A. Kisah Mari Longa
Kita coba mengintip sedikit kisah Mari Longa dan
perjuangannya. Mari Longa lahir di sebuah kampung di wilayah utara Lio. Nama
kampung itu Watu Nggere. Kampung ini masuk dalam wilayah persekutuan adat Nida.
Diperkirakan Mari Longa lahir sekitar tahun 1855, dari pasangan Longa Rowa dan
Kemba Kore. Tahun kelahiran Mari Longa tidak pasti, karena tidak ada yang
mencatat.
Waktu masih kecil, Longa Rowa member nama pada putra
sulungnya itu Leba. Nama ini diambil dari nama sayuran pare (paria) yang
rasanya pahit. Longa Rowa berharap anaknya kelak menjadi seorang pemberani,
tidak takut pada siapapun dan apapun. Namun nama Leba ini seperti tidak cocok,
sehingga Leba kecil selalu menangis dan sakit-sakitan. Longa menduga ada
sesuatu yang tidak beres dengan anaknya itu. Suatu malam, Longa Rowa bermimpi
agar dia mengganti nama anaknya dengan nama Mari. Mari nama jenis pohon yang
kulitnya sangat pahit dan kayunya sangat keras.
Berdasarkan mimpi itu, Longa Rowa segera mengganti
nama anaknya Leba dengan nama Mari. Penggantian dan perubahan nama dari Leba
menjadi Mari dilakukan dalam suatu upacara adat. Sejak saat itu, Leba yang
telah menjadi Mari itu tumbuh sehat dan kuat. Watak pemberani mulai nampak
dalam hidup keseharian. Meski masih kecil, Longa selalu mengajak anaknya Mari
kemanapun dia pergi, termasuk berburu di hutan. Dengan cara seperti ini longa
mengajar dan mendidik anaknya Mari untuk selalu bergaul dan bersahabat dengan
banyak orang. Sedangkan berburu, sebagai cara mendidik menggunakan senjata
tajam seperti pedang (Sau/Sonda) serta busur panah (Wo’o dan Le’e). Longa juga
mengajari anaknya beladiri silat serta ilmu-ilmu gaib lainnya.
B. Mulai berperang
Mari Longa tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah
perkasa. Di setiap kampung yang dia kunjungi bersama ayahnya, mereka selalu mengajari
silat kepada pemuda di kampung itu. Dengan cara itu, Mari Longa memperlihatkan
kebolehannya dalam bela diri dan menggunakan sejata tajam pedang dan tombak
serta busur panah. Cerita tentang kebolehan Mari Longa mulai tersiar
kemana-mana.
Suatu ketika, Mari Longa mengembara sampai di
Mauria, sebuah kampung yang berbatasan dengan Mego Maumere. Waktu itu di Mauria
ada perang antara orang Mauria melawan orang Mego. Orang-orang Mauria meminta
bantuan Mari Longa untuk ikut berperang melawan orang Mego.. Perang itu
akhirnya dimenangkan orang Mauria atas bantuan Mari Longa. Mari Longa mendapat
banyak hadia, seperti emas, kuda, kerbau dan seorang gadis bernama Bela Bajo.
Gadis ini dijadikan sebagai istri Mari Longa yang ke 7. Karena sebelumnya Mari
Longa telah memiliki enam istri, seperti Nderu Ndoki, Kapi Mbipi, Fai Bilo,
Weti Atu, Tidhu, Aru Atu.
Cerita tentang kebolehan Mari Longa semakin meluas.
Bukan saja Mari Longa hebat dalam bela diri silat, tetapi, dia juga mampu
berperang melawan orang Mego dan memenangkan peperangan itu. Karena itu, Mosa
Laki Tana Ria, Longga Woda langsung mengundang Mari Longa dan anak buahnya
membantu mereka berperang melawan orang Lise Lande. Perang inipun dimenangkan
orang Tanaria, atas bantuan Mari Longa. Dari Tanaria, Mari Longa dan anak
buahnya yang kebanyakan adik-adik dan ipar-iparnya diundang Mosa Lakiu Pa’o
Pala dari Nua Pu. Perang ini dimenangkan orang Nua pu atas dukungan Mari Longa
dan anak buahnya. Mosa Laki Ndondo juga minta bantuan Mari Longa dan anak
buahnya berperang melawan Diko Lawi. Lagi-lagi Mari Longa memenangkan
peperangan tersebut.
C. Memantu Bhara
Nuri
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Mari Longa
menjadi bahan cerita masyarakat di kampung – kampung di wilayah Lio.
Cerita-cerita tersebut terdengar pula di telinga Bhara Nuri seorang Mosa Laki
di Woloare Ende. Bhara Nuri kabarnya sudah beberapa kali berperang melawan raja
Ende yang ingin mengusai wilayah Woloare, atas bujukan Belanda. Bahkan Bhara
Nuri pernah ditangkap Belanda dan dibuang ke Kupang. Namun Bhara Nuri bisa
melarikan diri. (Diceritakan di lain kesempatan).
Bhara Nuri kemudian meminta bantuan Mari Longa
melalui Mosa Laki Saga. Mari Longa dan anak buahnya pun setuju. Perang melawan
raja Ende yang dibantu Serdadu Belanda, akhirnya dimenangkan Bhara Nuri.
Serdadu Belanda sangat heran atas kemenangan itu. Mereka menduga ada pihak lain
yang ikut membantu Bhara Nuri yang saat itu sudah mengungsi ke Manunggo’o,
karena Woloare sudah dikuasai serdadu Belanda. Dalam pertempuran itu, putri
Mari Longa, Nduru Mari terkena tembangan serdadu Belanda di perutnya. Namun
Nduru masih bisa diselamatkan setelah diobati ayahnya Mari Longa.
D. Peperang melawan
Belanda
Belakangan serdadu Belanda baru tahu kalau Bhara
Nuri dibantu Mari Longa. Serdadu Belanda tentu sangat marah. Karena itu serdadu
Belanda mencari cara untuk menangkap Mari Longa dan anak buahnya.
Serdadu-serdadu Belanda di Ende meminta bantuan serdadu Belanda di Maumere
untuk menangkap Mari Longa. Karena itu Serdadu Belanda di Maumere mencari Mari
Longa dan anak buahnya dengan menyusuri perkampungan di pantai utara Maumere,
mulai dari Magepanda, Kota Baru, Ndondo hingga ke Detuara, Rate Nggoji.
Penduduk-penduduk kampung itu disiksa dan dibunuh. Mari Longa yang mendengar
itu, marah. Mari Longa dan anak buahnya kemudian menghadang serdadu Belanda di
Bhoasia. Pasukan Serdadu Belanda yang tidak mengusai medan Bhoasia, akhirnya
dapat dikalahkan Mari Longa dan anak buahnya dengan mudah. Sebagian serdadu
Belanda gugur di Bhoasia, sebagian lagi kembali ke Maumere meminta bala
bantuan.
Setelah bantuan serdadu dari Kupang dan Jawa tiba di
Maumere, para serdadu Belanda itu langsung menuju Ndondo untuk menyerang Mari
Longa dan anak buahnya. Mari Longa mencoba melawan, namun kalah dalam
persenjataan. Dia kemudian menyuruh anak buahnya bersembunyi di hutan.
Sedangkan dirinya sengaja menyerah diri ke Serdadu Belanda. Mari Longa akhirnya
dibawa ke Maumere dan dipenjara.
Mari Longa dipenjara hanya beberapa hari. Dia
berhasil melarikan diri dan tiba kembali di Watu Nggere. Pembesar Belanda yang
mengetahui Mari Longa melarikan diri dari penjara, kembali membentuk tim
operasi penangkapan. Mereka mengutus kurir mengahadap Mari Longa. Kurir itu
menyampaikan Belanda ingin berunding dengan Mari Longa. Tetapi Mari Longa
menolak keinginan Belanda itu. Mari Longa tahu bahwa hal itu hanya siasat busuk
untuk menangkap dan memenjarakan dirinya. Pembesar Belanda di Ende sangat marah
mendengar penolakan Mari Longa itu. Serdadu Belanda dikirim ke Watu Nggere
untuk menangkap Mari Longa. Namun Mari Longa menyambut pasukan Belanda dengan
anak panah. Belasan serdadu Belanda tewas dalam penyerangan itu, dan sebagian
kembali ke Ende.
Jadi Raja Watu Nggere. Setelah sukses membantu Bhara Nuri, Mari Longa dan anak
buahnya, termasuk putrinya Nduru Mari, kembali ke Watu Nggere. Mari Longa
yakin, serdadu Bhelada akan menambah jumlah pasukan lalu menyerang mereka di
Watu Nggere. Dugaan Mari Longa tidak meleset. Melalui seorang kurir, (oleh Mari
Longa dinilai sebagai penghianat) Belanda minta Mari Longa untuk berunding.
Tetapi permintaan itu ditolak. Mari Longa sadar, bahwa itu hanya taktik busuk.
Serdadu Belanda marah dan langsung mengerahkan pasukan menyerbu Watu Nggere.
Mari Longa dan anak buahnya pun menyabut serbuan itu dengan anak panah. Karena
persenjataan yang sederhana, Mari Longa mengatur strategi untuk selalu
berpindah tempat. Karena itu, selain Watu Nggere, Bhoasia juga dipakai tempat
peghadangan pasukan Belanda. Strategi ini membuat serdadu Belanda kewalahan.
Karena itu, Pembesar Belanda mengutus lagi seorang kurir menemui Mari Longa,
agar mau berunding dengan Belanda. Tetapi Mari Longa menolak. Karena itu,
pembesar Belanda di Ende sengaja menarik pasukannya dari Watu Nggere. Setelah
itu Pembesar Belanda mengutus lagi seorang kurir menemui Mari Longa di Watu
Nggere. Kepada kurir pembesar Belanda di Ende berpesan, bahwa Belanda ingin
mengangkat Mari Longa sebagai Raja Watu Nggere. Sedang batas-batas wilayah
kekuasaan Mari Longa, akan dibicarakan dalam perundingan di Ende. Atas saran
anak buahnya, Mari Longa akhir bersedia berunding dengan Belanda. Mari Longa
minta agar selama perundingan, ia tidak ditangkap dan tidak ada penyerangan
terhadap anak buahnya, meski mereka berada di Ende. Belanda pun setuju. Hari
perundingan disepakati.
Pembesar Belanda di Ende, kemudian mengangkat Mari
Longa sebagai raja Watu Nggere, dengan batas kekuasaan, bagian timur dengan
Ende Mbawe, bagian barat dengan Watu Bara, bagian utara dengan Laut Flores dan
bagian selatan dengan tanah Lise dan Mbuli. Selain itu, pembesar Belanda menghadiahkan
Mari Longa dua pasang emas bergambar kuda dan tekukur. Sedangkan Mari Longa
membuat sebuah tugu perjanjian dan memberikan seokor kuda belang kepada
pembesar Belanda. Acara serah terima hadiah itu disusul pula dengan permintaan
dari Mari Longa. Mari Longa minta Belanda agar tidak bertindak semena-mena
kepada masyarakat di Detu Soko, Wolo Gai, Pe’i Benga, Lewa Gere dan kampung –
kampung lainnya.
Awalnya Belanda patuh pada apa yang telah disepakati. Tetapi setelah bala
bantuan dari Kupang dan Batavia tiba di Ende, serdadu Belanda kembali menyiksa
penduduk yang tidak bersalah. Mari Longa marah. Karena itu, dia menggalang
kekuatan untuk menghadang Belanda. Mari Longa yakin, Belanda akan datang di
Watu Nggere. Penduduk Detu Soko, Wolo Gai, Pe’i Benga, Muku Reku, Kanga Nara
disiksa. Sebagian bersembunyi di hutan dan menyampaikan ke Mari Longa. Di
Kampung Lewa Gere, penduduk sempat memberontak atas sikap kejam Belanda.
Tetapi, mereka kemudian lari ke hutan dan bersembunyi, sebagian lagi tewas di
aniaya Belanda. Dari Lewa Gere, Serdadu Belanda dengan persenjataan yang
modern, terus merangsek Watu Nggere. Mari Longa dan anak buahnya terdesak dan
meninggalkan Watu Nggere. Kampung itu pun dibakar. Dalam kondisi terdesak, Mari
Longa memberi perlawan seadanya. Namun tidak sedikit pula serdadu Belanda yang
terkena anak panah dan tewas. Mari Longa berprinsip “ Ule A mite la’e bara, kai
la’e welu seki sue. Seki sue wari leja iwa peto iwa gega (ngenga).” Artinya
selama burung gagak belum berubah warna jadi putih, Mari Longa tidak akan
melepaskan golok/ pedang bergagangkan gading. Karena gagang gading itu tidak
akan retak sekalipun dijemur di matahari. Setelah beberapa hari berperang, Mari
Longa menarik anak buahnya ke Bhoasia untuk beristirahat, mengatur strategi penyerangan,
menambah persenjataan dan makanan. Setelah semuanya dirasa cukup, Mari Longa
kembali menyerang serdadu Belanda yang sudah menguasai Watu Nggere dan beberapa
kampung lainnya. Dalam penyerangan ini, serdadu Belanda terdesak dan
meninggalkan Watu Nggere.
E. Membangun
Benteng
Mari Longa menyusun kekuatan baru. Anak buahnya yang
ada di beberapa kampung seperti Detu Soko, Wolo Gai, Pe’I Benga, diminta selalu
member informasi ke Watu Nggere, tentang pergerakan serdadu Belanda. Selain
itu, di sepanjang jalan sekitar satu kilo meter sebelum masuk kampung Watu
Nggere, telah dipasang anak panah otomatis.
Beberapa hari kemudian, puluhan serdadu Belanda dipimpin Controleur Couverear,
menggempur Watu Nggere. Belum sampai di kampung Watu Nggere, serdadu Belanda
sudah diserang anak panah otomatis buatan Mari Longa dan anak buahnya. Betapa
terkejutnya Controleur Couverear. Dia kemudian perintah anak buahnya membalas
serangan itu dengan menembak ke arah datangnya senjata otomatis tersebut.
Serdadu Belanda yang menyusuri jalan masuk itu tidak
luput dari anak panah otomatis dan jatuh bersimbah darah. Sebagian serdadu yang
mengejar Mari Longa dan anak buahnya di hutan justru dihadang senjata rahasia
buatan Mari Longa dan anak buahnya. Melihat banyak serdadunya yang tewas, Controleur
Couverear menarik pasukannya kembali ke Ende.
Mari Longa kemudian mengatur strategi baru. Dia merasa strategi perang gerilia
yang diterapkan selama ini sudah diketahui serdadu Belanda. Mari Longa rupanya
tidak ingin keluar masuk hutan. Muncul gagasan untuk membangun sebuah benteng
pertahanan, atau dalam bahasa Lio disebut Potu. Karena itu, Mari Longa dan anak
buahnya mulai membangun benteng tersebut. Benteng dibangun dalam 7 lapis atau
bagian. Bagian pertama atau bagian dalam disusun batu-batu besar. Bagian kedua,
diisi tanah. Bagian ketiga ditanami bambu berisi air. Bagian ke empat berisi
bongkahan tanah, bagian ke lima ditanami kayu deo, bagian keenam disusun
batu-batu besar dan bagian ke tujuh atau bagian paling luar ditanami bambu yang
ujungnya sudah diruncing dan digantung onak dan duri.
Mari Longa kemudian meminta Kelly Nusa seorang anak
buah kepercayaannya, untuk menghubungi anak buahnya di Detu Soko, Pe’i Benga,
Muku Reku, Detu Nio dan Kanga Nara agar menghadang serdadu Belanda di
kampungnya masing-masing. Di Detu Soko anak buah Mari Longa adalah Tani Fedho
dan Sari Wara masing-masing dengan anak buahnya. Di Pe’I Benga ada Rega Nggumbe
dan anak buahnya, di Muku Reku ada Renggo Fedho dan Lapi Lopi, dan anak
buahnya. Di Detu Nio ada Sa Lopi dengan anak buahnya dan di Kanga Nara ada Laja
Moja dan Pega Gai masing – masing dengan anak buahnya.
Setelah selesai membangun benteng, Mari Longa
mengundang anak buahnya dari Detu Soko, Pe’i Benga, Muku Reku, Detu Nio, Kanga
Nara dan beberapa kampung lain untuk mengatur strategi perang, sekaligus
meresmikan benteng. Acara peresmian benteng diwarnai dengan tarian gawi atau
tandak dan tarian Ha’I Nggaja.
Dalam suasana gembira, Mari Longa meminta para
lelaki di Watu Nggere dan kampung-kampung terdekat lainnya untuk membuat anak
panah dan senjata sebanyak mungkin. Sedangkan yang perempuan diminta
mengumpulkan makanan. Senjata dan makanan itu disimpan di benteng. Sementara
Tani Fedho dan Sari Wara, Rega Nggumbe, Renggo Fedho dan Lapi Lopi, Sa Lopi ,
Laja Moja dan Pega Gai pulang ke kampung mereka masing-masing, agar menghadang
serdadu Belanda di kampung masing-masing. Penghadangan harus dilakukan mulai
dari Detu Soko. Sementara di sepanjang jalan sebelum masuk Watu Nggere,
dipasang anak panah otomatis, sementara di hutan-hutan di seputaran Watu Nggere
juga dipasang senjata rahasia. Malam harinya, masyarakat di Watu Nggere menari
tandak (Gawi). Kemudian Mari Longa menari Woge, yang diikuti dengan Bhea
(deklamasi). Demikian isi deklamasi (Bhea Mari Longa).
Mari Ana Longa, Mamo Rowa Embu Ndota
Iwa Ta’u Iwa Paru, Wela Iwa welu, Pu’u ra ria
Laki tana eo jie, watu eo pawe
Mari Kaju Ba’i mimi goma,
Ana mbendi topo ata bara doga
Ata bara lu le, kala ebe ngere ke
Ata bara ndindo ndando, rago ebe ngere lako
Wela …. Wela ebe ma’e welu du nuwa embu
Pana…. Pana ebe ma’e pa’a du nuwa ana
Bu… kita ma’e rina, ngala kita ma’e ba
Toko kita leka watu, tuka kita leka tana
Bo….. ebe mena…. Bo…. Ebe ghale
Bo… ebe ghele… bo…. Ebe ghawa
Miu wiwi ma’e langga lema mae lo
Lando leka aku Mari Su’u
Wuli leka aku Mari Wangga
Poke re’e…., wela meta ….
Nia bina…. Mata dara….
Semua orang menonton Mari Longa menari dan mendengar
Mari Longa Bhea. Usai Bhea (deklamasi), Mari Longa menyampaikan sesuatu tentang
mimpinya. Dia mengatakan, bahwa Matahari dan Bulan telah mengajaknya pergi ke
Kelimutu dan banyak orang yang mengikuti dia ke Kelimutu. Orang yang mendengar
merasa sedih. Mereka sepertinya sudah merasa bahwa kali ini Mari Longa akan
kalah. Beberapa saat kemudian, sebuah benda berbentuk bulat turun dari langit
yang disusul dengan Guntur dan kilat. Orang-orang yang melihat benda itu
menjadi takut. Namun Mari Longa menyambut benda itu. Dalam situasi cemas, Mari
Longa mengajak warga dan anak buahnya menari tandak (gawi).
Ditengah keramaian gawi (tandak), Kelly Nusa
menerima utusan Belanda. Utusan itu ingin menyampaikan pesan dari pembesar
Belanda di Ende untuk Mari Longa. Kely Nusa menghadap Mari Longa dan
menyampaikan makasud kedatangan utusan Belanda itu. Suasana saat itu sangat
tegang. Warga dan anak buah Mari Longa tak berkedip menatap utusan Belanda itu.
Utusan Belanda itu mengatakan kepada Mari Longa bahwa Serdadu Belanda akan
segera mengepung Watu Nggere jika Mari Longa tidak mau berunding. Mari Longa
tidak menggubris. Dia mengatakan apapun yang akan terjadi mereka tidak akan
berunding dengan Belanda. Sebab kalau berunding berarti menyerah. Mari Longa
sudah beberapa kali berunding tetapi Belanda selalu ingkar.
Setelah utusan Belanda itu pulang, Mari Longa dan
seluruh warga serta anak buahnya menuju Tubu Musu Mase di tengah K(h)anga .
Mereka membawa berbagai senjata. Senjata-senjata itu dikumpulkan di tubu musu.
Upacara adat ra ana mbendi sekaligus penyerahan kepada Dua Lulu Wula Ngga’e
Wena Tana segera dilaksanakan. Kepada Dua Lulu Wula Ngga’e Wena Tana, Mari
Loinga memohon kekuatan :
Mbeja leka miu embu mamo ku kajo
Kami kira iwa kelo, leku iwa ngadho
Pu’u miu jaga,
kami mbana leka jala eo masa,
soso leka wolo eo molo
Nebu ina, ata bara mo mbou ria rama bewa kami
Pati sai kami ola negi sama ngere kusi mbendi
Pati sai kami ola meno ngere kao kebo
Kami we tu’a ngere su’a,
Kami we maku ngere watu
Setelah upacara adat, mereka semua menuju ke
benteng. Mari Longa dan beberapa anak buahnya berdiri di luar benteng.
Sedangkan Weti, Bunga dan Nduru berdada di pintu gerbang benteng. Sebagian anak
buah Mari Longa berjaga di sekeliling Watu Nggere dengan anak panah. Sementara
di dalam benteng ada beberapa anak buah Mari Longa yang siap mensuplai senjata
kepada yang lainnya.
Berselang beberapa saat terdengar suara tembakan,
semakin lama semakin dekat dengan benteng. Mari Longa dan anak buahnya semakin
terdesak. Mereka mundur ke arah benteng. Anak buah Mari Longa yang lain masih
terus memberi perlawanan. Mari Longa memerintahkan anak buahnya untuk masuk ke
benteng. Banyak anak buah Mari Longa yang terkena tembakan, termasuk Kelly
Nusa. Serdadu Belanda terus menyerang benteng. Serdadu Belanda yang ada di luar
benteng mengejek Mari Longa. Bahwa yang di dalam benteng hanya perempuan.
Serdadu Belanda juga tidak yakin kalau Mari Longa kebal senjata. Mereka meminta
Mari Longa tunjukkan bukti kalo memang dia kebal senjata. Ejekan Serdadu
Belanda ini membuat Mari Longa terpancing emosi. Mari Longa pun keluar benteng.
Peluru serdadu Belanda menyambutnya namun tidak satupun yang bersarang. Mari
Longa membantai serdadu Belanda. Sebagian serdadu digiring ke benteng dan
dibantai anak buah Mari Longa.
Letnan Jefry yang memimpin penyerbuan itu, ikut memanasi Mari Longa. Dia minta
Mari Longa berduel tanpa senjata. Mari Longa pun keluar dari benteng diikuti
Weti, Bunga dan beberapa anak buahnya. Hujan peluru meluncur ke tubuh Mari
Longa. Mari Longa menyambutnya dengan menari sambil mengejek Letnan Jefry. Saat
bersamaan terdengar suara gemuruh diikuti turunnya sebuah benda bundar sebesar nyiru.
Letnan Jefry langsung menembak benda bunda itu dan jatuh pencah berkeping ke
tanah. Mari Longa mengambil pencahan benda bundar itu lalu menciumnya. Letnan
Jefry meminta Mari Longa menyerah. Namun Mari Longa tidak menyerah. Dengan
kekuatan seadanya, dia terus membantai serdadu Belanda. Letnan Jefry terus
menembak Mari Longa hingga peluru habis. Perkelahian adu pedang pun tak
terelakan lagi. Namun nasib sial menimpa Mari Longa. Pedangnya yang tertancap
di tubuh seorang serdadu Belanda sulit dicabut. Letnan Jefry dengan cepat
menghantam bagian belakang kepada Mari Longa dengan popor senjatanya. Dan
seketika itu juga Mari Longa rubuh bersimbah darah ke tanah. Serdadu Belanda
kemudian membelah dada Mari Longa dan ditemukan hatinya berbulu serta seekor lebah
kuning.
Begitulah kisah perjuangan Mari Longa. Awalnya jasad
Mari Longa tidak dikuburkan tetapi di simpan di pohon beringin. Saat ini,
tulang belulang Mari Longa dikuburkan di dekat rumahnya di Watu Nggere.
Bukti-bukti lain, seperti senjata (anak panah, pedang) masih disimpan cucu
keturunan Mari Longa.