhadap orang Portugis terjadi karena cerita yang agak lain. Di Pulau Ende
pada waktu itu terdapat seorang gadis yang cantik, namanya Rendo, puteri
panglima benteng yaitu Luis Parela Kumi Toro (Luis Pareira yang berjanggut
merah). Gadis ini jatuh cinta pda seorang letnan yang bernama Djebe dan letnan
inipun jatuh cinta pada gadis itu. Tetapi gadis cantik ini juga diincar oleh
seorang imam dari benteng. Imam ini membunuh Djebe.
Rendo melarikan diri ke Flores dan di sana dia meninggal
duni karena sedih dan letih. Untuk membalas dendam atas pembunuhan Djebe itu,
orang Barai lantas menyerbu benteng dan membunuh orang Portugis di dalamnya.
Orang-orang katolik melarikan diri dan untuk sementara masih tetap
beragama Katolik juga di tempat tinggal mereka yang baru. Baru dalam tahun 1772
pastor terakhir meninggalkan Numba. Penduduk Pulau Ende yang masih tinggal
lambat laun menjadi islam semuanya.
Dalam bulan Desember 1637, diberitakan dari Betawi
bahwa Van Tombergen sudah berada di Pulau Ende dan menyuruh ribuan orang
mengangkat sumpah setiap kepada kompeni. Mereka diminta mengibarkan bendera
Belanda di kampung-kampung dan daerah Pulau Ende menjadi daerah kompeni (Sejarah
Gereja Katolik Indonesia, 1974).
Pada bulan Juni 1614, komandan Adrian van der Velde
datang lagi ke Pulau Ende. Di sana semua stasi tidak ada imam. Ada tiga orang
bapa keluarga yang bertindak menjadi pemimpin mereka. Ketiga orang ini yang
saat pembatisan mendapatkan nama Portugis sesuai kebiasaan pater-pater Portugis
dengan nama masing-masing Salvador Carvalhaes, bekas siswa semniari
koleses Dominikan di Solor. Waktu itu dia berumur 28 tahun dan sudah
berkeluarga, rupanya dia seorang guru agama. Kedua adalah Pedro carvalhaes juga
seorang bapa berumur 40 tahun. Ia adalah pemimpin umat. Pedro dan Salvador
berasal dari Numba dengan gerejanya Santu Dominikus. Yang ketiga adalah
Manuel da Lima, berusia 40 tahun, ia dari Stasi Saraboro. Manuel adalah seorang
yang saleh yang selalu mengajak umat agar selalu berkunjung dalam doa
menghadapi percobaan demi Tuhan dan Agama.
Ketiga bapak penduduk asli Pulau Ende ini kemudian
diculik dan dibawa ke kapal dan berlayar menuju Volowona (Wolowona saat ini).
di sana orang-orang islam memaksa ketiganya agar membuang agama mereka dan
masuik agama Islam. ketiganya tetap menolak dan diancam dengan kekerasan.
Karena tetap bertahan dengan agamanya, ketiganya diserahkan kepada algojo yang
menyiksa mereka dengan kejam. Tiga hari mereka bertiga diikat pada tiang di pantai,
dipukul dan ditusuk-tusuk benda tajam sehingga tubuhnya penuh luka dalam.
Selanjutnya mereka dijemur dan dipenggal kepalanya (Sejarah Kota Ende, FX
Soenaryo dan kawan-kawan, 2006).
Pengaruh Islam Sulawesi
Keberhasilan Portugis merebut Malaka pada tahun 1511
berpengaruh pada wilayah-wilayah Nusantara bagian timur, termasuk NTT. Meski
tidak diketahui kapan persisnya agama Katolik mulai berkembang, tetapi ketika
tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor, Pater Antonio Tavera OP telah
membaptis 5.000 orang di Timor, juga di Ende, Larantuka, dan Lewonama di
Flores.
Pengaruh Portugis dalam penyebaran agama Katolik mulai
terlihat ketika misi Katolik mulai diatur dengan kehadiran Uskup Pertama Jorge
de Santa Luzia OP di Malaka tahun 1561. Portugis mengirimkan tiga orang
misionaris Dominikan pertama ke Solor. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz
membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka.
Dari Solor dan Larantuka inilah kemudian agama Katolik berkembang di Flores dan
Timor. Di akhir abad ke-16, agama Katolik telah meluas dan mempunyai sekitar
25.000 penganut. Terbesar berada di Solor, Adonara, Flores, dan (Pulau) Ende (Sejarah
Gereja Katolik Indonesia, 1974).
Sementara itu, perkembangan agama Protestan secara luas
baru terjadi setelah Belanda berhasil menggeser kedudukan Portugis di Kupang.
Pada tahun 1701, untuk pertama kali di Kupang didirikan sekolah dasar dan
persatuan jemaat Kristen oleh pendeta keliling. Pusat agama Kristen mula-mula
di Bau-bau kemudian pindah ke Kupang. Sejak itu wilayah NTT di bagian selatan
banyak dikuasai oleh Zending gereja Protestan. Terlebih, kemudian Belanda
dengan cerdik mengikat raja-raja di wilayah ini dengan kontrak.
Di samping dua kekuatan agama tersebut, Islam telah pula
hadir. Ketika Portugis datang ke NTT, Solor, Alor, Pulau Ende dan Manggarai
telah dikuasai orang-orang Islam. Di Alor, pada abad ke-15, telah terdapat
perintis Islam yang belajar dari Ngampel, Surabaya. Selain pengaruh Jawa, ada
tiga kerajaan Islam yang memberikan warna pada persebaran Islam di NTT, yaitu
Bima, Bugis, dan Ternate. Kesultanan Bima mempunyai hubungan erat dengan
wilayah bagian barat Pulau Flores, yaitu Manggarai. Menurut JL Gordon (1972),
mulai tahun 1600 Manggarai memberikan upeti kepada Sultan Bima.
Kesultanan Bima bersaing dengan Kerajaan Gowa Makassar
dalam memperebutkan pengaruh dan penguasaan ekonomi. Bagi Bugis/Makassar,
kepentingan perdagangan menjadi alasan utama penguasaan wilayah ini. Sementara
itu, bagi Kesultanan Ternate, NTT merupakan wilayah penting untuk menunjukkan
kedaulatannya.
Penyebar agama Islam pada awal masuknya Islam pertama di
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah para pedagang dan ulama yang telah dimulai
pada abad ke-15 di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur.
Peneliti dan penulis buku tentang sejarah Islam di NTT,
Munandjar Widiyatmika mengatakan, penyebaran agama Islam ini pertama dilakukan
seorang ulama pedagang dari Pelembang yang bernama Syahbudin bin Salman Al
Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. Dari
sumber-sumber sejarah yang berhasil dia himpun, agama Islam masuk pertama kali
di pulau Solor di Menanga pada abat ke-15 kemudian ke Pulau Ende dan Alor.
Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT karena letaknya
strategis dengan bandar-bandar penting di Pamakayo, Lohayong, Menanga dan
Labala, sangat penting bagi kapal yang menunggu angin untuk melanjutkan
pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku, demikian pula di Pulau Ende dan Alor.
Masuknya agama Islam ini dibawa oleh pedagang sehingga
sangat wajar kalau penyebarannya dilakukan mulai di sekitar bandar-bandar
startegis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam dari luar, dan Solor
adalah daerah peristirahatan sebelum ke pusat penghasil cendana di Pulau Timor.
Mengenai pola pendekatan, perintis penyebar agama Islam
di NTT asal Palembang ini menggunakan pendekatan kekeluargaan dan memegang
tokoh-tokoh kunci daerah setempat. Di Solor misalnya, penyebar agama ini kawin
dengan seorang puteri raja Sangaji Dasi dan menjadi orang pertama yang memeluk
agama Islam di NTT dan kemudian diikuti anggota keluarganya.
Artinya, berkat pengaruh Sangaji Dasi, keluarga dan
pengikutnya dengan mudah diajak menjadi pemeluk agama Islam. Bahkan untuk
kepentingan pengembangan agama Islam di Solor, Sultan Menanga kemudian
ditempatkan di perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong dan berhasil
membangun kampung muslim pertama di Menanga.
Agama Islam kemudian tersebar ke daerah lain seperti
Alor, dan seluruh Flores, Timor dan Sumba. Sejak masuknya agama Islam di NTT
sampai abat ke-16, para perintis belum tergerak mewujudkan lembaga sosial
keagamaan Islam dan lembaga pendidikan Islam sebagai penunjang penyebaran agama
Islam. Hal ini berbeda dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa yang tidak
saja ditunjang para wali dan ulama tetapi juga sistem pendidikan di Pondok
Pesantren.
Sejak orang-orang dari Numba menyerang dan membunuh
orang-orang Portugis di benteng dan orang-orang Portugis lari ke Flores,
orang-orang katolik di Pulau Ende lambat laun menganut agama Islam. Orang-orang
(Pulau) Ende yang telah menganut agama Islam kemudian menjadi penyebar
agama Islam ke Sumba. Ketika itu Sumba yang masih menganut sistem swapraja,
banyak pedagang Islam dari Ende-Flores kawin dengan putri dan putra seorang
kepala suku atau raja seperti Umbu Kamballu dari Kabizu Laimuru di desa
Patawang yang beristerikan seorang putri asal Ende-Flores juga seorang putri
Sumba, Rambu Hana Ndapanjalu yang menikah dengan seorang putera Ende bernama
Pua Ali termasuk Rambu Ndanga Leu adik dari Rambu Hana Ndapanjalu yang menikah
dengan Da,e Saruni dari kampung Roja di Ende (Menyisir Sejarah Islam di Sumba
Timur, Djunaidi Garib, Waingapu).
Ketua Majelis Ulama (MUI) Kabupaten Ende, Abdurahman
Aroeboesman yang adalah keturunan Raja Ende mengatakan, pada masa penjajahan
Portugis, seluruh warga di Pulau Ende menganut agama Katolik. Namun pada abat
ke-13, para bajak laut dari Jawa dan Sulawesi (Makasar) melakukan penyerbuan ke
Pulau Ende. Penyerbuan dan pembakaran yang dilakukan itu menyebabkan
orang-orang Katolik lari ke Solor dan pulau Flores. Orang-orang Barai yang takut
terhadap bajak laut dari Jawa dan Sulawesi ini kemudian lari ke Barai yang ada
di Pulau Flores. Mulai saat itu, Pulau Ende dikuasai para pedagang dan bajak
laut dari Jawan dan Sulawesi dan mulai menyebarkan agama Islam di sana. Para
penyebar agama Islam di Pulau Ende semula berasal dari Mesir dan ada yang dari
Jawa juga Makasar.
Waktu itu, kata Abdurahman Aroeboesman, sekitar akhir
abat ke-16, datanglah Karaeng Aru Sambayang ke Pulau Ende. Namun saat dia tiba,
warga sudah memeluk agama Islam. Kemudian raja Ende juga memeluk agama Islam
dan mulai menyebar ke penduduk. Orang pertama yang diyakini menyebarkan agama
Islam pertama di Pulau Ende adalah Batullah yang berasal dari Mesir. Orang
Pulau Ende yang pertama memeluk agama Islam terdapat di Kemo di dekat Kerimando
namun tidak diketahui secara pasti siapa yang saat itu memeluk agama Islam
pertama di Pulau Ende. Sedangkan orang yang menjadi pemilik tanah pertama
adalah Embu Tipo dari Rodja yang masuk pertama di Metinumba.
Menurutnya, orang pertama yang tempati Pulau Ende adalah
Redodori dan Ndoriwoi. Ndoriwoi adalah perempuan jelmaan sedangkan Redodori
adalah laki-laki nelayan di Pulau Ende. Setiap hari di bekerja membuat perahu
dan saat kembali ke rumah makanan sudah disiapkan. Dia sangat kaget dan
berupaya mencari tahu siapa yang telah menyiapkan makanan untuknya. Maka
dicarinya siasat untuk menemukan orang yang telah menyiapkan makanan untuknya.
Dipanggilnya warga desa dan dikumpulkan. Dia meminta seluruh warga memakan
sirih pinang dan airnya dikumpulkan. Warna merah dari sirih pinang itu disiram
keliling perahu dan kepada warga diminta untuk menyiarkan khabar bahwa Redodori
telah meninggal. Mendengar khabar itu, Ndoriwoi yang sudah terlanjur jatuh
cinta pada Redodori datang dan menangis mengelilingi perahu milik Redodori yang
berlumuran darah sirih pinang. Melihat kehadiran Ndoriwoi dalam wujud manusia
yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya, Redodori bersama warga langsung
menangkapnya. Ndoriwoi kemudian kawin dengan Redodori dan anak keturunan mereka
kemudian menjadi penghuni Pulau Ende hingga saat ini.Namun, lanjutnya, selain
didiami penduduk asli, Pulau Ende juga didiami oleh penduduk yang berasal
dari Luwuk, Bone, Sulawesi.
Abdurahman Aroeboesman mengakui, sejarah masuknya agama
Islam di Pulau Ende memang belum dicatat secara baik sehingga saat ini
sumber-sumber tentang penyebaran agama Islam di Pulau Ende bahkan Ende secara
umum sulit ditemukan. Namun, lanjutnya, Pulau Ende yang pada masa penguasaan
Portugis penduduk seluruhnya beragama Katolik, saat ini semuanya menganut agama
Islam.
Pulau Ende masuk dalam wilayah administratif Kabupaten
Ende danmerupakan salah satu kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten
Ende. Letak Pulau Ende tepat berada di depan Kota Ende yang adalah Ibukota
Kabupaten Ende. Pulau dengan luas keseluruhan 63,03 kilometer persegi ini,
saat ini didiami lebih kurang 8.621penduduk. Pulau Ende memiliki tujuh
desa yakni Desa Redodori, Aejeti, Rorurangga, Puutara, Paderape, Rendoraterua,
Ndoriwoi dan Redodori. Pulau Ende berada tepat persis di depan Kota Ende.
Jarak tempuh dari Ende ke Pulau Ende hanya memakan waktu 45 menit sampai satu
jam. Jaraknya diperkirakan sepanjang 65 kilometer atau sebanding dengan jarak
Ende ke Kecamatan Nangapanda jika melalui jalan darat.
TABEL LUAS WILAYAH,
JUMLAH PENDUDUK DIPERINCI PER DESA DI KECAMATAN PULAU ENDE
|
D E S A
|
Luas Wilayah (KM)
|
Penduduk
|
|||||
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
|||||
Ndoriwoy
Rendoraterua
Paderape
Aejeti
Puutara
Rorurangga
Redodori
|
9,53
6,50 4,69 9,73 14,29 14,29 4,00 |
624
508 538 737 821 500 581 |
570
572 527 841 816 541 505 |
1 194
1 020 1 065 1 578 1 637 1 041 1 086 |
|||
J u m l a h
|
63,03
|
4 309
|
4 312
|
8 621
|
|||
Pulau Ende dengan luas yang hanya 63,03 kilometer
persegi sangat tidak bisa menunjang kehidupan masyarakat dari hasil
pertanian. Lahan yang sempit tidak dapat ditanami tanaman pertanian dalam
jumlah yang besar. Penduduk hanya menanam jagung, ubi dan kelapa. Hasilnya
pun tidak seberapa sehingga hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang
terkadang tidak mencukupi itu. Tanaman lain yang masih dapat dinikmati hasilnya
oleh masyarakat adalah jambu mete dan mangga. Namun, tanaman ini juga
tidak seberapa sehingga mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan hidup dari
hasil-hasil pertanian. Padahal dari tingkat kesuburan, masyarakat mengakui
tanah di Pulau Ende tergolong subur. “Tanam apa saja tumbuh dan bisa
menghasilkan dengan baik,” Kata Abdul Madjid Pua Ngepa, warga Pulau Ende.
Haji Muhamad Yasin, pensiunan guru warga Desa
Rorurangga mengatakan, masyarakat Pulau Ende merupakan masyarakat mayoritas
pelaut yang kehidupannya sepenuhnya bergantung pada hasil-hasil laut. Hasil
dari berkebun tidak seberapa dan hanya untuk mencukupi kebutuhan harian. Selain
karena lahan yang sempit, ada warga juga tidak punya lahan untuk berkebun.
Kalaupun mau berkebun, warga yang tidak punya lahan harus menyewanya kepada
pemilik lahan. Satu-satunya sumber penghidupan masyarakat yang tidak akan
pernah habis-habisnya hanyalah dari hasil laut. Selain mengharapkan hasil
laut, warga Pulau Ende juga menggantungkan hidup dari laut lewat
menjalankan usaha taxi laut, perahu penumpang yang oleh warga Pulau Ende lebih
dikenal dengan taxi.
Walau hanya menggantungkan hidup dari hasil laut, kata
Haji Muhamad Yasin, namun kebutuhan masyarakat tercukupi. Dia mengakui, Pulau
Ende memang memiliki keunggulan tersendiri. Hasil laut tidak pernah
habis-habisnya walau diambil setiap hari. Bahkan, setiap tahun Pulau Ende
selalu menjadi daerah penyumbang jamaah calon haji terbanyak. “Tiap tahun pasti
ada calon haji dari Pulau Ende. Hanya satu sekalipun, tetap ada calon haji dari
sini,” katanya bangga.
Kehidupan masyarakat yang hanya bergantung dari hasil
laut namun terkadang masih disalahgunakan. Memang tidak dapat dipungkiri.
Masyarakat nelayan Pulau Ende selalu diidentikan dengan nelayan tukang bom
ikan. Di NTT sudah sering warga nelayan Pulau Ende ditangkap aparat dan
diproses hukum gara-gara membom ikan. Namun, kebiasaan itu saat ini sudah
mulai berkurang dan hanya tersisa di satu dua desa nelayan. Menurut pengakuan
Kepala Desa Rorurangga, Juanidi P.S, hampir setiap hari selalu terdengar
dentuman bom ikan di perairan laut Pulau Ende. Hanya saja mereka tidak tahu
nelayan dari desa mana yang masih menangkap ikan menggunakan bom di
perairan laut Pulau Ende.
Omong soal bom ikan, Abdul Madjid Pua Ngepa (50),
nelayan dariDusun Ekoreko Desa Rorurangga bilang, di dalam keluarganya sejak
nenek moyangnya dulu, sangat anti terhadap penggunaan bom ikan. Orangtua dulu
selalu berpesan agar tidak menangkap ikan menggunakan bom. Kalau
menggunakan bom, pesan orangtuanya, kalian tidak bisa bersahabat dengan
semua orang. Kalau melihat ada orang berseragam langsung takut karena dikira
petugas yang akan menangkap. Menggunakan bom juga membuat rusak lingkungan laut
dan itu sama saja dengan membuat susah sesama karena kalau laut rusak hasil
tangkapan akan berkurang. Apalagi, nelayan di Pulau Ende rata-rata masih
menggunakan alat tangkap sederhana dan tradisional. Sehingga, para nelayan
masih menangkap ikan di seputar perairan Pulau Ende. Karena itu, Abdul Madjid
Pua Ngepa katakan, orangtuanya selalu berpesan agar tidak boleh menggunakan bom
untuk dapatkan ikan.
Kehidupan masyarakat Pulau Ende memang terbilang
sederhana. Selama tiga hari tinggal bersama Bapak Abdul Madjid Pua Ngepa, saya
begitu merasakan kesederhanaan itu. Kendati memasuki hari raya Idul Fitri,
persiapan tidak begitu mentereng. Ada tetangga yang sudah mulai mengecat aneka
warna rumah mereka namun keluarga bapak Pua Ngepa memilih merayakannya dengan
persiapan yang biasa saja. Ibu Arfah hanya membuat beberapa kue kering untuk disajikan
kepada tamu. Dodol yang menjadi penganan khas Pulau Ende tidak dibuatnya.
Keramahtamahan warga Pulau Ende juga sangat terasa.
Mereka sangat menghormati tamu. Bahkan kehadiran saya pada saat hari puasa
diterima begitu familiar. Semula saya mau tidur di rumah bapak Imam Masjid
Nurul Iman, Jaidun Mandar. Namun kemudian pindah lagi ke rumah bapak Pua Ngepa.
Saat tiba di Pulau Ende, saya sudah disambut bapak Jaidun Mandar di tepi pantai
pelabuhan rakyat.
Walau sudah menolak dibuatkan minum demi menghargai yang
sedang berpuasa, toh tetap dibuatkan juga. Memang sudah menjadi adat, setiap
tamu harus disuguhkan minum. Saya tetap disuguhkan kopi susu dan dodol khas
Pulau Ende. Seorang kerabat bapak Jaidun Mandar yang katanya sudah berbuka
lebih dahulu menemani minum sore itu. Sebelumnya, mereka sudah tahu bahwa
saya bukan Muslim. Secara pribadi, saya merasa begitu dihargai karena walau
sedang berpuasa, toh mereka masih menyiapkan minuman untuk saya bahkan ada
kerabat yang sudah berbuka dan menemani saya minum.
Pada titik ini, toleransi masyarakat Pulau Ende sangat
tinggi. Walau berada di Pulau yang seratus persen Islam, toh mereka masih
menunjukan toleransi bagi sesama saudara yang beragama lain yang datang di
Pulau Ende.
Pulau Ende memang unik. Pertama unik karena seratus persen
penduduknya beragama Islam. mereka mayoritas di tengah minoritas mengingat NTT
dikenal mayoritas beragama Kristen. Kedua, di Pulau Edne tidak ada air tawar.
Sumur yang ada di sana airnya berasa payau. Namun sekarang mereka sedikit
terbantu dengan hadirnya program penampung air hujan (PAH) dari UNICEF sehingga
saat ini semua rumah di Pulau Ende sudah memiliki bak penampung air hujan.
Keunikan yang ketiga adalah di pulau ini tidak ada mobil penumpang sehingga
satu-satunya alat transportasi adalah sepeda motor ojek. Warga pulau ini
dulunya juga terkenal dengan kebiasaan buruk buang air besar (BAB) di pinggir
pantai. Tapi, kebiasaan ini kata Kepala Desa Rorurangga, Junaidi P.S kian
berkurang. Hal itu karena saat ini semua rumah sudah memiliki jamban yang juga
merupakan bantuan dari UNICEF. Tapi kebiasaan itu tidak bisa dihilangkan secara
total. Kebiasaan yang sudah lama ada itu butuh waktu untuk
menghilangkannya.
Masyarakat Pulau Ende yang seratus persen penduduknya
beragama Islam tidak menutup diri terhadap kehadiran orang luar. Ada juga warga
dari luar yang beragama lain diterima dengan baik di sana. Ada pegawai
pemerintah yang beragama Katolik dan Hindu pernah juga ditempatkan di sana.
Mereka juga diterima dengan baik dan bertugas di sana hingga masa tugas
berakhir. Hanya saja mereka terkadang mengalami kesulitan. Terutama tempat
ibadah karena memang di Pulau Ende tidak ada rumah ibadah dari agama lain. Di
sana hanya ada masjid dan langgar. Jumlah masjid yang ada di tujuh desa
itu sebanyak 13 dan langgar sebanyak tiga buah.
Menariknya lagi, masjid dan langgar itu dibangun dari
swadaya masyarakat walau mereka sadari mengalami keterbatasan ekonomi.
Sebagaimana diakui Imam Masjid Nurul Iman Ekoreko, Jaidun
Mandar, masjid Nurul Iman yang direhab merupakan swadaya murni masyarakat.
Mereka tidak pernah meminta bantuan dari pihak luar. Bahkan, penduduk di desa
tetangga pun tidak pernah dimintai bantuan saat membangun masjid dimaksud.
Penduduk Pulau Ende terbilang sangat menjaga ketentaraman
dan hubungan baik dengan masyarakat Kota Ende yang mayoritas bergama Katolik.
Penduduk tidak pernah mau mengambil sikap ketika terjadi persoalan yang terkait
dengan masyarakat di Kota Ende. Kendati beberapa kali di Kota Ende terjadi
perkelahian antar kampung yang menjurus ke persoalan agama, toh penduduk Pulau
Ende tidak mengambil urus persoalan seperti itu.
Kehidupan masyarakat Pulau Ende demikian tentram dan
damai. Damai menjelang hari raya Idul Fitri. Hujan makin membesar di luar
rumah. Waktu telah beranjak memasuki pukul 22.45 saat terdengar alunan irama
dangdut menghentak di tengah laut Pulau Ende. Malam takbiran di atas perahu
yang sebelumnya sekira pukul 19.00 bergerak dari Dermaga Pulau Ende
mengumandangkan takbir shalawat Allah hu Akbar, kini telah berganti dengan
irama dangdut yang menghentak membuat suasana malam takbiran dalam perjalanan
pulang itu kian semarak.
di ambil dari situs: http://hierobokilia.blogspot.com/2010/10/pulau-ende-pusat-pemerintahan-portugis.html
No comments:
Post a Comment