Pada tahun 1934 saat Bung Karno baru saja sampai di
tempat pembuangannya di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ada seorang muda
yang senang melihat kedatangan orang buangan dari Jawa. Anak berumur 14 tahun
itu bernama Riwu Ga. Ia setiap pagi berjalan 3 kilometer untuk menonton orang
dari Jawa yang katanya terkenal.
Suatu siang saat Bung Karno sedang mengerjakan
potongan kayu untuk ganjel pintu, Riwu Ga datang membawa pisang dan
bertanya-tanya pada Sukarno tentang caranya membuat potongan kayu.
Sukarno adalah seorang Insinyur, tapi ia selalu
bicara dengan bahasa yang dimengerti oleh lawan bicaranya, dan Sukarno senang
dengan anak ini yang selalu banyak ingin tau. Saat itu jam 10 pagi, Sukarno dan
Riwu bicara sampai sore hari. Akhirnya Sukarno meminta Riwu membantu di
rumahnya, banyak juga pemuda Flores membantu di rumah Sukarno.
Riwu
Ga
Riwu ikut maen Tonil dan membenahi baju-baju pemain
Tonil sambil belajar lagu Indonesia Raya dengan caranya yang gembira.
Tonil adalah suatu seni mirip sandiwara yang
dipentaskan setiap sebulan sekali oleh Sukarno.
Riwu juga sangat senang dan melompat-lompat sambil
tertawa ketika Bung Karno melawak dan menceritakan hal-hal yang seru.
Begitu akrab dan asyiknya Bung Karno, Riwu dan para
pemuda Flores dikala itu, seakan beban yang sangat berat yang dipikul
dipundaknya, seketika hilang, beralih suka cita dan riang gembira.
Rencana Sukarno Akan “Dibuang” oleh Belanda ke Australia
Tahun 1942 Jepang datang ke Indonesia, dan Bung
Karno telah direncanakan akan dibawa ke Australia oleh Belanda dengan alasan
untuk menyelamatkan jiwa Sukarno.
Pesawat yang akan mengangkut Bung Karno pun telah
disiapkan. Tapi saat di pinggir pesawat Riwu minta ikut, Bung Karno memaksa
Belanda agar Riwu ikut ke Australia, tapi Belanda menolak.
Bung Karno juga menolak bila Riwu tidak diajak,
jadilah Bung Karno tidak diajak ke Australia. Sejarah Indonesia akan berubah
total andai Riwu tidak memaksa dirinya ikut….
Sukarno
“Dibuang” ke Bengkulu
Saat Sukarno dibuang ke Bengkulu dan berjalan kaki
di tengah hutan lebat, Inggit, Sukarno dan Riwu menuju Kota Padang. Di Padang
mereka tinggal di kota itu beberapa bulan sebelum akhirnya Sukarno tiba kembali
di Djakarta bersama Riwu yang setia mengikutinya.
Riwu adalah pembantu kesayangan Sukarno dan Ibu
Inggit. Saat teks Proklamasi 1945 dibacakan dan Fatmawati isteri baru Sukarno
berada di samping Bung Karno ketika akan membacakan Proklamasi, mata Riwu
berkaca-kaca dalam hatinya berteriak :
“Mustinya Ibu Inggit yang disana, mustinya Ibu
Inggit yang berdiri di bawah kibaran merah putih, karena Inggitlah yang tau
susah dan jerih payah Sukarno,” bisik Riwu dalam hatinya.
Beberapa jam setelah Proklamasi, Sukarno memanggil
Riwu dan menyuruh untuk mengabarkan seantero Djakarta sudah merdeka. Riwu
mencari mobil Jeep dan diajaknya seorang bernama Sarwoko yang menyetir.
Di tengah jalan Riwu berteriak
“Merdeka…Merdeka…Merdeka!!!!!!!” sambil mengepalkan tangan keras-keras.
Sepanjang perjalanan, orang-orang bingung sekaligus
heran melihat kelakuan Riwu. Namun akhirnya paham, masyarakat akhirnya tahu
kalau Sukarno sudah memerdekakan Republik ini.
Siapa diantara anda yang mengenal Riwu? Di hari
tuanya, ia kembali ke desanya, hanya memacul tanah tandus di Flores.
Riwu tak seperti pejabat yang dengan mobil mewah ke
Istana berikut dengan jas berharga puluhan juta Rupiah, menghormat pada bendera
Indonesia Raya.
Ia hanya orang tua yang rapuh dan ia tidak pernah
diundang ke Istana saeumur hidupnya, karena mungkin saja bau dekil dan baju
kotor tak pantas bagi Istana yang megah. Tapi tanpa Riwu, bisa jadi kita tak
mengenal Indonesia seperti apa yang kita kenal sekarang. (oleh: Anton DH
Nugrahanto)
Riwu Ga, pemuda NTT yang jasa besarnya terlupakan
|
Riwu Ga, pria asal Sabu, Nusa Tenggara Timur ini,
namanya seperti dipeti-eskan bila kita membicarakan proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945.
Namanya benar-benar dilupakan dan dikuburkan
dalam-dalam. Dia memang tidak berperang secara fisik mempertahankan negara.
Juga dia tidak melakukan diplomasi di luar negeri membela keberadaan negaranya
dengan argumentasi tajam.
Riwu Ga juga bukan seorang menteri atau pejabat yang
punya kekuasaan yuridiksi untuk berbicara dan melakukan tugasnya sebagai
seorang orang penting yang sedang mempertahankan kemerdekaan negaranya.
Jauh sebelum negaranya lahir tanggal 17 Agustus
1945, Riwu Ga seperti sudah ditakdirkan untuk selalu berperan dan berhubungan
dengan hari yang tidak pernah akan dilupakan oleh setiap orang Indonesia itu.
Bila Ibu Inggit Garnasih, istri Soekarno, dijuluki
banyak orang sebagai sosok wanita yang mengantarkan Soekarno ke gerbang
kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka Riwu Ga-lah orang yang menjaga kunci gerbang
itu agar tidak hilang, sehingga bisa dibuka oleh Soekarno bersama
patriot-patriot sejati lainnya.
Diperebutkan
oleh Inggit dan Sukarno
Pada usia 18 tahun di tahun 1934 Riwu Ga berkenalan
pertama kali oleh Soekarno di Ende, Flores, semasa menjalani pengasingannya
oleh pemerintah kolonial Belanda. Sikapnya yang rendah hati dan penuh kepatuhan
pada peraturan dan etika, membuat dia dipercaya Soekarno dan disayang oleh
keluarga besar proklamator itu, baik oleh pihak Ibu Inggit maupun oleh Ibu
Fatmawati.
Sebelum Soekarno shalat shubuh selama di Ende, Riwu
Ga bangun lebih dulu dan mempersiapkan segelas air putih dicampur kapur. “Biar
suara Bung Karno lebih menggelegar”, katanya.
Ketika Soekarno dipindahkan ke Bengkulu, dia
diikutsertakan bahkan sampai berakhir masa pembuangan dan Indonesia merdeka,
Riwu Ga tetap mengabdi kepada keluarga Soekarno.
Dia juga dijadikan harta yang diperebutkan oleh
Inggit dan Soekarno ketika pasangan itu bercerai. Riwu Ga berat hati memilih
ikut Soekarno, meski Inggit tetap menyayanginya.
Setelah turut mempersiapkan upacara pembacaan
proklamasi, Riwu Ga diperintahkan Soekarno untuk menyebarkan berita
proklamasi kemerdekaan itu ke sekeliling Jakarta. Banyak rakyat Indonesia tidak
tahu bahwa negera mereka sudah merdeka, karena kemerdekaan itu ditentang banyak
pihak termasuk penguasa Jepang pada kala itu.
Berita pertama kali tentang Prokalamsi di
suratkabar Merdeka, Feb 1946.
|
Riwu
Ga termasuk orang pertama yang mengetahui Indonesia telah merdeka
Seperti diceritakan sebelumnya, bersama adik Mr.
Sartono (kelak menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama), yang bernama
Sarwoko yang mengemudikan mobil jeep, Riwu Ga berteriak-teriak heroik
mengumumkan kepada kumpulan rakyat sambil membawa bendera berah putih.
“Kita sudah merdeka, kita sudah merdeka!” Tindakannya
sangat konyol dilakukan saat itu, karena bisa saja aparat keamanan tentara
Jepang menembaknya sesuka hati.
Hasil tugas Riwu Ga itu membuat banyak rakyat
Jakarta percaya bahwa Indonesia sudah merdeka. Berita proklamasi kemerdekaan
Indonesia, mirip berita pendaratan Christopher Columbus ke Dunia Baru, yang
baru diketahui oleh rakyat Eropa berbulan-bulan kemudian.
Memang ada yang mewartakan berita kemerdekaan RI
secepat mungkin melalui medium elektronik berupa radio. Namun barang kotak
bersuara itu sangat langka dimiliki oleh kebanyakan orang pada masa itu, dan
kalaupun ada, isi beritanya sudah dikontrol penuh oleh penguasa Jepang.
Jusuf Ronodipuro juga menyiarkan berita kemerdekaan
RI secara heroik melalui stasiun radio yang dikuasai Jepang. Juga di
daerah-daerah pelosok, berita proklamasi disiarkan ulang, seperti di Sumatera
oleh Mohammad Sjafe’i atau di Riau oleh Angkatan Muda Perusahaan Telefon dan
Telegraf beberapa minggu setelah 17 Agustus 1945.
Riwu Ga (bersama Sarwoko) adalah orang yang pertama
kali menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan secara langsung kepada rakyat
Indonesia. Selama tahun 1945 tidak ada berita apapun di surat kabar manapun
tentang proklamasi kemerdekaan. Keadaan ini memang aneh tetapi bisa dimengerti
mengingat keadaan masa itu yang kritis.
Meninggal
tepat tanggal 17 Agustus 1996, pukul 17.00 Wita
Riwu Ga memang tinggal kenangan. Dia sepenggal
sejarah yang kini terhempas jauh dari hiruk pikuk kemerdekaan. Menjadi yang tak
diperhitungkan bangsa, konsekuensi dari seorang Riwu Ga. Keringat dan darahnya
melayani bangsa terhapus carut marut birokrasi
Matahari tepat di atas ubun-ubun, ketika saya
berkunjung ke sebuah rumah dibilangan kelurahan Naikoten I, Kota Kupang.
Atapnya pendek, sehingga untuk masuk ke dalam, harus sedikit jongkok.
“Rumah ini dibangun oleh almarhum ayah saya. Dia
bangun rumah ini sekembalinya dari Jakarta, tahun 1948,” ujar Yance Riwu Ga,
salah seorang putra Riwu Ga, ketika ditemui di rumah mereka, di Jl. Advokat No
4 RT 15/RW 6 Kelurahan Naikoten 1, Kecamatan Kota Raja, Kupang, Selasa
(14/8/2012) lalu.
“Rumah ini sederhana, walau atapnya rendah, namun
tidak panas. Apalagi kalau buka pintu belakang, angin banyak yang masuk
sehingga rumah ini dingin,” tuturnya lagi.
Riwu Ga (kiri) bersama anaknya, Yance Riwu Ga
(kanan).
|
Dia mengurai, sebagai satu dari delapan anak Riwu
Ga, mereka sering diceritakan oleh ayahnya tentang kisah perjuangannya bersama
Bung Karno baik itu di Ende lokasi pengasingan Soekarno maupun di Jakarta.
“Kami dengar banyak cerita. Mulai dari masa pembuangan,
hingga kemerdekaan. Kami sangat bangga pada ayah kami. Malah, ketika hendak
dibuang ke Australia, Bung Karno tidak mau jalan kalau Riwu Ga tidak dibawa.”
Sayang, di masa tuanya, garis tangan majikan dan
pembantu itu berbeda. Sukarno menjadi presiden, dan Riwu Ga justru menjadi
seorang penjaga malam pada kantor Dinas PU Kabupaten Ende hingga pensiun pada
tahun 1974.
“Tapi kami bangga pada bapa,” ungkap Yance. Di
usia senjanya, Riwu memang menghilang dari panggung gemerlap kemerdekaan. Dia
menyingkir jauh, hingga ke Naikoten, Kota Kupang, kemudian ke Nunkurus di
Kabupaten Kupang tahun 1992.
Di Kupang, Riwu hanya beberapa tahun, kemudian
bersama isterinya Belandina Riwu Ga-Kana pun meniti hidup sebagai petani di
Nunkurus, tepat di sebuah area pertanian yang dipadati gewang dan jati, di
depan markas TNI Naibonat.
“Di sana bapa dan mama menetap selama beberapa
waktu, hingga bapa sakit dan dirawat di RSU Kupang selama hampir dua minggu.
Dia dirawat di ruang kelas tiga. Sakitnya sakit orang tua, bapa mengeluh ada
sakit di bagian perut,” ungkap Yance polos.
Takdir berkata lain. Tepat pukul 17.00 Wita, di hari
kemerdekaan RI, 17 Agustus 1996, ketika masyarakat Indonesia sedang menyanyikan
lagu Indonesia Raya, dalam prosesi penurunan bendera, Riwu Ga meninggal dunia.
Takdir berkata, bahwa Riwu memang harus menutup
matanya ketika Merah Putih benar-benar sudah diturunkan oleh pasukan pengibar,
untuk disimpan. Jenazahnya lalu dimakamkan di TPU Kapadala, Kelurahan Airnona,
Kecamatan Kota Raja, Kupang pada 19 Agustus.
“Saat itu hadir ribuan orang. mereka ingin datang
dan mendengar langsung kisah bapa. Sebagai anak, ketika dengar cerita bapa,
kami terharu dan bangga. Karena seorang buta huruf, dia berarti. Walau tidak
diingat jasa-jasanya. Dia kelahiran Sabu, tapi dia sudah banyak berbuat untuk
Indonesia,” ujar Yance yang adalah pengajar di SMPN 2 Kupang itu sembari
menyeka bulir air mata di sudut matanya mengenang ayahandanya.
Hingga saat ini, isterinya yang sudah berusia 70
tahun lebih itu masih menempati rumah mereka di Nunkurus.
Diusulkan menjadi Pahlawan Nasional
Sejumlah pertanyaan singgah di benak. Mengapa Riwu
Ga tidak mendapatkan jabatan yang tinggi, padahal dia sangat dekat dan berjuang
bersama Bung Karno?
Menjadi pengawal pribadi selama 14 tahun, fakta
membuktikan bahwa Bung Karno pun membutuhkan pikiran Riwu dalam membangun
fondasi sebuah negara yang masih dalam mimpi, di Ende, sebuah kota di NTT yang
jauh dari Jakarta.
Riwu kini tinggal sebuah kisah. Kisah Riwu pernah
melayani tokoh terbesar sepanjang sejarah Indonesia itu. Kisah bahwa dia diajak
Gadi Walu, sepupunya dari Sabu ke Ende untuk meniti hidup, kemudian tinggal
bersama keluarga Bung Karno ketika dia sedang berjualan kue pisang goreng.
Selama 69 tahun merdeka, pemerintah kita sangat
sibuk membenahi berbagai sektor, sehingga lupa memberi penghargaan pada mereka
yang sudah bertaruh nyawa. Menyedihkan memang, ketika berada di tengah
birokrasi yang menutup mata terhadap realita perjuangan kemerdekaan.
“Pemerintah harusnya proaktif. Ini masalahnya.
Hal-hal seperti itu, Pemda harus bergerak cepat dan berbuat sesuatu bagi
pejuang,” ujar Peter A. Rohi, kepada Timor Express, Rabu (15/8/2012) lalu
dari Jakarta.
Pernyataan senada disampaikan Pembina Legiun Veteran
Republik Indonesia (LVRI) NTT, Irjen Pol (Purn) Y. Jacky Uly. mantan Kapolda
NTT mengurai, dalam sejarah perjuangan dan di veteran, ada dua jenis pejuang.
Yakni pejuang kemerdekaan, dan dia mencontohkan,
sosok yang masuk kategori ini seperti Riwu Ga. Walau tidak angkat senjata,
namun dia berada sangat dekat, dan malah terjun dalam mengisi perjuangan
kemerdekaan.
Berikutnya, adalah pejuang pembela kemerdekaan,
seperti pejuang yang terlibat dalam operasi Trikora, Dwikora dan beberapa
lainnya.
“Saya minta, kita jangan berpikir sempit bahwa yang
namanya pejuang itu adalah mereka yang mengangkat senjata. Tidak begitu,” tegasnya
lagi.
Pahlawan-pahlawan
asal Nusa Tenggara Timur
Penulis senior yang menemukan file yang tersembunyi
mengenai Riwu Ga itu menuturkan, banyak sejarah yang justru digali oleh orang
lain dibanding pemerintah, baik itu Pemkab/Kota maupun Pemprov NTT.
“Padahal banyak tokoh pejuang kemerdekaan itu
berasal dari NTT. Mereka berjuang diluar atau pada level nasional, namun tak pernah
diangkat oleh pemerintah kita. Pemerintah hanya mengenal mereka ketika mereka
pulang ke NTT, namun sebenarnya ada banyak yang sudah dilupakan,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, adalah Alexander Abineno, orang
Amarasi yang jasanya tak pernah dilupakan karena dialah salah satu pendiri TNI
Angkatan Laut. Kisahnya menurut Peter, bermula dari Alexander merebut kapal
perang musuh, kemudian kapal perang penjajah itu menjadi kapal perang pertama
milik Indonesia yang disandarkan di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada pula I.R Lobo,
anggota KNIP yang menjadi pendiri Kota Semarang dan pendiri Direktorat Bea dan
Cukai.
“Pemda NTT harus kreatif mencari data dan fakta,
lalu mengusulkan tokoh-tokoh ini menjadi pahlawan. Jika dibanding dengan daerah
lain, mereka mengusulkan banyak tokoh mereka, sedangkan kita tidak pernah.
Sebenarnya Departemen Sosial hanya menunggu usulan kita saja, namun kita tak
pernah, tidak mungkin Pemda DKI yang usulkan. Harus kita,” Peter Riwu
menambahkan.
Minimnya perhatian pemerintah untuk mengusulkan
tokoh-tokoh pejuangnya menjadi pahlawan pun disoroti tokoh yang pernah menjadi
pimpinan polisi puluhan negara di dunia dalam operasi PBB di Afrika itu.
Indonesia menurutnya, juga memiliki perhatian yang
tak begitu maksimal terhadap pahlawan. Dia membandingkan dengan Amerika dan
Australia. Di dua negara itu, ada hari khusus yang ditetapkan untuk mengenang
para veteran perang, dan semua aktivitas diliburkan.
“Karena itu, saya minta kepada pemerintah Provinsi
NTT untuk jangan menutup mata terhadap para pejuang kita. Riwu Ga dan beberapa
tokoh lainnya sudah saatnya diusulkan menjadi pahlawan nasional. Harus segera
diusulkan. Kumpulkan data dan fakta, kemudian ajukan,” pungkasnya.
Selain Riwu Ga, Abineno, Lobo, ada juga Mone Kana.
Sosok inilah yang membunuh Jenderal Portugal Dominggus da Costa di Penfui (kini
lanud El Tari). Tewasnya Da Costa menjadi simbol kekalahan Portugal di Nusa
Tenggara.
Masyarakat lalu memuja Mone Kana sebagai pahlawan
gagah berani. Tak hanya itu, banyak orang Sabu dan Rote yang terlibat dalam
pergerakan nasional. Sejumlah referensi menulis, pemberontakan “Kapal Tujuh”
(Seven Provinscien Affair, 4 Februari 1933), setahun sebelum Bung Karno dibuang
ke Ende, seorang pemimpin pemberontakan itu adalah Hendrik Pa Raja (kini
namanya diabadikan pd sebuah jalan di wilayah Kelurahan Namosain-Alak, yakni
Jl. Pa Raja).
Dia memimpin Johanes Rihidima, Ande Therik, Harsoyo,
orang Jawa kelahiran Kupang untuk melawan angkatan Laut Belanda. Selain itu,
ada pula sejumlah tokoh NTT yang berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan di
Jakarta seperti E.R Herewila, Tom Pello, H.A Koroh, I.H Doko, El Tari, Tjak
Malada, Cornelis Dimu Djami, A. Nisnoni, Engelbertus Daniel Johannes, Amos Pah
dan beberapa nama lainnya.
Fakta-fakta ini pertama kali saya tahu, ketika
membaca sebuah feature di harian Kompas 15 tahun silam, yang memuat profil Riwu
Ga dengan jelas dan mencoba mengukuhkan perannya yang kecil bak sekrup dalam
sebuah mesin penggerak yang bernama proklamasi.
Namun tanpa sekrup kecil itu, mesin besar bisa saja
tak akan bergerak. Inilah yang membuat alasan saya untuk mengingatkan kembali
perannya yang memang pantas dilupakan oleh kita, bangsa pelupa
No comments:
Post a Comment