5000 orang penari melakukan tarian gawi untuk memperingati hari lahirnya pancasila |
Pada perhelatan akbar ritual adat, masyarakat Lio
mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata,
'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara pada kata bertandak yang berarti
Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan pikiran.
Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI
sebagai TANDAK dari daerah Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam
tarian gawi pun kita yang terlibat dalam ritual tersebut berkewajiban saling
bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki serta mempuyai pikiran yang
sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh melepaskan tangan sampai
upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat melepaskan
tangan kita pada saat kita hendak beristirahat.
Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat
Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh
adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya,
untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus
karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat
upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar -
benar menguasai alur - alur bahasa adat ketika di nyanyikan dalam sebuah aliran
lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian
gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini
Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing
wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk
membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan
kemenangan.
Secara harafia jika didefinisikan Arti kata “Gawi”
sebagai berikut; “Ga” Segan/sungkan. Sedangkan “Wi” artinya menarik, dalam arti
menyatukan diri. Tarian ini adalah simbol faktual entitas yang merupakan daya
pemersatu kalangan antara bangsawan dan kaum jelata etnik Ende Lio di masa
lampau. Filosofi tarian ini adalah merayakan ritual kehidupan, baik merayakan
kelahiran, masa panen atau momen lainnya dalam kehidupan etnik Ende Lio. Salah
satu tujuan dari upacara adat ini adalah ungkapan syukur atas segala nikmat
dari Yang Kuasa. Dari semua tarian adat Lio, Gawi merupakan sebuah tarian yang
mempunyai banyak makna filosofis sebagai berikut:
a. Makna
religius : Syair lagu gawi, "Du’a Lulu Wula,Ngga’e Wena Tana".
Mempunyai makna pemujaan melalui kidung-kidung agung untuk menghormatan
terhadap wujud Tuhan yang Maha Tinggi.
b. Makna
Persatuan : Koreografi gawi, dalam bentuk lingkaran bulat (berpengangan
tangan). Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Lio sangat tergambar jelas
melalui ritual gawi ini. Sehingga setiap orang yang terlibat dalam ritual ini
harus menyadari betul inti kebersamaan "To'o Lei Po'o, Mbana Lei
Meja".
c. Makna
Kesetaraan jender : Peserta gawi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jika
Indonesia mengenal kata emansipasi wanita, sesungguhnya orang Lio sudah
mengenal kesetaraan jender melalui ritual gawi maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini terbukti bahwa disetiap ritual-ritual adat orang Lio, kaum
wanita mendapat tempat dengan tugas tersendiri tanpa campur tangan kaum lekaki.
Misalnya: Mengatur perbekalan, mengatur hasil-hasil panen, dan juga semua
persoalan yang berkaitan dengan rumah adat, karena rumah adat sebagai simbol
kelahiran yang datang dari wanita.
d. Makna
Tanggung jawab : Komponen peserta gawi terdiri dari ulu eko, (Pemimpin), tuke
ulu eko (Pembantu pemimpin), naku ae (Pendukung/pelaksana). Disini dimaksudkan
dalam setiap perkampungan adat Lio, semua para pemimpin adat maupun masyarakat
jelata harus tahu tugas dan tanggung jawabnya terhadap "Du'a Gheta Lulu
Wula" serta aturan-aturan adat yang berlaku di dalam adat mereka sendiri.
e. Makna
Tatakrama : Sopan santun, saling menghargai, saling menerima. Inilah yang
disebut kepemimpinan adat Lio kolektif kolegial. Artinya semua sesepuh maupun
fai walu ana kalo harus saling menghargai, tahu tatakrama, dan saling menerima
antara satu dengan yang lainnya.
Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah
ritual ibadat, dalam agama asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah
suku dan ajaran - ajaran moral, yang sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama
tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan Lio, pada saat ritual adat GAWI,
ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu). Hal ini sudah terjadi secara
turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli, bahwa 'pendeta'
agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang Lio
mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau
beberapa agama asli di NTT. Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang
paling murni dari masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga
paling layak mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa.
Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan
lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor
bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan kepercayaan
setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung sebagai sumber kehidupan.
Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat yang paling
dilindungi. Ular diwilayah Lio, diyakini sebaga pelindung dewi padi (Ine Mbu).
Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak
selalu berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di
posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi
orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase
Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung
dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki
sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita.
Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber
kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang
melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa
Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal
dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio
terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh
ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain
selendang lalu memberinya makan berupa telur ayam sebagai wujud penghormatan.
Berikut ini sebuah petikan syair penghormatan orang Lio terhadap ular:
Nusa Nipa - Pulau Ular:
Bu'u suru Lepembusu, - Dimenangkan di Lepembusu
Kanga ria tenda bewa, - Pelataran mega, bale agung
Ulu endo mbawe, - Hulu menjurus ke utara
eko tola ndale - Hilir menjurus ke Selatan
Bu'u suru Lepembusu, - Dimenangkan di Lepembusu
Kanga ria tenda bewa, - Pelataran mega, bale agung
Ulu endo mbawe, - Hulu menjurus ke utara
eko tola ndale - Hilir menjurus ke Selatan
Ulu gheta kowe jawa - Kepala menjurus ke Timur
Kami pa'a miu no'o ka - Kami memberimu sesajen
Eko ghale bajo bima - Ekor ke Bajo Bima
Kami rewu miu no'o ru'e - Bagimu kami serakan santapan
Kami pa'a miu no'o ka - Kami memberimu sesajen
Eko ghale bajo bima - Ekor ke Bajo Bima
Kami rewu miu no'o ru'e - Bagimu kami serakan santapan
Ulu leja geju, - Kepala ditempat terbitnya Matahari
Eko leja mele - Ekor di tempat terbenam
Ulu ata ma'e gete - Kepala jangan dipancung
Eko ata ma'e sete - Ekor jangan dipenggal
Eko leja mele - Ekor di tempat terbenam
Ulu ata ma'e gete - Kepala jangan dipancung
Eko ata ma'e sete - Ekor jangan dipenggal
Ata eo kolu mbou ulu - Kepada pengacau (Perampas)
Soke kolo kai, - Penggalkan kepalanya
Ata eo rai ramba eko - Kepada perampok
Gete lima kai - Potong tangannya
Soke kolo kai, - Penggalkan kepalanya
Ata eo rai ramba eko - Kepada perampok
Gete lima kai - Potong tangannya
Pusu kai tu leka tubu - Sajikan jantungnya di batu pemujaan
Lema kai Tu leka fi'i kanga - Lidahnya dikurbankan dipelataran
Ta'u leka nipa ria - Takut kepada ular
Ga leka bhara bani - Segan kepada Bhara buas
Nipa ria mbale lamu, - Ular besar menjelma lumut
Lamu mbale tana - Lumut menjelma tanah
Kita mera leka tana - Kita bermukim ditanah
Ina mera leka longgo - Berarti bemukin di punggung (ular)
Lema kai Tu leka fi'i kanga - Lidahnya dikurbankan dipelataran
Ta'u leka nipa ria - Takut kepada ular
Ga leka bhara bani - Segan kepada Bhara buas
Nipa ria mbale lamu, - Ular besar menjelma lumut
Lamu mbale tana - Lumut menjelma tanah
Kita mera leka tana - Kita bermukim ditanah
Ina mera leka longgo - Berarti bemukin di punggung (ular)
Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak
adalah ritual puncak. Banyak agama asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak
itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya adalah JingiTiu di Sabu (padhoa),
Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong), bahkan, orang Yahudi
ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini bisa
berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti
bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos.
Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri
musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada
berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang
tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada
fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga
nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama
asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti
dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair.
Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati
Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, Moni, Tenda atau Watuneso dalam cakupan
luas (lise nggonde ria). Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti
keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi
musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar
musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri
slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain.
Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya
lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis
yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores,
anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas
Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip
dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang
sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi
pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores sendiri tidak bisa mempertahankan
nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?
No comments:
Post a Comment